Oleh Aan Efendi? *) “Water is one of the most precious natural resources of our planet. Only 2% of the world’s water resources are made up of freshwater. This scarce resource however plays a crucial role in all segments of nature, society and economy.” (The 2013 Budapest Water Summit) Air adalah kehidupan. Air menjadi kebutuhan dasar manusia yang tak tersubstitusikan. Tidak tergantikan. Tanpa air manusia bukanlah apa-apa. Air adalah jantungnya kehidupan. “Water is lifeblood” kata Jim Yardley. Tidak ada aktivitas manusia yang tidak membutuhkan yang namanya air. Manusia tidak peduli kedudukan sosialnya, jenis kelaminnya, agamanya, sukunya, ataupun bangsanya membutuhkan air untuk mempertahankan kehidupannya. Tidak peduli golongan elit maupun kaum alit semua manusia sangat bergantung pada air untuk hidupnya. Air kita minum, memasak makanan kita, menyeduh teh atau kopi yang kenikmatannya telah menjadi bagian gaya hidup kita, membersihkan perabot makan kita, membersihkan badan dan baju kita, menumbuhkan tanaman pangan kita, tempat hidupnya beragam jenis ikan yang dapat kita makan, menjadi sumber energi yang sangat besar manfaatnya bagi manusia, atau menjadi sarana hiburan dengan kolam-kolam renang yang kita bangun. Tentu masih banyak lagi fungsi air bagi kita yang amat panjang kalau harus diuraikan satu persatu. Air adalah hak asasi manusia. Air adalah hasil ciptaan Tuhan yang sangat luar biasa dipersembahkan kepada manusia supaya manusia dapat menjalani kehidupannya dengan normal. Air adalah pemberian gratis dari Tuhan kepada umatnya dan siapapun umatnya itu dapat menikmatinya untuk hidupnya. Pada 28 Juli 2010, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan Resolusi 64/292 mengakui dengan tegas hak asasi manusia atas air dan sanitasi dan mengakui bahwa air bersih untuk minum dan sanitasi adalah sangat penting untuk perwujudan semua hak asasi manusia. Resolusi itu juga meminta kepada negara-negara dan organisasi-organisasi internasional untuk membantu menyediakan sumberdaya keuangan, membantu membangun kapasitas (capacity-building) dan alih teknologi untuk membantu negara-negara, khususnya negara berkembang, untuk menyediakan air bersih untuk minum yang mudah diakses dan sanitasi untuk semua. Resolusi PBB itu tentu saja tidak menjadi dasar lahirnya hak asasi manusia atas air tetapi hanya meneguhkan saja sehingga hak asasi manusia atas air itu lebih pasti dan lebih terlindungi. Tanpa ada satu resolusipun secara alamiah manusia memang memiliki hak asasi atas air dan bukan pemberian manusia lain. Hak asasi manusia atas air lahir karena eksistensi manusia itu sendiri. Seperti juga hak asasi untuk hidup tidak muncul karena diberikan oleh aturan buatan manusia tetapi karena ia melekat pada manusia dan aturan itu sekedar menegaskan dan menjamin perlindungannya saja. Krisis Air Global Jumlah air bersih tidaklah tidak terbatas. Semakin banyaknya jumlah penduduk bumi dan kian meningkatnya intensitas kerusakan lingkungan dapat menjadi pemicu “bersihnya” (baca: habisnya) air bersih dan gejala itu sudah mulai nampak. Krisis air bersih akan melanda dunia. Pada 1995, Wakil Presiden Bank Dunia saat itu, Ismail Seragilden, dalam tulisannya pada The New York Times tanggal 10 Agustus 1995 menyatakan “many of the wars of this century were about oil, but wars of the next century will be about water.” Jika perang ada abad ini berebut minyak, perang masa depan untuk merebutkan air. Pada 2000, Sekretaris Jenderal PBB saat itu, Kofi Annan pun menyatakan “fierce competition for freshwater may well become a source of conflict and war in the future.” Persaingan dahsyat untuk air akan menjadi sumber konflik dan perang pada masa mendatang. Pada 2001, Jim Yardley dalam artikelnya pada The New York Times tanggal 16 April 2001 dengan judul “For Texas Now, Water, Not Oil, is Liquid Gold” menyebutkan bahwa bagi warga Texas, saat ini bukan minyak yang menjadi cairan emas, tetapi air. Perang air atau konflik air tentu saja dipicu oleh jumlah air yang semakin sedikit sementara kebutuhan akan air tidak bisa ditunda. Krisis air yang berpotensi menjadi biang keladi rebutan air itu telah menampakkan gejalanya. Dari laporan “International Decade for Action 'Water for Life' 2005-2015” sebagaimana dimuat dalam situs www.un.org disebutkan bahwa kelangkaan air akan mempengaruhi seluruh benua tanpa terkecuali. Sekitar 1,2 miliar orang atau hampir seperlima penduduk bumi hidup di wilayah yang secara fisik kekurangan air dan 500 juta orang lainnya akan terkena imbas atas situasi tersebut. Sementara itu 1,6 miliar orang lainnya, atau hampir seperempat penduduk bumi menghadapi kelangkaan air secara ekonomis yaitu ketika negara tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk mengambil air dari sungai dan bawah tanah. Kelengkaan air adalah masalah utama yang dihadapi penduduk dunia pada abad 21. Di Pakistan, kombinasi pemanasan global dan limbah lokal serta tata kelola yang buruk telah menjadi sumber kegelisahan akan habisnya ketersediaan air bagi penduduk Pakistan dan di bawah kondisi seperti itu, enam atau tujuh tahun ke depan, Pakistan akan menjadi negara yang menderita kelangkaan air bersih (Salman Masood, The New York Times, 12/2/15). Di Kanada, dari laporan situs www.ctvnews.ca tanggal 13 Maret 2015 disebutkan bahwa “1838 communities without proper drinking water.” Indonesia pun tak luput dari terjangan bahaya kelangkaan air. Di Pulau Jawa, banyak daerah aliran sungai (DAS) yang rusak yang berdampak pada berkurangnya ketersediaan air bagi masyarakat khususnya yang bertempat tinggal di tepian sungai dan krisis air itu akan terus berlanjut bahkan diperkirakan sepuluh tahun ke depan Pulau Jawa harus impor air bersih (www.tempo.co, 28/8/2013). Tidak hanya Pulau Jawa, pada tahun 2015 diperkirakan tiga pulau besar lainnya yaitu Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara Timur diperkirakan akan mengalami krisis air (viva.co.id, 24/11/14). Menyelamatkan Masa Depan Air Bahaya telah di depan mata dan tindakan penyelematan air sangat mendesak dan harus dimulai dari sekarang. Pemerintah negara-negara seluruh dunia, organisasi internasional, organisasi non pemerintah, harus bekerja sama menghadang laju krisis air yang kian dekat. “We cannot expect government to do this alone” kata Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon saat opening remark at Budapest Water Summit di Budapest, Hongaria, 8 Oktober 2013 silam. Mengubah kebiasaan kita yang sering boros menggunakan air menjadi langkah awal penting perang melawan krisis air bersih. Ingat, air bersih yang mengalir di rumah kita dapat menjadi “bersih” (habis) bila pemanfaatannya dilakukan secara berlebihan. Kita harus ingat pula bahwa pada tiap tetes air yang kita nikmati ada hak anak cucu kita kelak. Mari bertindak nyata menyelamatkan air kita kalau tidak ingin krisis air itu menjadi nyata. (*). ------- *) Penulis adalah mahasiswa doktoral Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Penulis bisa dihubungi pada alamat maya: efendi_hukum@yahoo.com.

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015