Bojonegoro (Antara Jatim) - Lapangan sumur minyak tua peninggalan Belanda di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur selalu menimbulkan masalah tidak hanya perebutan penguasaan, tapi juga masalah kerusakan lingkungan, dengan semakin bertambahnya jumlah sumur minyak.
     
Bahkan, kerusakan lingkungan di kawasan hutan jati yang masuk Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Parengan, Tuban itu, diperparah dengan maraknya penyulingan secara tradisional di lokasi setempat.
     
"Kerusakan lingkungan di penambangan sumur minyak tua semakin parah karena bertambahnya jumlah sumur minyak, dalam 10 tahun terakhir," kata Kepala BLH Pemkab Bojonegoro Elzadeba Agustina, di Bojonegoro, Selasa (29/12). 
     
Menurut dia, untuk memperbaiki kawasan lapangan sumur minyak tua yang rusak, tidak cukup waktu 100 tahun. Ia memberikan gambaran kawasan hutan di daerah setempat mulai terbuka dan gersang.  
     
Tidak hanya itu, di kawasan setempat juga dipenuhi ratusan dapur penyulingan tradisional, yang mengakibatkan lapisan atas tanah di kawasan setempat sudah tercemar dengan minyak mentah.
     
"Di lokasi lapangan sumur minyak dan sekitarnya, pohon ditanam sulit bisa tumbuh," tandasnya. 
     
Oleh karena itu, ia meminta penanganan pengelolaan lapangan sumur minyak tua di sejumlah desa di Kecamatan Kedewan, tidak hanya masalah sosial, tapi juga penanganan kerusakan lingkungan.
     
Berdasarkan catatan, pada awalnya lapangan sumur minyak tua yang ditambang masyarakat di Bojonegoro hanya ada di Desa Wonocolo dan Hargomulyo, Kecamatan Kasiman (sekarang menjadi Kecamatan Kedewan). 
     
Ketika itu, lapangan sumur minyak tua yang ditambang para penambang jumlahnya hanya sekitar 200 sumur minyak, dengan produksi berkisar 50.000-75.000 liter per hari.     
     
Produksinya, disetorkan kepada kedua kades, yang kemudian dijual ke luar berupa minyak mentah, ke berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah.     
     
Minyak mentah itu dijual untuk berbagai keperluan, mulai bahan bakar perahu nelayan sampai industri pembakaran kapur.
     
Dalam perkembangannya, pengelolaan lapangan sumur minyak tua diambilalih Pemerintah yang kemudian pengelolaannya diserahkan kepada KUD Bogo Sasono, di Kecamatan Kasiman, yang menjalin kontrak kerja dengan Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, Jawa Tengah, pada 1988. 
     
Tujuan pengambilalihan itu, sebagaimana pernah disampaikan Kepala BP Migas Cepu (ketika itu), Muchtisar Daeng Putra, agar pengelolaan lapangan sumur minyak tua tidak menyalahi ketentuan.
     
Selain itu, lanjut dia, pemkab memiliki kewajiban melatih para penambang dengan berbagai keterampilan, untuk mengantisipasi kemungkinan potensi minyak di lapangan setempat habis.
     
"KUD Bogo Sasono merupakan satu-satunya KUD di Indonesia yang menjalin kontrak dengan Pemerintah dalam mengelola migas," katanya, ketika itu.
     
Senyampang berkembangnya daerah setempat masuk Kecamatan Kedewan, maka pengelolaan lapangan sumur minyak tua diambilalih oleh KUD Sumber Pangan (SP) dan KUD Usaha Jaya Bersama (UJB). Kedua KUD itu, menjalin kontrak kerja dengan Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, Jawa Tengah.
     
Pengelolaan lapangan sumur minyak tua di Indonesia, di atur, melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.1 tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Bumi Pada Sumur Tua. 
     
Di dalam ketentuan itu, yang berhak mengelola yaitu KUD atau BUMD, yang menjalin kontrak kerja dengan Pertamina. 

Sumur Minyak "Ilegal"
     Namun, belakangan Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, Jawa Tengah, memutus kontrak dengan kedua KUD itu, dengan alasan minyak yang disetorkan tidak jelas, karena berasal dari sumur minyak "ilegal".      
     
Bahkan, Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, berusaha menertibkan maraknya penambangan sumur minyak "ilegal" termasuk penyulingan minyak tradisional di kawasan setempat dengan menempatkan petugas Satgas Gabungan Pengaman Objek Vital di Desa Wonocolo dan Hargomulyo, Kecamatan Kedewan.
     
Berdasarkan catatan Satgas Gabungan Pengamanan obyek Vital, terdapat 722 titik sumur minyak, sedangkan yang legal hanya 222 sumur minyak masuk dalam kontrak kedua KUD, sehingga sumur minya lainnya "ilegal".
     
