Surabaya (Antara Jatim) - Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) belajar tentang pemberantasan korupsi, terutama bidang gratifikasi,  dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengetahui seluk beluk lebih jauh tentang ketentuan dan proses pelaporannya.

"Selama ini masyarakat masih belum paham tentang pengertian antara gratifikasi dengan pemberian hadiah, sehingga dengan adanya kegiatan workshop dengan model  diskusi meja bundar diharapkan masyarakat,  khususnya mahasiswa bisa memahami perbedaan antara gratifikasi dengan pemberian hadiah," kata Dekan Fakultas Bisnis UWKMS, Lodovicus Lasdi, di Surabaya, Rabu.

Ia mengatakan, dalam workshop bertema  Pencegahan Korupsi di Indonesia dengan Peran Perguruan Tinggi dalam Pendidikan Budi Pekerti dan Agama itu memberikan materi kepada mahasiswa dari kasus skandal fraud atau tindakan curang yang dianggap gratifikasi.

"Setiap tindakan gratifikasi dilakukan mayoritas oleh lulusan perguruan tinggi dan dilakukan berlatar belakang jabatan, sehingga kami sebagai perguruan tinggi ingin mengantisipasi hal-hal tersebut kepada mahasiswa lulusan UKWMS agar tidak melakukan hal-hal yang dianggap korupsi," katanya.

Menurut dia, untuk menghindari adanya tindakan gratifikasi maka pihaknya sudah menyiapkan materi yang akan dipelajari oleh para mahasiswa serta menjadi motor penggerak sebagai perguruan tinggi yang mencetak lulusannya menjadi orang yang baik.

"Kami sudah menyiapkan program materi mata kuliah yang dikhususkan membahas tentang korupsi dengan alasan menumbuhkan rasa keprihatinan mahasiswa tentang Indonesia karena kasus korupsi di Indonesia sangat banyak, jika dilakukan oleh oknum dari perguruan tinggi maka kerusakan dari Indoensia akan masiv dan sangat besar," tuturnya.

Sementara itu, Direktur Direktorat Bidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Sujarnako mengatakan pengertian gratifikasi sesuai Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
 
"Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik, selain itu setiap tindakan yang dinilai sebagai gratifikasi seperti apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya," katanya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan 1.365 kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap atau in kracht van gewijsde dari rentang waktu 2001 hingga saat ini jika diestimasi kerugian negara mencapai Rp 168,19 triliun, namun jumlah uang yang berpotensi kembali ke negara hanya Rp 15,09 triliun saja atau sekitar 8,97 persen.

"Dengan kata lain masyarakat pembayar pajak Indonesia telah menyubsidi para koruptor karena uang Rp15,09 triliun itu pun sebenarnya belum benar-benar masuk ke kantong pemerintah karena baru berupa hukuman financial sebab masih ada tahapan eksekusi oleh pihak kejaksaan untuk merealisasikannya," jelasnya.(*)

Pewarta: Laily Widya Arisandhi

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015