Tulungagung (Antara Jatim) - Bupati Tulungagung, Jawa Timur Syahri Mulyo mengisyaratkan bahwa wacana penggusuran dua kompleks kawasan eks-lokalisasi di daerah itu tidak akan diteruskan karena ada pernyataan keberatan dari pihak pemerintah desa selaku pemilik asset lahan.
"Karena itu (lahan) adalah asset desa, maka keputusan alih fungsi dasarnya harus ada persetujuan dari desa. Nah, masalahnya di situ, mereka tidak setuju (digusur)," kata Bupati Syahri Mulyo saat dikonfirmasi wartawan di Tulungagung, Jumat.
Sebagai gantinya, lanjut Syahri, langkah paling mungkin dilakukan pemerintah bersama aparat terkait adalah melakukan pengawasan secara acak namun berkala.
Menurutnya, mekanisme monitoring dan evaluasi bisa menjadi solusi paling ideal guna mengakomodasi dua kepentingan dari masyarakat yang menghendaki pembubaran seutuhnya kedua bekas lokalisasi tersebut, ataupun sebaliknya yang mempertahankan.
"Selama tidak ada kegiatan prostitusi, usaha warung kopi ataupun kafe dan karaoke boleh-boleh saja, asal tidak disalahgunakan," sambungnya.
Untuk mencegah praktik prostitusi terselubung sebagaimana yang selama ini disuarakan kelompok propembubaran kedua kompleks bekas lokalisasi di Ngujang dan Kaliwungu tersebut, Syahri meminta masyarakat untuk proaktif melaporkan bila ada indikasi transaksi seksual dibalik jasa hiburan yang disediakan.
"Jika ada yang nekat melakukannya dan tertangkap, pelaku akan dipidanakan. Tapi selama usaha yang diselenggarakan tidak disalahgunakan, tidak masalah," tegasnya.
Dua kompleks bekas lokalisasi Ngujang di Kecamatan Ngantru dan kompleks Kaliwungu di Kecamatan Ngunut sempat ditutup paksa oleh aparat gabungan Polri, TNI dan Satpol PP Tulungagung, sekitar sebulan lalu.
Dalam operasi yang saat itu dipantau langsung oleh Kapolres Tulungagung saat itu, AKBP Bastoni Purnama, seluruh aktivitas warung kopi maupun kafe karaoke dihentikan.
Seluruh penghuni bahkan sempat diminta segera pindah dengan alasan kedua kompleks akan digusur.
Namun hingga pucuk pimpinan Polres Tulungagung berpindah tangan dari AKBP Bastoni Purnama ke AKBP Bhirawa Braja Paksa, wacana penggusuran wisma-wisma bekas tempat pelacuran tidak pernah terwujud.
Kendati demikian, penjagaan aparat gabungan TNI-Polri di depan pintu gerbang kompleks cukup efektif dalam membuat kedua bekas tempat pelacuran terbesar di Karesidenan Kediri ini menjadi "perkampungan mati". (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Karena itu (lahan) adalah asset desa, maka keputusan alih fungsi dasarnya harus ada persetujuan dari desa. Nah, masalahnya di situ, mereka tidak setuju (digusur)," kata Bupati Syahri Mulyo saat dikonfirmasi wartawan di Tulungagung, Jumat.
Sebagai gantinya, lanjut Syahri, langkah paling mungkin dilakukan pemerintah bersama aparat terkait adalah melakukan pengawasan secara acak namun berkala.
Menurutnya, mekanisme monitoring dan evaluasi bisa menjadi solusi paling ideal guna mengakomodasi dua kepentingan dari masyarakat yang menghendaki pembubaran seutuhnya kedua bekas lokalisasi tersebut, ataupun sebaliknya yang mempertahankan.
"Selama tidak ada kegiatan prostitusi, usaha warung kopi ataupun kafe dan karaoke boleh-boleh saja, asal tidak disalahgunakan," sambungnya.
Untuk mencegah praktik prostitusi terselubung sebagaimana yang selama ini disuarakan kelompok propembubaran kedua kompleks bekas lokalisasi di Ngujang dan Kaliwungu tersebut, Syahri meminta masyarakat untuk proaktif melaporkan bila ada indikasi transaksi seksual dibalik jasa hiburan yang disediakan.
"Jika ada yang nekat melakukannya dan tertangkap, pelaku akan dipidanakan. Tapi selama usaha yang diselenggarakan tidak disalahgunakan, tidak masalah," tegasnya.
Dua kompleks bekas lokalisasi Ngujang di Kecamatan Ngantru dan kompleks Kaliwungu di Kecamatan Ngunut sempat ditutup paksa oleh aparat gabungan Polri, TNI dan Satpol PP Tulungagung, sekitar sebulan lalu.
Dalam operasi yang saat itu dipantau langsung oleh Kapolres Tulungagung saat itu, AKBP Bastoni Purnama, seluruh aktivitas warung kopi maupun kafe karaoke dihentikan.
Seluruh penghuni bahkan sempat diminta segera pindah dengan alasan kedua kompleks akan digusur.
Namun hingga pucuk pimpinan Polres Tulungagung berpindah tangan dari AKBP Bastoni Purnama ke AKBP Bhirawa Braja Paksa, wacana penggusuran wisma-wisma bekas tempat pelacuran tidak pernah terwujud.
Kendati demikian, penjagaan aparat gabungan TNI-Polri di depan pintu gerbang kompleks cukup efektif dalam membuat kedua bekas tempat pelacuran terbesar di Karesidenan Kediri ini menjadi "perkampungan mati". (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015