Surabaya, (Antara Jatim) - Cerah. Tidak tampak awan menggelantung. Sinar matahari pagi mendekap erat Pantai Sendangbiru yang bersih, sementara di seberang tampak angkuh Pulau Sempu menghadang gelombang laut Samudera Hindia.

Sejumlah nelayan mulai menyandarkan perahu mereka dan sebagian lainnya mengangkut hasil tangkapan ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pondok Dadap yang tidak jauh dari lokasi pantai.

Pantai Sendangbiru berada di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetang, sekitar 30 kilometer arah selatan Kota Malang. Daerah ini tidak hanya dikenal sebagai daerah tujuan wisata karena alamnya yang indah, tapi juga pusat kegiatan perekonomian masyarakat nelayan.

Potensi perikanan Sendangbiru dan pesisir selatan Malang cukup besar, diperkirakan mencapai  403.444 ton per tahun. Ikan yang banyak dihasilkan dari tempat ini adalah ikan tuna, cakalang dan tongkol.

Namun, dari potensi yang ada baru 10 -12 persen yang  bisa ditangkap karena keterbatasan alat.  Dengan demikian, potensi yang besar tersebut belum mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan setempat karena tangkapannya sedikit.

Apalagi, pada musim angin barat,  biasa berlangsung Desember - Maret, nelayan tidak bisa melaut akibat angin kencang dan gelombang tinggi. Pada musim ini nelayan menyebutnya sebagai masa paceklik.

Musim paceklik sangat menguras pendapatan nelayan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Tidak semua nelayan bisa beralih profesi untuk memperoleh penghasilan ketika cuaca tidak kondusif . Kondisi seperti ini juga berkontribusi terhadap penyebab kemiskinan nelayan.

Data Pemkab Malang menyebutkan, jumlah nelayan di kabupaten ini sekitar 3.150 orang  yang terdiri nelayan tetap, nelayan sambilan, maupun andon. Nelayan tersebut memanfaatkan luas wilayah pesisir Kabupaten Malang yang mencapai 102,5 kilometer mulai Kecamatan Donomulyo hingga Kecamatan  Ampelgading.

       

Stigma Negatif

Stigma kampung miskin, tidak "bankable",  serta tidak memiliki akses memadai terhadap lembaga keuangan dan pembiayaan,  yang melekat di masyarakat nelayan, tampaknya sedikit demi sedikit akan terkikis melalui program-program yang berpihak kepada masyarakat pesisir tersebut.

Program yang belakangan terus diperluas ke berbagai wilayah itu di antaranya adalah program  Jangkau, Sinergi dan Guideline atau Jaring. Program Jaring diluncurkan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Pantai Bodia, Takalar, Sulawesi Selatan, pada 11 Mei 2015.

Program Jaring merupakan hasil kerja sama  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan, industri perbankan serta industri keuangan non-bank.

Mitra kerja program ini kini telah mencapai 13 lembaga perbankan, yakni  BRI, BNI, Bank Mandiri, Bank Danamon Indonesia, BTPN, Bank Permata, Bank Bukopin, BPD Sulselbar, BCA, PT Bank Maybank Indonesia Tbk,  Bank Niaga, Bank Sinarmas, dan Bank Jatim.

Selain itu, ada pula industri keuangan non-bank yang juga mendukung program tersebut melalui konsorsium perusahaan pembiayaan, asuransi jiwa, asuransi umum, dan penjaminan. 

Sedangkan tujuan program ini adalah untuk mendukung Program Nawacita yang digulirkan pemerintah dengan target utama meningkatkan kredit dan pembiayaan di sektor kelautan dan perikanan, serta mendorong perluasan akses masyarakat di sektor kelautan dan perikanan kepada layanan jasa keuangan.

 Program yang telah ditebar sejumlah lembaga terkait tersebut diharapkan semakin memudahkan masyarakat nelayan, utamanya nelayan tradisional, untuk memperoleh akses permodalan guna menunjang aktivitas usahanya lebih maju dan berkembang.

Sebab, secara umum , khususnya nelayan tradisional, hanya memiliki sumber daya yang  terbatas, alat tangkap konvesnional, modal usaha kecil dan organisasi penangkapan yang juga sangat  sederhana.

Orientasi nelayan tradisional saat menangkap ikan selama ini lebih banyak untuk pemenuhan kebutuhannya sendiri, bukan untuk investasi dan pengembangan usaha dengan skala yang lebih besar.

Nelayan tradisional seperti nelayan kapal jukung, nelayan pancingan, dan nelayan udang misalnya, bahkan akan termarginalkan oleh pemanfaatan alat tangkap modern oleh pihak lain jika teknologi penangkapan yang dimiliki juga tidak ditingkatkan.

Para pakar menyebut kemiskinan yang dialami kalangan nelayan tersebut merupakan kemiskinan  struktural, yaitu  kemiskinan  yang  diderita  suatu  golongan  masyarakat,  karena  struktur  sosial masyarakatnya yang  tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Mereka seperti tidak berdaya untuk mengubah nasibnya.

Bahkan,  secara cukup ekstrem dikatakan bahwa struktur  sosial  yang  berlaku telah  mengurung  mereka  ke  dalam  suasana  kemiskinan  secara  turun-temurun  dan  mereka hanya  mungkin keluar dari kemelaratan melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar.

