Ponorogo (Antara Jatim) - Akademisi dari STKIP PGRI Ponorogo Dr Sutejo, MHum mengemukakan semua guru bahasa dan sastra memiliki beban moral besar di bidang keterampilan menulis dan karenanya wajib membiasakan diri untuk menghasilkan karya tulis.
     
"Bagaimana orang mengajari orang lain bersepeda kalau dirinya tidak bisa naik sepeda. Bagaimana bisa mengajari orang mengendarai mobil kalau dirinya tidak pernah mengendarai? Bagaimana guru bahasa dan sastra mengajarkan hal ikhwal menulis kalau dirinya tidak pernah menulis? Logikanya seperti itu," katanya sebagaimana keterangan yang diterima Antara, Kamis.
     
Sutejo yang dikenal sebagai budayawan dan telah menghasilkan 20 karya berbentuk buku dan ratusan artikel serta fiksi itu mengemukakan hal tersebut pada kegiatan "Peningkatan Keterampilan Kebahasaan dan Kesastraan bagi Guru" yang diselenggarakan oleh Musayawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP, SMA dan SMK di Ponorogo bekerja sama dengan Balai Bahasa Jawa Timur.
     
Dia mengemukakan bahwa sebetulnya tidak ada alasan bagi para guru, khususnya guru bahasa dan sastra untuk tidak bisa menulis, baik fiksi maupun dalam bentuk yang lain, karena yang diperlukan hanyalah ketekunan dan kemauan untuk terus berlatih.
     
Peraih gelar doktor sastra dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu juga prihatin ketika ada yang mempertanyakan mengapa guru diwajibkan menulis. Hal itu sebetulnya bukan hanya berlaku bagi guru bahasa dan satra, melainkan secara umum.
     
"Bukankah ilmu itu diperoleh dari dua kegiatan, yakni menulis dan membaca? Dengan memiliki keterampilan menulis, maka kualitas para guru dalam penguasaan ilmu yang menjadi kewajiban mengajarnya akan bertambah bagus," katanya.
     
Menurut dia, jika seorang guru memiliki keterampilan menulis, maka guru tersebut dipastikan akan memiliki kegemaran membaca untuk menambah pengetahuannya. Dan jika guru selalu mengisi "bejana" pengetahuannya, maka ilmu yang diberikan kepada siswanya akan semakin berkualitas.
     
Secara praktis ia mengemukakan bahwa kemampuan menulis itu bukan masalah bakat, bukan keajaiban, bukan keturunan, dan bukan pula keberuntungan.
     
"Menulis adalah buah etos kerja keras, buah berlatih, buah kepekaan, buah kejelian, buah keyakinan, buah membaca, buah berpikir, buah berenung, buah refleksi, dan buah solusi. Demikian juga dengan menulis esai," katanya.
     
Ia mengemukakan bahwa menulis bukan teori, tetapi praktik. Praktik akan melahirkan keterampilan dan akumulasinya akan melahirkan kemahiran.
     
"Kemahiran menulis itu tentu membutuhkan latihan yang tidak terhitung, bukan juga mengumpulkan teori yang tidak terhitung. Untuk inilah, saya lebih tertarik berguru pada pengalaman banyak orang, termasuk pengalaman diri sendiri untuk berbagi latihan kepenulisan," katanya.
     
Sutejo juga mengingatkan bahwa menulis dan membaca itu adalah sepasang "suami isteri" yang tidak bisa dipisahkan. Jika ingin mengasilakn  tulisan, maka syarat dasarnya adalah banyak membaca untuk memperkaya wawasan dan cara pandang atas suatu persoalan yang akan ditulis.
     
Selain Sutejo, pelatihan menulis esai itu juga menghadirkan sejumlah praktisi kepenulisan, termasuk salah seorang peneliti dari Balai Bahasa Jawa Timur, Yani Paryono, MPd. (*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015