Tahun 2015, Jawa Timur dilaporkan merupakan provinsi dengan jumlah kasus terbanyak kedua setelah Papua. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim mencatat kasus HIV/AIDS pada laki-laki sebanyak 8.783 atau setara 61,9 persen dan perempuan sebanyak 5.415 setara dengan 38,1 persen. Masya-Allah...

Total ada 14.198 penderita HIV/AIDS di provinsi ini. "Kota Surabaya menjadi daerah pertama di Jatim yang memiliki jumlah kasus terbanyak sejumlah 7.045 kasus, lalu peringkat kedua adalah Kabupaten Malang dengan 2.693 kasus dan posisi ketiga diduduki Kabupaten Jember dengan 2.489 kasus. Laporan paling sedikit adalah Kabupaten Pamekasan dengan 16 kasus," ucap Kepala Dinkes Jatim dr Harsono.

Sejak penyakit mematikan itu ada di Jatim hingga September 2015, pasien AIDS yang dilaporkan meninggal dunia adalah sebanyak 3.323 orang. Khusus periode bulan Januari-September 2015 tercatat 69 orang yang meninggal dunia, namun laporan kematian tertinggi untuk pasien AIDS terjadi pada tahun 2011 yaitu sebanyak 492 orang.

"Tahun 2015 bulan Januari-September, pemeriksaan HIV dilakukan pada 30.526 ibu hamil dan ditemukan HIV positif 170 kasus atau setara 0,56 persen. Jumlah Ibu hamil secara kumulatif hingga September masuk program pencegahan penularan ke anak sebanyak 920 dan diberi Anti Retro Viral Therapy (ART) sebanyak 711 orang," paparnya.

Pada tahun 2015, bayi lahir dari ibu HIV positif sebanyak 78 bayi, lalu meninggal sekitar 20 bayi. Kasus AIDS pada anak usia kurang dari 14 tahun sebanyak 502 anak dengan proporsi terbanyak pada kelompok umur 0-4 tahun sebanyak 361 anak.

Melihat jumlah kasus HIV/AIDS, di masyarakat muncul stigma bahwa AIDS dianggap sebagai penyakit kutukan, apalagi saat ini AIDS lebih banyak menginfeksi melalui penggunaan narkotika suntik dan seks bebas, seperti homoseksualitas, biseksualitas, maupun suka gonta-ganti pasangan tanpa pengaman.

"Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) belum tentu terinfeksi akibat perilaku penggunaan narkotika suntik dan seks bebas, namun stigma dari masyarakat sudah terlanjur digeneralisasikan. Tentunya stigma tersebut akan semakin menambah beban psikologis mereka, padahal mungkin saja tertular dari orang tuanya atau tertular dari pasangan yang tidak baik perilakunya," jelasnya.

Diskriminasi dan isolasi dari masyarakat dapat dibuktikan ketika seorang ODHA berani terbuka tentang jati dirinya. Seseorang yang divonis HIV-positif  biasanya mendapatkan perlakuan khusus yang membuatnya merasa dikucilkan, termasuk di dalam rumahnya sendiri, bahkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Contohnya dialami "Si Kecil yang Anonim"."Ayah saya dulu bekerja sebagai pelaut. Setelah satu tahun berlayar, ayah kembali dan menularkan HIV pada ibu.Ibu mengandung dan saya lahir dengan penyakit yang sama. Ibu selalu berkata pada saya, 'Kalau ada yang tanya, kamu minum obat apa? Jawab saja vitamin. Sejak itu saya harus terus menerus berbohong kepada teman-teman, guru-guru, hingga kepada kepala sekolah. Saya tahu kalau ketahuan, saya bisa dikeluarkan dari sekolah".

Namun, dalam buku "Giving Empathy" yang diluncurkan di Gedung Graha Bhakti Budaya TIM, Jakarta, 17 Desember 2015 jam 15.00 WIB itu, "Si Kecil yang Anonim" akhirnya menyerah. "Suatu hari ibu meninggal, lalu sehari setelah itu, kepala sekolah memanggil saya. Ia langsung berkata: 'Kamu tidak usah datang ke sekolah lagi, cari tempat belajar lain".

Oleh karena itu, Dinkes Jatim berupaya menurunkan angka stigma dan diskriminasi dengan melibatkan penceramah dari kalangan rohaniawan, serta melakukan revisi Perda HIV Jatim Nomor 4 Tahun 2004 tentang Penanggulangan HIV di Jatim.

Selain itu, upaya pencegahan juga dilakukan melalui kampanye Aku Bangga Aku Tahu (ABAT), yakni dengan kegiatan Harm Reduction kepada pengguna NAPZA suntik dan program penyediaan kondom untuk mencegah penularan melalui hubungan seks dengan pasangan HIV positif.

"Kami juga menyiapkan 420 sarana diagnosis HIV berupa layanan VCT (Voluntary Counseling and Testing) di 38 Kabupaten/Kota dan 46 sarana untuk pengobatan ARV di 35 kabupaten/kota, klinik PDP 47 Rumah sakit, Klinik LASS (jarum steril) 19 UPK, klinik IMS 202 UPK, klinik methadone sembilan klinik, dan klinik PPIA 12 klinik," ujarnya.

Pandangan lain datang dari Wakil Direktur RSUD dr Soetomo, Kohar Hari Santoso, dr., SpAn, KIC, KAP. "Meski masyarakat menganggap penyakit ini paling berbahaya dan mematikan, tetapi harapan hidupnya masih lebih baik dibandingkan dengan kanker atau penyakit degeneratif," tuturnya.

Jika ODHA mampu mengontrol penyakitnya dengan mengubah pola hidup menjadi lebih sehat dan disiplin minum obat, maka capaian tersebut akan terlampaui. Terlebih jika secara dini terdeteksi atau dalam fase HIV, tentu harapan hidupnya lebih besar.

"Jadi delapan persen dari ODHA yang meninggal tersebut kebanyakan sudah masuk fase AIDS. Jarang yang masih di fase HIV meninggal, mereka justru dapat hidup normal dengan disiplin dan mampu mengontrol penyakitnya," ungkapnya.

Masyarakat harus memberikan dukungan dan semangat bagi ODHA untuk disiplin minum obat dan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat, sehingga harapan hidupnya jauh lebih besar.

"Memang sulit mengubah anggapan masyarakat, perlu sosialisasi dan edukasi lebih giat lagi. Mereka tidak perlu menjauhi dan mengucilkan ODHA, karena penularannya cenderung lebih sulit dibandingkan dengan penyakit lain, seperti tuberkolosis".

Saat ini, di Unit Perawatan Intermediet dan Penyakit Infeksi (UPIPI) RSUD dr Soetomo merawat 1.600 pasien yang rutin berobat, sedangkan jumlah pengunjung setiap bulannya mencapai 2.000 orang.

"Di mana dari 1.600 pasien rutin, 50 di antaranya adalah pasien anak-anak dan sisanya dewasa, dan kebanyakan pasien berumur antara 20 hingga 30 tahun, sedangkan angka penemuan baru atau ODHA baru yang terdeteksi setiap bulan sekitar 50 orang."

Ya, harapan itu masih ada, karena itu Hari AIDS se-Dunia hendaknya bukan sekadar seremoni, namun perlunya menghilangkan stigma untuk mereka, perlunya evaluasi dari penderita HIV/AIDS itu sendiri, dan perlunya motivasi untuk penderita. (*)

Pewarta: Laily Widya Arisandhi

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015