Malang, (Antara Jatim) - Protection of Forest and Fauna (ProFauna) Indonesia merilis perdagangan satwa liar dalam jaringan (daring) dan ilegal selama kurun 2015 meningkat dari 3.640 kasus pada 2014 menjadi 5.000 kasus pada 2015.



Direktur Profauna Indonesia Rosek Nursahid mengatakan selain adanya 5.000 kasus perdagangan satwa liar, juga ada 370 kasus perburuan satwa liar. "Selama 2015 ini, kami menyebutnya sebagai tahun `panas` bagi perlindungan satwa liar di Tanah Air, sebab perdagangan dan perburuan satwa dilindungi cukup marak," ujarnya.



Ia mengemukakan perdagangan satwa liar daring atau online tersebut dilakukan melalui media sosial facebook serta iklan di media sosial lainnya yang menawarkan berbagai jenis satwa liar.



Laju dan volume perdagangan satwa liar di media sosial, lanjutnya, dapat menjadi sedemikian tinggi karena sangat mudah bagi pengguna untuk mengunggah penawaran satwa, berjejaring tanpa batas, bahkan dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi dibanding perdagangan secara konvensional.



Tren perdagangan satwa liar yang dilindungi dalam lima tahun terakhir didominasi oleh perdagangan secara daring. Perdagangan satwa langka secara konvensional di pasar-pasar burung semakin jarang, meskipun di beberapa pasar burung masih ditemukan pedagang yang menawarkan dalam jumlah kecil.



Kasus perdagangan dan perburuan satwa liar yang dimuat di media massa juga masih tinggi. Tahun 2015, ProFauna mencatat sedikitnya ada 67 kasus perdagangan satwa liar dan 16 kasus perburuan satwa liar yang dimuat di media massa.



Meski jumlahnya menurun jika dibandingkan dengan tahun 2014 (78 kasus), kalau ditilik dari volume kasusnya, akan terlihat kalau 2015 justru lebih banyak kasus bervolume tinggi, yaitu melibatkan jumlah satwa liar atau produknya dalam jumlah dan nilai besar. Beberapa kasus dengan volume mencengangkan, di antaranya perdagangan 96 ekor trenggiling hidup, 5.000 kilogram daging trenggiling beku, dan 77 kilogram sisik trenggiling yang terungkap di Medan pada bulan April 2015.



Selain itu, penyelundupan 10 kilogram insang ikan pari manta, 4 karung berisi campuran tulang ikan hiu dan ikan pari manta, 2 karung tulang ikan Hiu dan 4 buah sirip hiu di Flores Timur pada bulan Juli 2015. Penyelundupan 1 kontainer 40 feet cangkang kerang kepala kambing senilai Rp20,422 miliar pada Agustus 2015 di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Barang ilegal itu rencananya akan diekspor ke Tiongkok.



Dari segi jenis satwa yang diperdagangkan sebanyak 17 kasus (25 persen) merupakan satwa laut (penyu, pari, hiu, dan lainnya). Kelompok satwa lain yang tingkat perdagangannya tinggi adalah jenis kucing besar (harimau, kucing hutan, dan lain-lain) sebanyak 16 kasus (24 persen), burung paruh bengkok 12 kasus (18 persen), primata 11 kasus (16 persen), dan berbagai jenis burung berkicau 10 kasus (15 persen).



Sedangkan dari pemetaan data kasus tersebut didapati provinsi dengan jumlah kasus perdagangan satwa liar terbanyak adalah Jawa Timur (16 kasus), disusul oleh Jawa Barat (7 kasus) dan Bali (5 kasus). Jawa Timur menjadi provinsi peringkat pertama dalam jumlah perdagangan satwa liar karena masih memiliki banyak hutan tempat asal satwa liar yang ditangkap dan diperdagangkan.



Selain itu, kata Rosek, posisi Jawa Timur juga strategis sebagai penghubung jalur perdagangan antara Indonesia bagian Timur dan Barat baik melalui jalur laut maupun udara. Dan, Surabaya juga sebagai kota terbesar kedua di Jawa sebagai pasar potensial bagi perdagangan satwa liar.



Sementara itu, kasus perburuan satwa liar selama 2015 juga tinggi. Di wilayah Jawa Timur saja, ProFauna mencatat sedikitnya ada 370 kasus perburuan satwa liar. Ironisnya, perburuan satwa liar itu justru banyak terjadi di hutan lindung dan kawasan konservasi alam.