"Perengkek" yang mengangkut BBM sulingan secara tradisional berupa solar, minyak tanah, demgam kendaraan sepeda motor sebanyak 356 "perengkek", di antaranya, Warga Hargomulyo, Kecamatan Kedewan. 
     
Sesuai data, jumlah BBM sulingan yang dibawa keluar melalui jalan Desa Hargomulyo dan Wonocolo, diperkirakan mencapai 447 barel per hari, dari produksi minyak mentah rata-rata berkisar 1.200-1.300 barel per hari. 
     
Di lapangan sumur minyak tua di sejumlah desa di Kecamatan Kedewan, tercatat ada 504 dapur lokasi penyulingan minyak mentah tradisional. 
     
Humas Paguyuban Penambang minyak di Kecamatan Kedewan, Bojonegoro Trisno, menjelaskan penambang lebih senang menjual minyak mentah kepada penyuling minyak tradisional, karena harganya lebih menguntungkan.
     
Ia menyebutkan kalau minyak mentah disetorkan kepada Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, maka penambang memperoleh imbalan saja Rp2.100 per liter, tapi kalau dijual kepada penyuling memperoleh harga Rp2.300 per liter.
     
"Tapi kami tahu kalau penentuan imbalan jasa mengacu harga minyak dunia," ucapnya.
     
Menurut "General Manager" Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, Jawa Tengah, Wisnu Hindadari, di Bojonegoro, penentuan besarnya imbalan jasa pengambilan minyak mentah lapangan sumur minyak tua mengacu harga minyak dunia.
     
Ia memberikan gambaran penambang memperoleh imbalan jasa sekitar 32 dolar Amerika Serikat per barel, pada Juni lalu.
     
"Kalau kemudian ada penurunan keuntungan Rp1.000 per liter, ya, bukan berarti penambang rugi," ucapnya, menegaskan.     
     
Ia juga mengatakan Pertamina sudah meminta fatwa kepada Dirjen Migas dan Kejaksaan Agung terkait keberadaan sumur minyak "ilegal" di Kecamatan Kedewan. Fatwa menyangkut keabsahan status sumur minyak "ilegal".
     
"Harapan kami sumur minyak "ilegal" diserahkan kepada Pertamina, sebab kalau ditutup kondisinya akan semakin parah," tuturnya.
     
Menanggapi kerusakan lingkungan kawasan lapangan sumur minyak tua, lebih lanjut ia menjelaskan perbaikannya dilakukan bekerja sama dengan Bagian Lingkungan Hidup (BLH) pemkab.
     
"Kami juga sedang melakukan uji coba menangani air limbah untuk diolah menjadi air minum atau dimanfaatkan untuk kolam ikan," jelas dia.
     
Terkait tanah di kawasan yang sudah rusak tercemar limbah minyak mentah, ia mengaku belum bisa menjawab secara pasti.
     
"Tapi kami sudah melakukan penghijauan di kawasan setempat dengan melibatkan kecamatan," tandasnya.
     
Yang jelas, Bupati Bojonegoro Suyoto mengaku sudah mengambil langkah dengan mengambil tenaga ahli perminyakan, untuk bekerja sama dengan jajaran pemkab dalam menangani pengelolaan lapangan sumur minyak tua di daerahnya.
     
"Pemkab mengambil tenaga ahli perminyakan yang akan bekerja sama dengan jajaran pemkab," katanya, menegaskan.
     
Dari SKK Migas Ngatijan, menambahkan wacana  yang berkembang, baik dari pemkab, paguyuban penambang, juga Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, akan menjadikan kawasan lapangan sumur minyak tua menjadi kawasan wisata.
     
"Kami sependapat kawasan lapangan sumur minyak tua, sebab satu-satunya di dunia, sehingga unik layak dijual sebagai objek wisata," katanya, menegaskan.
     
"Tapi, masih harus dibahas secara detail lagi, untuk meninjau status legalnya, menyangkut aspek lingkungan," tambahnya.
      
Salah seorang anggota Tim Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta Dr Sri Suryaningsum, di Yogyakarta, Selasa (29/12), yang menangani Bojonegoro masuk dalam kawasan "geoheritage", menyatakan prihatin dengan kawasan lapangan sumur minyak tua yang rusak.
     
"Usulan menjadikan kawasan lapangan sumur minyak tua menjadi wisata alam 'geoheritage', harus ada pembenahan, sebab kerusakan lingkungan sudah sangat parah," ucapnya, dosen UPN asal Bojongoro itu, menegaskan. (*)

Pewarta: Slamet Agus Sudarmojo

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015