Surabaya (Antara Jatim) - Pengamat komunikasi politik asal Universitas Airlangga Suko Widodo menilai penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi pembelajaran Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat menjabat di kursi pemerintahan.

"Yang harus diingat oleh wali kota, bahwa menjalankan roda pemerintahan tidak bisa seorang diri, tapi harus bersama DPR dan berkomunikasi dengan partai politik di Surabaya," ujarnya kepada wartawan, Selasa.

Selama ini ia memandang sikap politik Tri Rismaharini masih kurang terbangun dengan semua partai politik, khususnya yang ada di parlemen atau DPRD Surabaya sehingga terlihat kurang harmonis.

"Kalau secara fisik, Bu Risma memang sudah terbukti. Tapi secara hubungan dengan partai politik masih sangat kurang, bahkan terlihat jelas bagaimana hubungannya dengan partai pengusungnya sendiri dulu," ucapnya.

Hal inilah, kata dia, yang menjadi salah satu faktor terhentinya proses kaderisasi karena tidak adanya proses komunikasi baik antara eksekutif dan legislatif.

"Tidak ada partai politik yang menjalin komunikasi baik dengan wali kota untuk membahas persoalan Pilkada untuk mengantisipasi hal-hal yang awalnya tidak diduga seperti sekarang, yakni calon tunggal," katanya.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unair itu mencontohkan sikap komunikasi politik yang dilakukan Gubernur Jatim Soekarwo dengan partai politik di provinsi setempat.

"Soekarwo meski ketua partai, tapi dia bisa menempatkan posisinya. Atas nama gubernur, dia mengundang rutin semua pimpinan parpol untuk bersilaturahim dan membahas persoalan di wilayahnya. Masukan dari parpol akan sangat membantu," katanya.

Tidak itu saja, ada sejumlah faktor yang menurut dia berpengaruh terhadap fenomena calon tunggal di Pilkada Surabaya yang seharusnya dilaksanakan serentak pada 9 Desember 2015.

Berdasarkan data dari Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Unair disebutkan hingga Februari tahun ini, sebanyak hanya 18 persen masyarakat di Jatim yang tahu akan ada penyelenggaraan Pilkada serentak, sedangkan 82 persen lainnya mengaku tidak tahu.

"Yang ngeri, hanya 10 persen masyarakat yang tahu tokoh layak maju Pilkada. Sedangkan, 90 persen tidak tahu siapa tokoh-tokoh yang maju," katanya.

Ia menilai, ketidaktahuan ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di masing-masing daerah untuk sosialisasi lebih. (*)

Pewarta: Fiqih Arfani

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015