Satu objek dengan dua putusan mungkin saja terjadi, karena ada persinggungan antara kewenangan dua peradilan.

Contohnya, putusan Pengadilan Negeri Bandung untuk suatu aset dengan SHM Nomor 1175/Kelurahan Geger Kalong adalah milik Penggugat dan tidak ada hubungannya dengan aset Si Pailit.

Namun, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta memutuskan bahwa tanah dan bangunan dengan SHM Nomor 1175/Kelurahan Geger Kalong adalah aset Debitor Pailit.

"Kalau beda putusan, maka eksekusi putusan akan sulit dilaksanakan," ucap Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) bidang Yudisial, Prof. Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H, saat dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, 12 Desember 2015.

Hakim agung kelahiran Pamekasan, Madura, Jawa Timur itu merupakan guru besar ke-443 Unair dan guru besar ke-151 Unair PTN-BH, serta menjadi bagian dari guru besar aktif ke-14 di Fakultas Hukum (FH) Unair.

Dalam orasi ilmiah berjudul "Problematika Titik Singgung Perkara Perdata di Peradilan Umum dengan Perkara di Lingkungan Peradilan Lainnya", ia menyebut empat peradilan di bawah MA, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer.
 
"Kalau ada persinggungan dan menghasilkan putusan yang berbeda, maka eksekusi dari putusan akan sulit dilaksanakan, sehingga masyarakat dirugikan," tuturnya.

Solusinya, masyarakat yang mencari keadilan bisa mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung sehingga mendapatkan keputusan final.

"Di MA, dalam melakukan penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali ada lima kamar, yaitu kamar pidana, kamar perdata, kamar tata usaha negara, kamar agama dan kamar militer," ujarnya.

Ketika terjadi persinggungan dan peninjauan kembali diajukan, maka yang menangani perkara tersebut adalah hakim gabungan dari dua kamar yang bersinggungan tersebut.

"Dengan adanya sistem kamar, dalam penyelesaian di tingkat kasasi hakimnya gabungan. Biasanya dari kamar pidana dan perdata, yang dipimpin oleh Wakil Ketua MA," ungkapnya.

Dengan gabungan hakim yang berbeda lingkungan akan bisa menyelesaikan masalah-masalah seperti persinggungan peradilan itu.

Pandangan Prof Mohammad Saleh itu dinilai Rektor Unair, Prof. Dr. M. Nasih, SE, MT, Ak., sebagai solusi untuk menegakkan hukum.

"Kalau hukum tegak, maka Indonesia akan jaya. Jadi, pengangkatan beliau sebagai guru besar itu didasarkan pada keilmuwan dan pengalaman yang melekat padanya," paparnya.

Komentar yang sama juga diungkapkan oleh Ketua MA Prof. Dr. H. Hatta Ali, S.H., M.H, yang juga merupakan Ketua IKA Unair.

Prof Hatta Ali berharap pengalaman Prof Saleh sebagai hakim lebih dari 40 tahun ini bisa dipadukan dengan teori di kampus.

"Mudah-mudahan Pak Saleh bisa tetap mengajar karena pengalaman prakteknya sangat dibutuhkan untuk bisa menyatukan antara teori dan praktek," katanya.

Memotivasi Mahasiswa

Apresiasi juga datang dari pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea yang juga turut hadir dalam pengukuhan Prof Saleh itu.

Hotman yang telah mengenal Prof Saleh selama 20 tahun. Ia pun mengatakan Prof Saleh pantas menerima penghargaan ini.

"Cocok. Pengalamannya sudah lama. Universitas butuh guru besar yang benar-benar ahli praktisi. Harapan saya, pengalaman beliau bisa dibagi ke mahasiswa dan akhirnya bisa menyumbangkan pemikiran terkait produk-produk hukum yang realistis," ungkapnya.

Mengapresiasi orasi ilmiah Prof Mohammad Saleh, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI Junimart Girsang menilai pandangan Prof Saleh akan memberi warna baru dalam Ilmu Hukum dan menambah wawasan.

Senada dengan itu, Dekan FH Unair periode 2007-2010 dan 2010-2015 Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si, mengatakanFH membutuhkan guru besar yang punya pengalaman profesi.

"Itu penting, karena pendidikan di FH mengarah pada profesi sebagai hakim dan penegak hukum yang lainnya. Pak Saleh itu hakim yang keterampilannya adalah mengajar," katanya.

Ungkapan Prof Zaidun bahwa Prof Mohammad Saleh merupakan hakim yang suka mengajar agaknya tidak berlebihan.

Selain sebagai Hakim Agung, Prof Saleh mengabdikan dirinya sebagai dosen di FH Unair Surabaya dan Jakarta.

Ayah dari tiga anak ini juga pernah mengajar di beberapa universitas di Indonesia, diantaranya UB, Unmuh Malang, Universitas Merdeka, Widyagama, dan Universitas Tarumanegara Jakarta.

Bagi suami Sri Murti Rahayu SH itu, menjadi hakim adalah pekerjaan dan menjadi pengajar adalah hobi.

"Saya senang mengajar. Saya suka membagikan pengalaman saya kepada mahasiswa dan memotivasi mereka untuk menjadi hakim yang baik. Saya selalu bilang, jadi hakim itu risikonya besar. Dalam setiap putusan kan selalu ada yang kalah, dan ada yang menang. Yang kalah bisa menghujat, memaki, sampai melakukan kekerasan fisik," paparnya.

Menjadi hakim sambil menjadi dosen tidak membuat karier kehakimannya kendor. Pada tahun 1991 Prof Saleh diangkat menjadi Ketua Pengadilan. Kesibukan sebagai Ketua PN, menyebabkan Prof Saleh tidak memiliki kesempatan mengajar.

Tahun 2007, ia diangkat menjadi Hakim Agung di Jakarta dan hal ini membuatnya mendapatkan kesempatan mengajar lagi. Prof Saleh mengajar di Universitas Tarumanegara Jakarta dan FH Unair di Jakarta.

"Suatu ketika ada pertemuan dekan-dekan fakultas hukum se-Indonesia di Jakarta. Saya menjadi salah satu pembicara. Kebetulan di sana ada Prof Zaidun, yang mengajak saya kembali ngajar di Unair. Akhirnya, saya setiap Sabtu-Minggu ngajar di Unair tentang hukum kepailitan," kisahnya.

Prof Saleh bersyukur rektor sudah mengangkatnya sebagai guru besar FH Unair. Ia berharap setelah pensiun dari Hakim Agung bisa mengabdikan dirinya di dunia pendidikan, sesuai dengan hobinya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015