Sepenggal kisah hidup Nabi Ibrahim alaihissalam bersama keluarganya dijadikan salah satu ritual "wajib bersyarat" bagi umat Islam, yakni sebagai rukun Islam kelima.
Kewajiban melaksanakan haji dengan syarat mampu membayar biaya pergi pulang dari rumah ke Mekkah, adalah ritual napak tilas ketauhidan dan ketundukan Ibrahim, istrinya Hajar dan anaknya Ismail kepada Allah.
Pada momen haji itu, di dalamnya ada ritual kurban yang jika ditilik dari sejarah merupakan puncak ketauhidan seorang hamba kepada Tuhannya. Di dalamnya sekaligus juga merefleksikan kewajiban umat Muslim untuk selalu peduli terhadap sesama.
Puncak ketauhidan itu dapat dilihat dari bagaimana Ibrahim tidak menolak perintah Allah, meskipun secara akal mustahil dilaksanakan, yakni harus menyembelih anaknya.
Bukan perkara mudah bagi Ibrahim untuk melaksanakan perintah itu karena godaannya luar biasa. Anaknya bernama Ismail yang diidam-idamkannya sejak lama, tiba-tiba diperintahkan oleh Allah untuk disembelih.
Ibrahim memilih menyembelih anaknya karena yakin bahwa semua yang diperintahkan oleh Allah adalah kebaikan. Demikian juga dengan Ismail, yang dengan rela hati dirinya "dikurbankan".
Dan benar, Allah tidak pernah mencelakakan hamba dengan perintah-Nya. Allah menyimpan rahasia yang seringkali tidak mudah dijangkau oleh akal manusia. Pada saat Ibrahim dan Ismail berada pada puncak ketundukan kepada-Nya, Allah datang. Bukan Ismail yang kemudian disembelih oleh Ibrahim. Allah menggantinya dengan kambing.
Peristiwa ini memberi pelajaran berharga bagi umat Islam bahwa perintah agama tidak melulu bisa didekati dengan akal. Akal manusia terlalu sempit untuk memahami kebesaran Allah. Karena itulah hanya diperlukan ketundukan bagi seorang umat untuk melaksanakan perintah itu. Sebagian dari perintah itu kemudian dibuka rahasia kemanfaatannya, sebagian yang lain masih atau bahkan boleh jadi akan terus menjadi misteri. Sebagaimana yang dialami Ibrahim dan Ismail, pada akhirnya kebaikan yang diterimanya.
Aspek kedua dari perintah kurban ini adalah kepedulian bagi sesama. Hewan kurban yang disembelih oleh seorang umat dibagikan kepada umat lain yang membutuhkan.
Pembagian ini mengajarkan bahwa agama bukan sekadar ritual yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, tetapi harus diaplikasikan dalam hubungan antarmanusia. Bahkan lebih dari itu, hubungan manusia dengan alam. Umat Islam sebagai khalifah di muka harus menunjukkan kepedulian kepada alam. Demikian, ibadah kurban yang disyariatkan agama berdasarkan kisah Ibrahim dan Ismail.
Di Indonesia, pada Idul Adha 2015 dilaksanakan berbeda antara Muhammadiyah dengan pemerintah. Muhammadiyah melaksanakan Idul Adha 23 September, sementara pemerintah pada 24 September. Kembali kepada nilai-nilai kurban, yakni kepedulian, maka perbedaan tanggal hari raya itu harus dimaknai dalam bingkai kepedulian itu, yakni saling menghargai. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
Kewajiban melaksanakan haji dengan syarat mampu membayar biaya pergi pulang dari rumah ke Mekkah, adalah ritual napak tilas ketauhidan dan ketundukan Ibrahim, istrinya Hajar dan anaknya Ismail kepada Allah.
Pada momen haji itu, di dalamnya ada ritual kurban yang jika ditilik dari sejarah merupakan puncak ketauhidan seorang hamba kepada Tuhannya. Di dalamnya sekaligus juga merefleksikan kewajiban umat Muslim untuk selalu peduli terhadap sesama.
Puncak ketauhidan itu dapat dilihat dari bagaimana Ibrahim tidak menolak perintah Allah, meskipun secara akal mustahil dilaksanakan, yakni harus menyembelih anaknya.
Bukan perkara mudah bagi Ibrahim untuk melaksanakan perintah itu karena godaannya luar biasa. Anaknya bernama Ismail yang diidam-idamkannya sejak lama, tiba-tiba diperintahkan oleh Allah untuk disembelih.
Ibrahim memilih menyembelih anaknya karena yakin bahwa semua yang diperintahkan oleh Allah adalah kebaikan. Demikian juga dengan Ismail, yang dengan rela hati dirinya "dikurbankan".
Dan benar, Allah tidak pernah mencelakakan hamba dengan perintah-Nya. Allah menyimpan rahasia yang seringkali tidak mudah dijangkau oleh akal manusia. Pada saat Ibrahim dan Ismail berada pada puncak ketundukan kepada-Nya, Allah datang. Bukan Ismail yang kemudian disembelih oleh Ibrahim. Allah menggantinya dengan kambing.
Peristiwa ini memberi pelajaran berharga bagi umat Islam bahwa perintah agama tidak melulu bisa didekati dengan akal. Akal manusia terlalu sempit untuk memahami kebesaran Allah. Karena itulah hanya diperlukan ketundukan bagi seorang umat untuk melaksanakan perintah itu. Sebagian dari perintah itu kemudian dibuka rahasia kemanfaatannya, sebagian yang lain masih atau bahkan boleh jadi akan terus menjadi misteri. Sebagaimana yang dialami Ibrahim dan Ismail, pada akhirnya kebaikan yang diterimanya.
Aspek kedua dari perintah kurban ini adalah kepedulian bagi sesama. Hewan kurban yang disembelih oleh seorang umat dibagikan kepada umat lain yang membutuhkan.
Pembagian ini mengajarkan bahwa agama bukan sekadar ritual yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, tetapi harus diaplikasikan dalam hubungan antarmanusia. Bahkan lebih dari itu, hubungan manusia dengan alam. Umat Islam sebagai khalifah di muka harus menunjukkan kepedulian kepada alam. Demikian, ibadah kurban yang disyariatkan agama berdasarkan kisah Ibrahim dan Ismail.
Di Indonesia, pada Idul Adha 2015 dilaksanakan berbeda antara Muhammadiyah dengan pemerintah. Muhammadiyah melaksanakan Idul Adha 23 September, sementara pemerintah pada 24 September. Kembali kepada nilai-nilai kurban, yakni kepedulian, maka perbedaan tanggal hari raya itu harus dimaknai dalam bingkai kepedulian itu, yakni saling menghargai. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015