Surabaya (Antara Jatim) - Lembaga Survei Penelitian Sonar Media Consultant (SMC) menilai jika dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Surabaya yang digelar Desember 2015 hanya terdapat pasangan calon tunggal, maka sebaiknya diundur.
"Ini untuk memberikan kesempatan kepada partai-partai dan kekuatan politik lain melakukan konsolidasi sehingga dapat memunculkan pilihan yang lebih banyak bagi warga kota," kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Penelitian SMC Lasiono, di Surabaya, Minggu.
Menurut dia, pihaknya menilai tidak adanya figur alternatif selain calon wali kota petahana yang bisa berkompetisi secara imbang di Pilkada Surabaya, menandakan tidak adanya regenerasi kepemimpinan di Surabaya.
Bahkan tidak ada satu pun warga Surabaya yang mendaftar sebagai calon perseorangan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya. "Kondisi ini adalah gelagat sakitnya demokrasi di Kota Surabaya," katanya.
Ia menganggap pilkada ini adalah momentum masa depan demokrasi di kota Surabaya. Namun situasi saat ini berbeda, dimana selain calon perseorangan tidak ada, masing-masing partai pun saat ini masih belum ada yang berani memberikan rekomendasi untuk calonnya.
Sebaliknya, lanjut dia, dari kubu calon petahana, membuat wacana pilkada aklamasi atau calon tunggal yang tentunya itu menabrak undang-undang pilkada yang berlaku saat ini.
"Ini membahayakan masa depan demokrasi karena sejatinya partai-partai politik telah gagal melahirkan tokoh-tokoh baru yang baik untuk menjadi pemimpin kota Surabaya," katanya.
Ia mengatakan partai Politik dan organisasi politik lainnya sebagai pilar demokrasi mestinya berfungsi melakukan kaderisasi politik. Maka jika fungsi ini mati, ini adalah cermin kegagalan demokrasi di Surabaya.
"Tidak muncul figur populis dari parpol yang bisa dijadikan alternatif oleh warga kota. Padahal warga kota berhak mendapat pilihan yang terbaik. Parpol tidak percaya diri terhadap kader-kader yang dimilikinya hingga harus mencari figur lain, atau merapat pada petahana," tegasnya.
Hal Ini membuat kepercayaan rakyat terhadap parpol semakin menurun. Sehingga, rakyat semakin tidak berminat kepada partai-partai yang ada. Setidaknya, koalisi berbasis platform tersebut telah memiliki syarat yang cukup untuk mengusung figur masing-masing. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Ini untuk memberikan kesempatan kepada partai-partai dan kekuatan politik lain melakukan konsolidasi sehingga dapat memunculkan pilihan yang lebih banyak bagi warga kota," kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Penelitian SMC Lasiono, di Surabaya, Minggu.
Menurut dia, pihaknya menilai tidak adanya figur alternatif selain calon wali kota petahana yang bisa berkompetisi secara imbang di Pilkada Surabaya, menandakan tidak adanya regenerasi kepemimpinan di Surabaya.
Bahkan tidak ada satu pun warga Surabaya yang mendaftar sebagai calon perseorangan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya. "Kondisi ini adalah gelagat sakitnya demokrasi di Kota Surabaya," katanya.
Ia menganggap pilkada ini adalah momentum masa depan demokrasi di kota Surabaya. Namun situasi saat ini berbeda, dimana selain calon perseorangan tidak ada, masing-masing partai pun saat ini masih belum ada yang berani memberikan rekomendasi untuk calonnya.
Sebaliknya, lanjut dia, dari kubu calon petahana, membuat wacana pilkada aklamasi atau calon tunggal yang tentunya itu menabrak undang-undang pilkada yang berlaku saat ini.
"Ini membahayakan masa depan demokrasi karena sejatinya partai-partai politik telah gagal melahirkan tokoh-tokoh baru yang baik untuk menjadi pemimpin kota Surabaya," katanya.
Ia mengatakan partai Politik dan organisasi politik lainnya sebagai pilar demokrasi mestinya berfungsi melakukan kaderisasi politik. Maka jika fungsi ini mati, ini adalah cermin kegagalan demokrasi di Surabaya.
"Tidak muncul figur populis dari parpol yang bisa dijadikan alternatif oleh warga kota. Padahal warga kota berhak mendapat pilihan yang terbaik. Parpol tidak percaya diri terhadap kader-kader yang dimilikinya hingga harus mencari figur lain, atau merapat pada petahana," tegasnya.
Hal Ini membuat kepercayaan rakyat terhadap parpol semakin menurun. Sehingga, rakyat semakin tidak berminat kepada partai-partai yang ada. Setidaknya, koalisi berbasis platform tersebut telah memiliki syarat yang cukup untuk mengusung figur masing-masing. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015