Surabaya (Antara Jatim) - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim menyatakan bahwa media harus menjauhkan keberpihakan pada daerah konflik, supaya tidak terjadi sasaran dari salah satu pihak yang berkonflik akibat pemberitaan atau peliputan pada daerah konflik.
"Media harus bersikap netral, agar wartawan yang ditugasi dalam daerah konflik tidak menjadi korban sasaran salah satu pihak, karena pers sangat rawan untuk dijadikan sandera bagi pihak-pihak yang berkepentingan, kemudian diberi doktrin mengenai segala informasi kepada pihak lawan untuk dijadikan berita," kata Ketua PWI Jatim, Akhmad Munir ketika menghadiri "Media Safety First Aid for Journalist" di Surabaya, Kamis.
Ia mencontohkan, nasib malang yang dialami seorang wartawan bernama Ridwan Salamun yang tewas ketika melakukan peliputan bentrok antar-warga Bandaeli dan Tigitan, di Tual, Maluku Tenggara pada 16 Agustus 2010 lalu yang telah memperpanjang daftar korban tindak kekerasan dan kriminalisasi serta teror terhadap wartawan di Indonesia pada daerah konflik.
"Organisasi Wartawan, seperti PWI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) bekerja sama dengan Dewan Pers maupun perusahaan media secara terkoordinasi perlu memuat Pedoman dan Program Pengamanan Keselamatan diri bagi wartawan dalam melakukan tugas peliputan pers," tuturnya.
Pengamanan keselamatan bagi wartawan dalam melakukan tugas peliputan pers merupakan perluasan dari progran perlindungan hukum bagi wartawan, dengan melibatkan para wartawan yang memiliki pengalaman liputan di daerah konflik, krtisis dan perang.
"Dengan adanya koordinasi tersebut, maka wartawan yang akan ditugaskan ke daerah konflik sudah memiliki standar tersendiri, yaitu memiliki kemampuan teknis, seperti mengamankan dirinya serta mengetahui latar belakang daerah yang akan dituju. Sedangkan untuk perusahaan media harus memfasilitasi perlengkapan dan infrastrukturnya, jika perlu juga harus mengasuransikan wartawannya," paparnya.
Di daerah manapun, lanjutnya Di negara manapun, wartawan merupakan profesi yang penuh tantangan dan cenderung mengabaikan keselamatan diri mereka, dan tidak bisa disebut sebagai warganegara istimewa tetapi merupakan profesi yang punya kualifikasi dan panggilan tugas yang luar biasa.
"Ketika warga atau penduduk meninggalkan daerah krisis, konflik atau perang maka wartawan justru mendatanngi daerah tersebut. Sebagai wartawan ia sadar bahwa dalam tugas peliputan jurnalistik tersebut jiwa dan keselamatan dirinya bisa saja terancam," terangnya.
Menurut dia, masalah perlindungan kepada wartawan yang melakukan tugas berbahaya di daerah dimana terjadi konflik bersenjata menjadi isu yang dibicarakan secara internasional, terkait bagaimana kasus atau ancaman terhadap wartawan di daerah konflik.
"Pegangan bagi wartawan yang meliput pada daerah konflik bersenjata yang hingga saat ini masih diteruskan oleh IFJ (Federasi Wartawan Internasional), yang dirumuskan oleh Rob Bakker dan Jens Linde adalah tidak ada berita yang sama harganya dengan nyawa anda, anda dan nyawa anda lebih penting dari berita itu, dan jika anda merasa terancam cepatlah keluar dari tempat itu," tandasnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Media harus bersikap netral, agar wartawan yang ditugasi dalam daerah konflik tidak menjadi korban sasaran salah satu pihak, karena pers sangat rawan untuk dijadikan sandera bagi pihak-pihak yang berkepentingan, kemudian diberi doktrin mengenai segala informasi kepada pihak lawan untuk dijadikan berita," kata Ketua PWI Jatim, Akhmad Munir ketika menghadiri "Media Safety First Aid for Journalist" di Surabaya, Kamis.
Ia mencontohkan, nasib malang yang dialami seorang wartawan bernama Ridwan Salamun yang tewas ketika melakukan peliputan bentrok antar-warga Bandaeli dan Tigitan, di Tual, Maluku Tenggara pada 16 Agustus 2010 lalu yang telah memperpanjang daftar korban tindak kekerasan dan kriminalisasi serta teror terhadap wartawan di Indonesia pada daerah konflik.
"Organisasi Wartawan, seperti PWI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) bekerja sama dengan Dewan Pers maupun perusahaan media secara terkoordinasi perlu memuat Pedoman dan Program Pengamanan Keselamatan diri bagi wartawan dalam melakukan tugas peliputan pers," tuturnya.
Pengamanan keselamatan bagi wartawan dalam melakukan tugas peliputan pers merupakan perluasan dari progran perlindungan hukum bagi wartawan, dengan melibatkan para wartawan yang memiliki pengalaman liputan di daerah konflik, krtisis dan perang.
"Dengan adanya koordinasi tersebut, maka wartawan yang akan ditugaskan ke daerah konflik sudah memiliki standar tersendiri, yaitu memiliki kemampuan teknis, seperti mengamankan dirinya serta mengetahui latar belakang daerah yang akan dituju. Sedangkan untuk perusahaan media harus memfasilitasi perlengkapan dan infrastrukturnya, jika perlu juga harus mengasuransikan wartawannya," paparnya.
Di daerah manapun, lanjutnya Di negara manapun, wartawan merupakan profesi yang penuh tantangan dan cenderung mengabaikan keselamatan diri mereka, dan tidak bisa disebut sebagai warganegara istimewa tetapi merupakan profesi yang punya kualifikasi dan panggilan tugas yang luar biasa.
"Ketika warga atau penduduk meninggalkan daerah krisis, konflik atau perang maka wartawan justru mendatanngi daerah tersebut. Sebagai wartawan ia sadar bahwa dalam tugas peliputan jurnalistik tersebut jiwa dan keselamatan dirinya bisa saja terancam," terangnya.
Menurut dia, masalah perlindungan kepada wartawan yang melakukan tugas berbahaya di daerah dimana terjadi konflik bersenjata menjadi isu yang dibicarakan secara internasional, terkait bagaimana kasus atau ancaman terhadap wartawan di daerah konflik.
"Pegangan bagi wartawan yang meliput pada daerah konflik bersenjata yang hingga saat ini masih diteruskan oleh IFJ (Federasi Wartawan Internasional), yang dirumuskan oleh Rob Bakker dan Jens Linde adalah tidak ada berita yang sama harganya dengan nyawa anda, anda dan nyawa anda lebih penting dari berita itu, dan jika anda merasa terancam cepatlah keluar dari tempat itu," tandasnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015