Jakarta (Antara) - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, pasal penghinaan terhadap presiden tidak perlu dimasukkan ke dalam KUHP.
"Ada dua alasan, pertama, pasal itu sudah dicabut Mahkamah Konstitusi," katanya di Jakarta, Minggu.
Alasan kedua, menurutnya, bila pasal itu diberlakukan, maka sama saja dengan mengistimewakan presiden.
Padahal tiap warga, termasuk presiden memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
"Posisi warga negara sama di depan hukum sehingga presiden tidak pantas diistimewakan secara hukum. Memberi keistimewaan hukum pada presiden sama artinya mendiskriminasi rakyat dan hukum itu sendiri," ujarnya.
Ia pun menyebut bahwa pasal yang mengatur perkara penghinaan dan pencemaran nama baik sudah tercantum dalam KUHP. Karena itu, pasal penghinaan terhadap presiden tidak perlu ada.
"Jika merasa dihina, presiden bisa melapor ke polisi dengan menggunakan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, sama seperti kasus Hakim Sarpin yang melaporkan dua hakim KY dengan tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik," katanya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengajukan 786 Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR RI untuk disetujui menjadi UU KUHP.
Dari ratusan pasal yang diajukan itu, Presiden Jokowi menyelipkan satu pasal mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden.
Pasal tersebut sebenarnya sudah dihapuskan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2006.
Pasal tersebut tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi: "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV". (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Ada dua alasan, pertama, pasal itu sudah dicabut Mahkamah Konstitusi," katanya di Jakarta, Minggu.
Alasan kedua, menurutnya, bila pasal itu diberlakukan, maka sama saja dengan mengistimewakan presiden.
Padahal tiap warga, termasuk presiden memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
"Posisi warga negara sama di depan hukum sehingga presiden tidak pantas diistimewakan secara hukum. Memberi keistimewaan hukum pada presiden sama artinya mendiskriminasi rakyat dan hukum itu sendiri," ujarnya.
Ia pun menyebut bahwa pasal yang mengatur perkara penghinaan dan pencemaran nama baik sudah tercantum dalam KUHP. Karena itu, pasal penghinaan terhadap presiden tidak perlu ada.
"Jika merasa dihina, presiden bisa melapor ke polisi dengan menggunakan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, sama seperti kasus Hakim Sarpin yang melaporkan dua hakim KY dengan tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik," katanya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengajukan 786 Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR RI untuk disetujui menjadi UU KUHP.
Dari ratusan pasal yang diajukan itu, Presiden Jokowi menyelipkan satu pasal mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden.
Pasal tersebut sebenarnya sudah dihapuskan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2006.
Pasal tersebut tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi: "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV". (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015