Beberapa kawasan konservasi alam di Jawa timur yang rawan terjadinya perburuan satwa liar antara lain Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Taman Hutan Raya R Soerjo, Taman Nasional Bakuran, Taman Nasional Merubetiri, Hutan sekitar Gunung Ijen, Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang, Gunung Arjuna dan Gunung Kawi.



Untuk pengaduan, lanjutnya, selama 2015, ProFauna Indonesia menerima hampir 200 pengaduan dari masyarakat tentang adanya perburuan satwa liar. Lebih dari 90 persen pengaduan itu terkait dengan foto yang diunggah di media sosial yang menampilkan pemburu beserta mangsa dan senjatanya.







Penegakan Hukum Lemah



Dari ribuan kasus perdagangan satwa liar secara ilegal tersebut, sebagian merupakan pengaduan dari masyarakat kepada ProFauna, selain ProFauna melakukan investigasi di sejumlah wilayah di Tanah Air.



"Pengaduan yang masuk ke kami dan ditindaklanjuti, ada empat kasus yang selanjutnya diproses secara hukum oleh aparat, yakni kasus pembantaian kucing hutan yang fotonya diunggah ke Facebook oleh akun Ida Tri Susanti di Jember, Jawa Timur, kasus pembantaian beruang madu yang dikuliti, dan fotonya diunggah ke Facebook oleh akun Ronal Cristoper Ronal di Kalimantan Timur," kata Rosek.



Dua kasus lainnya yang diproses secara hukum adalah pembunuhan Harimau Sumatera yang foto-fotonya diunggah ke Facebook oleh akun Manullang Aldosutomo dari Sumatera Utara serta kasus pembunuhan dan pembakaran primata yang fotonya diunggah ke Facebook oleh akun Polo Panitia Hari Kiamat di Kalimantan Tengah.



"Sayangnya, dari keempat kasus itu belum ada yang diajukan ke meja hijau, apalagi dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, kami berharap mahasiswa dan anak muda sebagai generasi terdidik harus menunjukkan perilaku yang baik terhadap makhluk hidup lainnya, termasuk menyayangi satwa. Bukan sebaliknya, jauh dan minim budi pekerti terlebih tentang cara mencintai alam dan lingkungan," ujar Rosek.



Dan, kalaupun pelaku perdagangan satwa liar itu diproses secara hukum dan dijatuhi vonis, kata Rosek, hukumannya sangat ringan jika dibandingkan dengan perbuatannya. Setidaknya terdapat 6 vonis yang dijatuhkan kepada pelaku perdagangan satwa liar, dengan rentang hukuman penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun, dan denda antara Rp500 ribu hingga Rp50 juta.



Vonis terberat diterima oleh terdakwa pelaku perdagangan tiga ekor orangutan, dua ekor elang bondol, satu ekor burung kuau raja, dan satu awetan macan dahan, yang dihukum penjara 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 3 bulan penjara oleh PN Langsa pada bulan November 2015.



Sayangnya secara umum vonis terhadap pelaku perdagangan satwa liar yang dilindungi itu masih sangat rendah. Contoh kasus rendahnya vonis itu adalah kasus penyelundup satwa antarnegara yang dilakukan Basuki Ongko Raharjo.



Majelis Hakim yang diketuai Ferdinandus di Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman sangat ringan terhadap pelaku yaitu pidana penjara enam bulan, dengan masa percobaan satu tahun penjara pada tanggal 17 Juni 2015.



Basuki Ongko Raharjo, warga kota Malang itu dinyatakan terbukti bersalah melanggar UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.



Sayangnya meski nyata-nyata melanggar hukum, terdakwa divonis ringan oleh hakim. Ini tidak beda jauh dengan tuntutan jaksa yang hanya menuntut Basuki Ongko Raharjo dengan hukuman percobaan. Padahal kKejahatan satwa liar yang dilakukan Basuki Ongko Raharjo sangat memprihatikan kelestarian satwa liar Indonesia.



"Dari tangan Basuki, petugas polisi menyita seekor opsetan penyu, kucing hutan, kerangka kancil, kepala rusa, 85 kerangka paruh merah burung cekakak, 100 kepala paruh merah cekakak, 30 kerangka cekakak 90 kepala paruh hitam cekakak, 63 bulu merak, 5 kerang terompet dan 9 sigung. Namun, vonis yang dijatuhkan sangat ringan, dan pastinya sangat mengecewakan para pecinta satwa maupun lingkungan," tegasnya.(*)

Pewarta: Endang Sukarelawati

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015