Surabaya (Antara Jatim) - Praksis politik di negeri ini terus menerus diikhtiarkan agar mendekati tatanan ideal sesuai yang dicita-citakan dan diteguhkan kembali saat lahirnya gerakan reformasi.
     
Demokrasi yang diupayakan agar politik bermuara pada kemakmuran rakyat dalam pengertian terpenuhinya semua aspek kebutuhan warga, pada perjalanannya selalu menemui "jalan bengkok" berupa penyimpangan-penyimpangan oleh pelakunya.
     
Salah satu yang sangat menonjol adalah praktik korupsi yang dilakukan oleh politisi ketika mereka mendapatkan kekuasaan. Politik yang sejatinya untuk kepentingan rakyat menjadi ajang pemenuhan hasrat sekelompok orang.
     
Bahkan belakangan ini muncul gejala mempertahankan kekuasaan selama mungkin dengan menempatkan sanak famili dari penguasa yang secara hukum sudah tidak bisa lagi menjabat. Istri, anak, saudara atau yang memiliki hubungan darah diupayakan menjadi pengganti seseorang yang sedang berkuasa. Kenyataan ini kemudian dikenal dengan politik dinasti.
     
Untuk mengatasi politik dinasti yang ujung-ujungnya cenderung melanggengkan sikap koruptif itu, pemerintah kemudian membuat Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
     
Namun, UU yang diterbitkan untuk membatasi politik dinasti itu kemudian dibatalkan, khususnya Pasal 7 huruf R dan Pasal 7 huruf S setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Adnan Purichta Ichsan, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
     
Pasal 7 huruf R tersebut berbunyi, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
     
Mahkamah menilai Pasal 7 huruf R dan penjelasannya memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, dan menimbulkan multitafsir karena menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif.
     
Atas putusan itu, bermunculan sikap yang menyayangkan, meskipun pada akhirnya mereka sepakat bahwa semua pihak harus tunduk pada ketentuan tersebut.
     
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi menilai keputusan Mahkamah Konstitusi itu akan mempermudah terjadinya politik dinasti.
     
"Saya melihat keputusan MK ini cenderung akan mempermudah terjadinya politik dinasti, padahal praktik ini seharusnya dicegah," ujarnya.
     
Menurut dia, praktik-praktik politik dinasti, yang ditandai dengan naiknya istri atau keluarga petahana menjadi pemimpin daerah, sudah cukup banyak terjadi di Indonesia.
     
Salah satu modusnya, kata dia, para petahana mengundurkan diri sebagai kepala daerah demi memuluskan jalan keluarganya, misal sang istri, untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin.
     
Hal ini pun menjadi perhatian serius dari KASN, yang akan mengeluarkan surat edaran yang melarang para petahana mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali dengan alasan-alasan khusus, seperti terlibat tindak pidana ataupun meninggal dunia.
     
"Kami meneruskan imbauan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, demi mencegah berkembangnya politik dinasti. Surat akan kami kirimkan dalam minggu ini ke seluruh daerah," ujar Sofian.
     
Politisi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang kini menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengatakan politik dinasti merupakan sesuatu yang tidak etis.
     
"Kalau pendapat pribadi saya ya tidak etis lah kalau di dalam proses politik yang semakin demokratis dan semakin transparan ini masih ada politik dinasti," katanya.
     
Menurut dia, kepala daerah petahana yang tidak dapat mencalonkan dirinya kembali sehingga mencalonkan anggota keluarganya dapat mempengaruhi kondisi politik.
     
Yuddy menambahkan, pejabat petahana berpotensi menggunakan pengaruhnya dalam upaya-upaya pemenangan calon kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat tersebut.
     
"Ini tidak sehat dalam proses demokrasi yang tidak seimbang," katanya.
     
Kendati demikian, Yuddy mengatakan warga negara Indonesia harus menghormati dan menghargai keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
     
Menghadapi ketentuan yang sudah berkekuatan hukum tetapitu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyarankanpemerintah perlu menyusun peraturan memuat sanksi bagi calon kepala daerah yang terbukti menggunakan fasilitas negara melalui petahana untuk memuluskan pencalonan dalam pilkada.
     
"Menurut saya, Pemerintah bisa membuat PP sebagai panduan untuk melaksanakan itu. Bahwa apabila calon kepala daerah menggunakan kedudukan petahana untuk mengambil keuntungan, maka bisa dibatalkan pencalonannya dalam pilkada," katanya.
     
Mahfud mengatakan dengan PP tersebut maka akan ada panduan bagi MK maupun pengadilan umum dalam menangani sengketa pilkada. Selama ini, MK kesulitan menangani sengketa yang diajukan oleh pasangan calon kalah di pemilihan.
     
"Kalau dulu MK memegang panduan meskipun semuanya harus terbukti dulu, tidak bisa dibatalkan karena punya pedoman yang harus signifikan lalu pembuktiannya menunggu pidana. Kalau ada PP yang mengatur seperti itu ya lebih gampang penerapannya di MK maupun pengadilan umum," katanya.
     
Sementara salah seorang kimisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ida Budhiati mengatakan aspek penegakan hukum merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mencegah politik dinasti.
     
Menurut dia, akar masalah terkait dengan politik dinasti adalah pada petahana yang menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan politik kerabatnya.
     
Kalau memang terbukti atau ada bukti permulaan yang cukup, maka petahana sebagai seorang pejabat negara bisa dimintai pertanggungjawaban hukum, kata Ida.
     
"Tidak hanya menurut hukum pidana pemilihan, tapi juga menurut hukum tindak pidana korupsi," ucapnya.
     
Selain itu, Ida menjelaskan bahwa peraturan KPU segera mengadaptasi sesuai dengan putusan MK.
     
Langkah yang kemudian ditempuh oleh KPU adalah melakukan penjelasan kepada KPU Kabupaten/Kota dan meminta kepada mereka untuk segera mensosialisasikan perubahan peraturan kepada pemangku kepentingan utama dalam pemilihan kepala daerah.
     
"Kalau pasal itu benar dibatalkan dan bertentangan dengan konstitusi, tentu KPU harus menyesuaikan," ucapnya.
     
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya "Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan" mengakui bahwa "buah" demokrasi di Indonesia masih belum seperti yang diharapkan.
     
Menurut dia, sekiranya visi mereka (para pemimpin) jauh melampaui kepentingan terbatas yang bersifat pribadi, golongan atau partai, Indonesia tentu sudah terbang melambung tinggi dan dihormati negara-negara lain.
     
Generasi pendiri bangsa dan generasi BJ Habibie banyak yang dikenal secara luas oleh dunia. Tetapi kendalanya tetap saja berkutat pada suasana kepentingan politik sempit yang menutup ruang untuk mengembangkan budaya toleransi di kalangan elite.
     
Namun ia mengingatkan bahwa upaya perbaikan sistem harus dilakukan terus menerus tanpa merasa bosan, sekalipun hasilnya sering menyakitkan dan melelahkan.
     
Salah satu upaya perbaikan itu adalah membangun iklim posisi tawar yang kuat pada masyarakat sipil terhadap para calon yang akan berkompetisi dalam pilkada sebagaimana dingkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
     
"Sehingga (masyarakat) tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek dalam proses pemilihan kepala daerah kali ini," katanya. (*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015