Surabaya (Antara Jatim) - Tidak ingin kasus kekerasan yang melibatkan anak semakin meningkat, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melakukan berbagai program sebagai langkah pencegahan dan antisipatif.

Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf mengajak kepada seluruh elemen masyarakat dapat mewujudkan daerah layak anak dengan menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi anak.

Menurut dia, hal ini penting karena adanya kasus pelecehan seksual, peredaran narkoba, dan pornografi sudah sangat meresahkan anak.

"Yang terpenting adalah anak-anak merasa aman dan nyaman di manapun berada. Di rumah, sekolah maupun lingkungannya. Kalau daerah ingin dikatakan layak anak, maka daerah itu harus aman dan nyaman bagi anak-anak," ujarnya.

Pihaknya terus berupaya menjadikan Jatim menjadi provinsi layak anak,  baik kondisi fisik maupun nonfisik, meliputi aspek-aspek kehidupan yang memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam konvensi hak anak dan/atau Undang-Undang Perlindungan Anak.

Tidak hanya di provinsi, di kabupaten/kota pun juga telah menerapkan kabupaten/kota layak anak (KLA) yang memiliki sistem pembangunan satu wilayah administrasi yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam pemenuhan hak anak.

"Anak-anak di Jatim mendapatkannya dan membutuhkan suasana kondusif untuk tumbuh berkembang. Kita semua tahu, anak-anak merupakan calon pemimpin bangsa ini di masa depan," kata Gus Ipul, sapaan akrabnya.

Tidak itu saja, Pemprov Jatim juga bertekad membentuk satuan tugas (satgas) perlindungan anak sebagai bentuk kepedulian sekaligus pencegahan terhadap kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan.

"Kami ingin Jatim menjadi Provinsi yang pertama kali memiliki institusi perlindungan terhadap anak dan perempuan," ucapnya.

Pemprov, kata dia, akan membuat nota kesepahaman dengan aparat penegak hukum seperti Polda Jatim dan Kodam V/Brawijaya, serta pemerintah kabupaten/kota.

"Nanti satgas ini harus ada sampai di tingkat terkecil dalam pemerintahan, yaitu tingkat RT/ RW," ucap Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I tersebut.

Satgas ini nantinya terdiri dari polisi, TNI, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat.

Isu yang memprihatinkan dan perlu diwaspadai saat ini, kata dia, yaitu kekerasan terhadap anak, maraknya pornografi, dan meningkatnya pengguna narkoba, serta tingginya angka perceraian dalam rumah tangga.

Angka kekerasan terhadap anak yang terjadi di Jatim cukup mengkhawatirkan karena tiap hari minimal ada 38 kasus kekerasan yang dilaporkan ke kepolisian di provinsi ini.

"Laporan yang saya terima, setiap hari minimal ada satu laporan di satu Polres. Berarti tiap hari minimal ada 38 kasus kekerasan yang dialami anak," katanya.

Selain membentuk satgas perlindungan anak, lanjut dia, masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dan pelecehaan seksual terhadap anak, membuat kejadian yang sama kerap terulang.

"Mungkin salah satu solusinya perlu revisi undang-undang. Tidak ada gunanya perekonomian tumbuh bagus dan memiliki kampus kelas dunia, tapi anak-anak perempuan masih banyak mengalami korban kekerasan," katanya.

Mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor tersebut juga mengaku dalam setahun terakhir ini serius mengadakan pertemuan dengan puluhan ribu orang tua, terutama ibu-ibu untuk menjaga anak-anaknya terhindar dari kekerasan seksual terhadap anak.

Satu lagi program Pemprov Jatim melalui Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) bekerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat mencanangkan Gerakan Sekolah Ramah Anak yang diharapkan mampu mencegah tindak kekerasan anak pada 1 September 2015.


Catatan LPA
Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur mengapresiasi langkah Pemprov Jatim mencegah kekerasan yang melibatkan anak, namun diharapkan tak sekadar wacana dan formalitas, sekaligus meminta digalakkannya program tersebut.

Ketua Divisi Data dan Riset LPA Jatim Isa Ansori mengakui program itu sebagai salah satu Langkah antisipasi yang harus dilakukan, selain introspeksi berupa tindakan nyata dengan tak berhenti menggerakkan wujud pencegahan.

"Gerakan ini terfokus ke pencegahan, kemudian penanggulangan. Seluruh sekolah harus melakukannya dan Dinas Pendidikan masing-masing daerah yang menegaskannya," katanya.

Gerakan ini antara lain terkait sistem pendidikannya, sarana prasarananya, pengelolaannya, perwujudan sikap ramah tamah dan saling menghargai antarsesama dan berbagai cara lain tentang bagaimana agar anak antikekerasan.

Berdasarkan catatan, kata Isa, rentetan kasus kekerasan terhadap anak terus terjadi setiap harinya di Jawa Timur, bahkan bisa dikategorikan tinggi.

Data di data LPA Jatim, pada tahun ini sejak Januari sampai Juli telah terjadi 263 kasus yang melibatkan anak, dengan Surabaya menjadi daerah terbanyak kejadian dengan 74 kasus.

Berikutnya Lamongan dengan 22 kasus, Jombang 21 kasus, Mojokerto 13 kasus, Malang 12 kasus, Tuban 10 kasus, Gresik, Sidoarjo dan Sampang 9 kasus, Pasuruan 7 kasus, Lumajang 5 kasus, Situbondo 4 kasus, Banyuwangi dan Probolinggo 3 kasus, Kediri dan Jember 2 kasus, serta masing-masing 1 kasus terjadi di Sumenep, Magetan dan Pamekasan.

Pihaknya mencatat mayoritas atau sekitar 80 persennya merupakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang dekat dan kenal.

"Kami juga mencatat kebanyakan terjadi di sekolah, kemudian lingkungan sekitar tempat tinggal. Hal ini mengindikasikan bahwa sekolah belum menjadi tempat aman bagi anak-anak," katanya.


Tes Psikologi Guru
Selain telah melakukan berbagai program, satu lagi solusi mencegah upaya kekerasan terhadap anak, khususnya di sekolah, yakni dengan menyelenggarakan tes psikologi bagi seluruh guru.

Ketua Komisi E DPRD Jatim Agung Mulyono yang mengemukakan usulan tersebut.

Hasil tes psikologi terhadap guru, kata dia, diharapkan sebagai tolok ukur untuk mengetahui psikis seseorang, sekaligus sebagai penilaian kepantasan penempatan seorang guru.

"Kalau kurang bagus dan sesuai saran dari psikolog harus ada pembinaan maka bisa ditempatkan di staf atau adminitrasi untuk sementara, sembari dibina sampai benar-benar kondisinya benar-benar siap," katanya.

Kepada sekolah perekrut guru baru, legislator asal Banyuwangi itu juga berharap adanya syarat utama tes psikologi sebagai antisipasi sebelum benar-benar diterima sebagai guru dan mengajar.

"Seorang guru harus digugu dan ditiru. Jangan sampai malah menjerumuskan anak seperti yang terjadi selama ini di beberapa tempat. Jangan sampai sekolah tak aman bagi anak," kata politisi yang juga seorang dokter itu.

Usulan tersebut juga telah disampaikannya ke Dinas Pendidikan Jatim dan mendapat respon positif sehingga tak lama lagi akan dilaksanakannya. (*)

Pewarta: Fiqih Arfani

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015