Surabaya, (Antara Jatim) - Ekonomi syariah atau ekonomi Islam selama ini masih menjadi "second player" atau pemain kedua dalam perekonomian nasional, padahal mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim.

Potensi mengenai ekonomi ini pun diakui beberapa kalangan dan ahli ekonomi sangat besar untuk berkembang pesat di negara yang juga mempunyai julukan Nusantara, namun penerapan secara nyata yang masih "setengah hati" membuat potensi besar itu pun tidak bisa berkembang pesat.

Kurang maksimalnya penerapan ekonomi syariah di Nusantara ini diakui oleh Komisaris Utama Bank Mega Syariah Prof Dr Ir KH Mohammad Nuh DEA, yang menilai ekonomi syariah di Indonesia masih sebatas halal-haram atau "fiqih-oriented".

Sehingga, kata Nuh, ekonomi syariah dalam praktik di perbankan tidak maksimal, ditambah kurang jelasnya spesifikasi kurikulum syariah di universitas.

Mantan Menteri Pendidikan Nasional ini mengibaratkan keberadaan ekonomi syariah di Indonesia seperti bangunan, yakni hanya terfokus pada tembok halal-haram, padahal di luar tembok terdapat ruang yang cukup luas.

"Yang namanya tembok itu selalu lebih kecil daripada ruang," ucap Nuh saat menjadi pembicara utama dalam seminar nasional 'Islamic Finance 2015' di Surabaya, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, keraguan beberapa kalangan menerapkan sepenuhnya ekonomi syariah juga patut disayangkan, padahal sistem syariah sudah pernah terbukti bagus pada zaman Nabi Muhammad SAW dan berkali-kali dikupas dalam Al Quran.

"Masalahnya untuk zaman sekarang masih dipahami sebatas halal-haram, padahal dalam muamalah (perdagangan) itu hanya ada empat hal yang haram, selebihnya adalah halal," ujar Nuh yang juga masih dalam jajaran Ketua PBNU itu.

Mantan Rektor ITS itu menjelaskan, empat hal yang sudah dipastikan haram adalah obyek yang memang dinyatakan haram, obyek yang mempunyai unsur spekulatif (judi), ada unsur "gharar" (tidak pasti), serta perlakuan tidak adil (un-fair).

"Misalnya kalau bir itu haram, maka bank syariah memberi modal pabrik bir itu sudah jelas haram, tapi kalau bank syariah memberi modal pada pabrik celana dalam ya tidak apa-apa, karena celana dalam itu tidak haram," imbuhnya, sambil tersenyum.

Oleh karena itu, Nuh menilai ruang kreasi di luar empat hal itu masih cukup besar, dan inovasi dalam bisnis syariah juga sangat luas, sebab Islam memang "rahmatan lil alamin" atau rahmat bagi seluruh alam.

Nuh meminta agar paradigma atau cara pandang serta kurikulum ekonomi syariah di Indonesia untuk dirombak, sebab apabila sebatas halal-haram akan sulit mencetak sumber daya manusia perbankan yang mengerti syariah dan juga profesional.

"Artinya, kita hanya mencetak penjaga gawang, padahal kita membutuhkan penjaga gawang dan juga penyerang," tukasnya.

Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo saat di Surabaya juga mengakui potensi ekonomi syariah yang sangat besar untuk tumbuh dan berkembang, namun penetrasi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia saat ini masih tergolong rendah.

Ia menyebutkan pada 2015, pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia hanya sebesar 4,61 persen. Selain itu, sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi, sektor keuangan syariah juga belum optimal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan dua sektor utama industri keuangan syariah juga kurang berimbang, seperti pasar modal yang meningkat dari -1,57 persen menjadi 3,09 persen, namun perbankan menurun dari 13 persen menjadi hanya 9 persen.

Sejalan dengan perlambatan ekonomi tersebut, pertumbuhan aset Dana Pihak Ketiga (DPK) dan pembiayaan perbankan syariah pada Semester I 2015 juga belum optimal, yakni hanya masing-masing sebesar 9 persen, 7,29 persen, dan 6,66 persen.

Sementara pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan pada Semester II 2014 masing-masing sebesar 13 persen, 11,41 persen dan 8,76 persen.

Perry menyebutkan, salah satu tantangan terbesar mendorong ekonomi syariah saat ini adalah memunculkan kepedulian di masyarakat untuk mengambil bagian dalam kegiatan ekonomi syariah.

Serta, diperlukan pengembangan model-model pembiayaan syariah yang dapat diimplementasikan di pasar keuangan, pengembangan produk pasar keuangan dan peningkatan efisiensi sektor keuangan, serta dukungan sumber daya manusia yang memadai.

"Juga sangat penting sinergi kebijakan dan pengaturan dari sisi makro dan mikro dalam mendukung perkembangan pasar keuangan syariah, sebab ekonomi syariah membutuhkan kerja sama lintas organisasi, yakni mulai dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Kementerian Agama, MUI serta pemerintah daerah," paparnya.(*)

    

Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015