Surabaya (Antara Jatim) - Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Prof Adrianus Meliala menegaskan bahwa Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor 6/X/2015 tentang "Hate Speech" (Ujaran Kebencian) itu justru akan membangun toleransi.

"Hate Speech itu bukan kebencian yang sifatnya personal, melainkan kebencian yang bersifat serangan pada primordial (SARA), karena itu SE itu akan membangun toleransi," kata kriminolog UI itu di Surabaya, Kamis.

Ia mengemukakan hal itu saat berbicara dalam bedah buku berjudul "Atas Nama Kebencian (Kajian Kasus-Kasus Kejahatan Berbasis Kebencian di Indonesia)" di Gedung Mahameru Mapolda Jatim dengan pembicara lain yakni Direktur Eksekutif HRWG M Chairul Anam.

"Selain menyerang primordial (SARA), 'Hate Speech' itu merupakan prasangka aktif atau prasangka yang dimunculkan dalam ruang publik melalui orasi, spanduk/pamflet, khutbah/ceramah, media sosial, dan sejenisnya," kata Ketua Dewan Guru Besar FISIP UI itu.

Namun, katanya, SE Ujaran Kebencian itu saja tidak cukup, melainkan perlu ditingkatkan dari SE menjadi Perkap tentang SOP dalam penanganan kasus kebencian, memasukkan dalam kurikulum pendidikan atau kursus Polri, dan akhirnya menjadi UU Anti-Kejahatan Kebencian.

"Itu (Hate Speech) sebenarnya bukan hal baru, karena Indonesia sudah memiliki konsep SARA yang akhir-akhir ini terlupakan karena kepentingan politik, padahal kalau tidak ada itu (Hate Speech atau SARA), maka Indonesia bisa pecah," katanya.

Dalam bedah buku karya Brigjen Pol (Anumerta Maruli CC Simanjuntak) yang diadakan YLBHI, Cmars, ISNU Jatim, dan Polda Jatim itu, Direktur Eksekutif HRWG M Chairul Anam menyatakan "Hate Speech" yang merujuk pada konsep Eropa itu banyak dikritisi karena membatasi HAM.

"Padahal, pembatasan HAM itu sah secara hukum, karena diakui dalam Pasal 18 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang antara lain menilai ajakan dalam agama itu boleh, namun paksaan dalam agama itu tidak boleh, karena itu upaya menjalankan agama itu dibatasi ketentuan hukum untuk ketertiban masyarakat," katanya.

Menurut dia, pembatasan itu pun ada dalam ruang publik, sedangkan dalam ruang privat dan ruang ilmiah (akademis) tidak dapat dibatasi, karena merupakan dialektika pemikiran yang jika dibatasi itu justru akan menghambat kemajuan dalam keilmuan.

"Jadi, Ujaran Kebencian itu bukan memberangus kebebasan berekspresi, karena itulah jalan tengah antara kebebasan dan pembatasan yakni bebas selama dalam batas personal tapi dibatasi dalam unsur SARA. Misalnya, kebijakan Presiden Jokowi itu bebas dikritisi, asal tidak mengaitkan dengan suku tertentu," katanya.

Dalam sesi dialog, anggota kepolisian dari sejumlah Polres di jajaran Polda Jatim mengharapkan sosialisasi "Hate Speech" tidak hanya untuk polisi, lalu perlunya "Hate Speech" masuk dalam kurikulum pendidikan agar polisi tidak menerima "bola panas" terus, sehingga polisi dibenci. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015