Surabaya (Antara Jatim) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menilai bahwa analisis risiko bencana akan menyempurnakan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai piranti yang disiapkan pemerintah untuk mengantisipasi dampak lingkungan.
"Izin investasi industri perlu diperketat dengan adanya kewajiban melakukan analisis risiko bencana industri, karena kita perlu mengingat bahwa dampak bencana bisa merugikan banyak orang, seperti halnya kasus bencana Lumpur Lapindo," kata Inspektur Utama BNPB, Bintang Susmanto di sela-sela Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas XI, di ITS Surabaya, Selasa.
Ia mengatakan selama ini banyak industri yang kurang memperhatikan analisis dampak bencana, sehingga banyak industri yang baru menanggulangi masalah bencana setelah kejadian, karena yang dicantumkan dalam pendirian sebuah industri hanyalah penyertaan izin Amdal yang bersifat formalitas.
“Analisis bencana harus ada untuk menyempurnakan Amdal, karena selama ini syarat analisis risiko bencana belum masuk dalam aturan Amdal dan UU No.24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, sehingga saat ini BNPB akan merumuskan kembali bentuk aturan analisis risiko bencana industri tersebut dengan melibatkan berbagai pihak, seperti masyarakat, komunitas lingkungan, serta akademisi," paparnya.
Menurut dia,bentuk aturan analisis risiko bencana yang berupa draf itu sedang dirumuskan seperti apa bentuknya, apakah dipisahkan dengan Amdal atau berdiri sendiri, karena untuk mengubah Undang-Undang memerlukan waktu yang lama untuk mendapat persetujuan dari DPR.
"Menurut saya analisis risiko bencana tersebut sebaiknya menjadi satu dengan revisi Amdal agar nantinya tidak mempersulit adanya investasi industri ke depan, apalagi menghambat investasi daerah. Oleh karena itu, fungsi pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota juga harus berjalan," katanya menjelaskan.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo mengatakan sejak tahun 2010, ITS sudah ditunjuk untuk membuat draft analisis risiko bencana industri, hanya saja pemantapan draft tersebut terhenti hingga saat ini.
“Saat masih diskusi untuk penyempurnaan draf, ternyata macet di beberapa Kementerian, sehingga analisis risiko bencana belum bisa dijalankan. Kami beserta BNPB sudah menbuat draf dan sekarang kami menunggu eksekusi dari pemerintah terkait bagaimana, karena melihat Amdal saja hanya melihat dampaknya saja, bukan penyebabnya," tuturnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Izin investasi industri perlu diperketat dengan adanya kewajiban melakukan analisis risiko bencana industri, karena kita perlu mengingat bahwa dampak bencana bisa merugikan banyak orang, seperti halnya kasus bencana Lumpur Lapindo," kata Inspektur Utama BNPB, Bintang Susmanto di sela-sela Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas XI, di ITS Surabaya, Selasa.
Ia mengatakan selama ini banyak industri yang kurang memperhatikan analisis dampak bencana, sehingga banyak industri yang baru menanggulangi masalah bencana setelah kejadian, karena yang dicantumkan dalam pendirian sebuah industri hanyalah penyertaan izin Amdal yang bersifat formalitas.
“Analisis bencana harus ada untuk menyempurnakan Amdal, karena selama ini syarat analisis risiko bencana belum masuk dalam aturan Amdal dan UU No.24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, sehingga saat ini BNPB akan merumuskan kembali bentuk aturan analisis risiko bencana industri tersebut dengan melibatkan berbagai pihak, seperti masyarakat, komunitas lingkungan, serta akademisi," paparnya.
Menurut dia,bentuk aturan analisis risiko bencana yang berupa draf itu sedang dirumuskan seperti apa bentuknya, apakah dipisahkan dengan Amdal atau berdiri sendiri, karena untuk mengubah Undang-Undang memerlukan waktu yang lama untuk mendapat persetujuan dari DPR.
"Menurut saya analisis risiko bencana tersebut sebaiknya menjadi satu dengan revisi Amdal agar nantinya tidak mempersulit adanya investasi industri ke depan, apalagi menghambat investasi daerah. Oleh karena itu, fungsi pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota juga harus berjalan," katanya menjelaskan.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo mengatakan sejak tahun 2010, ITS sudah ditunjuk untuk membuat draft analisis risiko bencana industri, hanya saja pemantapan draft tersebut terhenti hingga saat ini.
“Saat masih diskusi untuk penyempurnaan draf, ternyata macet di beberapa Kementerian, sehingga analisis risiko bencana belum bisa dijalankan. Kami beserta BNPB sudah menbuat draf dan sekarang kami menunggu eksekusi dari pemerintah terkait bagaimana, karena melihat Amdal saja hanya melihat dampaknya saja, bukan penyebabnya," tuturnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015