Dinding rumah makan Tukri Sobikun dipenuhi foto ukuran besar orang-orang penting, di antarannya Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono dan keluarga serta Presiden Joko Widodo juga bersama keluarga.
     
Rumah makan khusus sate ayam Ponorogo itu juga berisi foto tokoh, seperti Aburizal Bakri, Gubernur Jatim Soekarwo, mantan Kapolri Jenderal Polisi (Pur) Bambang Hendarsso Danuri dan pejabat lokal.

Ada juga foto artis Ahmad Dhani, Uya Kuya dan lainnya. Barisan foto itu menandakan bahwa mereka pernah datang mencicipi sate khas Kota Reog itu.
     
"Pak SBY dua kali makan di sini bersama keluarganya. Kalau Pak Jokowi satu kali sebelum menjadi Presiden dan satu kali saat menjadi Presiden. Pak Aburizal Bakri dulu malah bawa rombongan dan mendirikan terop di luar sana," ucap Siti Amini (65), pemilik rumah makan sate ayam Tukri Sobikun kepada Antara.
     
Istri dari almarhum Tukri Sobikun (pendiri rumah makan itu) mengatakan bahwa Eddhy Baskoro Yudhoyono, putra SBY, justru hampir setiap hari singgah ke warungnya saat musim kampanye pemilu pada beberapa tahun lalu.
     
Amini mengaku punya kesan tersendiri dengan SBY dan Ibu Ani Yudhoyono karena sempat memberi komentar atas satenya. Saat itu ia dipanggil mendekat oleh Ibu Ani dan kemudian ditanyakan mengapa rasa satenya sangat enak.
     
"Waktu itu Ibu Ani bilang ke saya rasanya top. Pak SBY saat dari kamar mandi ketemu ibu-ibu yang bekerja di sini juga berkomentar bahwa sate di sini memang top. Rasanya senang dan terharu mendengarnya, bapak-bapak pejabat itu mau datang ke sini dan terkesan dengan sate ayam Ponorogo," tuturnya.
     
Ia bercerita saat SBY dan keluarga berkunjung ke tempatnya bisa menghabiskan 5.000 tusuk sate. Itu karena banyak pasukan pengamanan dan para pejabat lainnya yang ikut menikmati makanan khas itu, termasuk yang dibawa pulang untuk oleh-oleh.
     
Amini mengaku tidak pernah membayangkan usaha yang dilakukan bersama suaminya akan menjadi besar dan terkenal. Awalnya Tukri dan Amini memulai usaha sate ayam dengan berjualan di emper toko yang dia sebut "perko".
     
Pasangan Tukri dengan Amini membuka usaha sate ayam pada 1975. Kalau biasanya penjual sate kala itu berkeliling dari kampung ke kampung dan dagangannya dipikul, Tukri dan Amini justru menempati satu tempat di emperan toko.
     
Menempati satu tempat ternyata menguntungkan karena para pembelinya mudah mencari makanan tersebut. Kala itu sudah banyak pejabat yang menjadi pelanggan, seperti dari kepolisian dan instansi pemerintah.
     
Pada 1995, ia membuka warung kecil-kecilan di Jalan Lawu Gang I Nomor 43 K Kota Ponorogo dan pada puluhan tahun kemudian tempat itu menjadi rumah makan besar dan dikunjungi banyak tokoh penting. Usaha itu kini mampu menyerap 25 tenaga kerja.
     
Pengunjung rumah makan sate Tukri Sobikun sangat ramai, khususnya saat liburan tiba. Sebelum puasa lalu, pengunjung juga ramai dan kembali agak sepi saat puasa. Pengunjung akan kembali ramai saat Lebaran dan sesudahnya.
     
Amini bercerita bahwa dirinya menggunakan ayam potong dengan berat di atas tiga kilogram. Jika ayam itu terlalu muda kurang baik karena mudah hancur. Pada hari biasa rumah makannya menghabiskan dua kwintal atau sekitar 75 ekor ayam dan mulai Jumat hingga Minggu bisa menghabiskan 125 ekor ayam dalam sehari.
     
"Saat menjelang puasa atau Lebaran, biasanya menghabiskan 150 ekor ayam per hari. Dalam 15 ekor ayam biasanya menjadi 1.000 tusuk. Setiap 10 tusuk harganya Rp21.000 ditambah lontong menjadi Rp25 ribu," ujarnya.
     