Sementara itu, Dekan Fakultas Ekologi IPB yang juga  Anggota Dewan Kelautan Indonesia  Dr Arif Satria dalam sebuah jurnal mengungkapkan, jumlah nelayan Indonesia sebanyak 2.730.510 orang, sedangkan  pembudidaya ikan 3.351.448 orang. 

Ia membagi tingkat kemiskinan nelayan menjadi tiga kategori, yakni hampir miskin, miskin, dan sangat miskin. Nelayan hampir miskin persentasenya sebesar 42 persen dengan penghasilan Rp243.729, sementara 25 persen masuk kategori miskin dengan penghasilan Rp194.983 sampai Rp243.729, dan  kategori sangat miskin dengan persentase 33 persen yang memiliki penghasilan Rp194.983 per bulan.

   

Membuka Akses Pendanaan

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang tumbuh di lingkungan nelayan agaknya memahami kondisi tersebut dan bertekad untuk bisa memerbaiki nasib mereka dengan mengurai permasalahan yang selama ini dihadapi penduduk pesisir ini.

Permasalahan yang dimaksud di antaranya mahalnya biaya bahan bakar minyak, sulitnya akses pendanaan, hingga hasil jual produksi yang terus ditekan oleh tengkulak.

Untuk mengurai permasalahan itu tentu harus dilakukan secara komperehensif dengan melibatkan pihak-pihak lain, seperti halnya menebar Jaring guna membuka akses pendanaan, pembiayaan, dan permodalan mereka.

Pembukaan fasilitas nelayan untuk mengakses lembaga keuangan tersebut juga harus dibarengi dengan edukasi dan pendampingan agar mereka tidak akan terjerembab pada masalah yang sama, dan akhirnya tidak beranjak dari  kemiskinan yang membelenggunya selama ini.

Akses pendanaan harus digunakan untuk menopang aktivitas usahanya dalam kegiatan produktif penangkapan ikan, bukan justru untuk hal-hal yang konsumtif.     

Dengan demikian, program menebar Jaring yang digulirkan nantinya akan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, khsususnya masyarakat nelayan, guna meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya.

Menebar  Jaring agar bisa menjangkau nelayan seluruh Indonesia memang tidak gampang, karena bukan hanya masalah lokasi dan jumlah, tetapi juga menyangkut kebiasaan, budaya,  tingkat pendidikan yang beraneka ragam.

Indonesia merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.504, dan garis pantai hingga sekitar 104.000 kilometer.  Kekayaan laut Indonesia juga berlimpah. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun  2011, potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia menapai 6,52 juta ton.

Kendati tantangan yang dihadapi untuk menebar Jaring tidak ringan, tampaknya berjalan dengan baik, terbukti dengan berkembangnya program ini.     

Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad saat peluncuran Jaring di PantaiSendagbiru, Malang, Jatim,  mengatakan program Jaring berkembang sesuai dengan yang direncanakan. Perkembangan itu di antaranya dapat dilihat dari bertambahnya pelaku usaha keuangan atau perbankan yang bergabung dengan program ini sejak diluncurkan bulan Mei lalu.

Hal itu,  menurut Muliaman, menandakan pihak-pihak terkait dalam Program Jaring berhasil mendorong pemahaman pelaku jasa keuangan terhadap bisnis di sektor kelautan dan perikanan sehingga kredit perbankan dan pembiayaan ke sektor ini terus mengalami peningkatan dari 8 bank menjadi 13 bank, serta industri keuangan non-bank.

Selain itu, realisasi penyaluran kredit baru (gross ) ke sektor kelautan dan perikanan oleh bank mitra sampai dengan akhir September 2015 telah mencapai Rp 4,41 triliun atau 82,09 persen dari target agregat sebesar Rp 5,37 triliun.  Beberapa bank bahkan telah mencapai dan melebihi target penyaluran kredit gross, diantaranya BRI, BTPN, dan BPD Sulselbar.

Sementara, pembiayaan untuk sektor kelautan dan perikanan dari Konsorsium Perusahaan Pembiayaan  sampai Oktober 2015 mencapai Rp 252 miliar. Jamkrindo  sebagai penjamin penjamin Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)  sektor kelautan dan perikanan hingga November 2015  telah  merealisasikan penjaminan dengan total plafon Rp81,96 miliar secara nasional.

Hingga 30 September 2015, total kredit kelautan dan perikanan mencapai Rp20,19 triliun. Tumbuh year-to-date, sejak 1 Januari 2015 sebesar 12,40 persen atau tumbuh 22,94 persen dibanding 30 September 2014 (year on year).

Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari pembiayaan di sektor maritim yang tumbuh 9,48 persen di tahun 2015 (year to date). Sedangkan pertumbuhan kredit kelautan dan perikanan juga telah melebihi laju kredit seluruh industri yang tumbuh 11,09 persen hingga 30 September 2015.

Jadi, Program Jaring yang dimaksudkan bisa membuka akses seluas-luasnya bagi para nelayan terhadap lembaga keuangan, benar-benar bisa menjadi rangsangan bagi masyarakat  pesisir guna memperbaiki nasib mereka sehingga semakin sejahtera. (*)

Pewarta: Slamet Hadi Purnomo

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015