Ia mengaku bersyukur bahwa dari usahanya ia mampu menyekolahkan anak-anaknya dan bisa membeli sejumlah rumah. Dari empat anaknya, hanya satu orang yang meneruskan usaha itu dan kini membuka rumah makan di Madiun.
     
Meskipun kini usahanya sudah maju, ia tidak pernah merahasiakan resep masakannya. Karena itu ada sejumlah orang yang kini juga berjualan sate ayam Ponorogo di Jakarta dan kota besar lainnya setelah belajar darinya.
     
Sebelum dibakar, daging ayam yang telah ditusuk itu dilumuri campuran bumbu berupa bawang merah, bawang putih, laos, gula, garam, ketumbar, jinten, kemiri dan daun salam. Bumbu itu diwarisinya dari para leluhur dan ia tidak mengubahnya sama sekali.
     
Konsisten menggunakan resep kuno itu diyakini Amini sebagai salah satu kunci masakannya disukai pelanggan. Kemudian untuk sambalnya adalah campuran kacang tanah, lombok, garam dan gula. Sambal ini mirip dengan adonan bumbu pecel.
     
Perbedaan sambal sate itu yang menurut budayawan dari Universitas Jember Prof Dr Ayu Sutarto menjadi salah satu indikator budaya Ponorogo berbeda dengan budaya Mataraman.
     
Kunci sukses lain yang diungkap oleh Amini adalah jujur kepada para pelanggan. Sejak dulu ia tidak pernah menggunakan bumbu penyedap atau pengawet yang ia sebut "parmolin" yang maksudnya formalin.
     
Ia juga tidak pernah rewel dengan ulah pelanggan, misalnya minta tambah sambal. Ia menerapkan sistem bonus kepada pembelinya. Misalnya setiap membeli 200 tusuk akan ditambah delapan tusuk dan satu lontong. Setiap pembelian 2.000 tusuk mendapat bonus 80 tusuk dan 10 lontong.
     
"Pembeli biasanya bilang, ini (bonus) yang saya cari, selain rasanya yang enak. Jadi prinsip saya adalah melayani pembeli dengan rasa senang. Saya tidak pernah 'rekenan' (hitung-hitungan) dengan permintaan pembeli," katanya.
     
Amini bercerita pernah diajak pejabat Kabupaten Ponorogo untuk berjualan di areal Taman Mini Indonesia Indah mendampingi pertunjukan Reog. Tidak lebih dari satu jam 5.000 tusuk sate ayamnya dan 500 lontong langsung habis.
     
Mengenai keawetan sate buatannya, ia menyebut hanya sekitar dua hari, namun jika dimasukkan ke kulkas bisa mencapai lima hari. Namun ia sendiri mengaku bersyukur karena barang dagangannya selalu habis dan tidak pernah dimasukkan ke lemari pendingin.
     
Setelah sate ayam Ponorogo terkenal, kini di gang tempatnya sudah banyak bermunculan sate ayam serupa sehingga dikenal sebagai kampung sate. Namun demikian Amini tidak pernah merasa tersaingi dengan hadirnya usaha-usaha itu.
     
Bahkan, ketika permintaan sedang banyak, ia justru mengarahkan pembeli ke warung-warung di sekitarnya agar juga laku. Ia juga mengaku tidak pelit untuk berbagi ilmu dengan orang lain serta bersedekah. Semua itu menjadi kunci sukses usahanya yang bertahan hingga kini.
     
Budayawan asal Ponorogo Dr Sutejo, MHum mengatakan bahwa usaha sate ayam di Jalan Lawu Ponorogo itu merupakan potensi besar untuk wisata kuliner. Apalagi Ponorogo menjadi jalur persinggahan jika seseorang hendak berwisata ke Pacitan.
     
Selain di Jalan Lawu, di daerah lain juga banyak rumah makan atau warung ayam sate ayam, seperti di Setono dan Purbosuman. Di tempat lainnya ada di pertigaan Jalan Gajah Mada, Jalan Jendral Soedirman, dan Jalan Soekarno Hatta.
     
"Ponorogo ini kaya akan wisata kuliner, selain sate. Ada juga sate gule Ponorogo yang belum dikenal banyak orang selain sate ayam, ada pecel khas Ponorogo juga," kata dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Ponorogo ini. (*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015