Kabupaten Bondowoso memiliki sejumlah objek alam yang layak dijual sebagai tempat tujuan wisata, selain Kawah Ijen yang kini justru lebih dikenal dari sisi Banyuwangi. Maklum, pariwisata Banyuwangi di bawah pimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas kini memang terus menggeliat dari berbagai sisi, laut, pantai, gunung, pedesaan dan budaya.
Selain Ijen yang fenomena "blue fire"-nya menjadi buruan turis asing, Bondowoso juga memiliki wilayah perkebunan kopi di Sempol dan Jampit yang ada sejak zaman Belanda.
Masih di daerah dekat kawasan Ijen, ada Kawah Wurung dengan hamparan padang sabana mirip pemandangan di film boneka teletubbies. Pada musim hujan tumbuhan semak-semak di kawasan itu juga menyuguhkan bunga-bunga indah aneka warna. Kawasan itu dinilai cocok untuk aktivitas paramotor dan lainnya.
Ke arah timur laut dari kota, Bondowoso memiliki keindahan batu bersusun di daerah Solor. Susunan batu-batu itu menjadi pemandangan unik yang hingga kini belum banyak digarap maksimal sehingga belum begitu dikenal oleh wisatawan. Semua potensi itu barangkali cukup "mewah" untuk dinikmati sebagai pemberian alam.
Sementara ke arah selatan kota, Bondowoso memiliki dua anak muda yang tengah berjuang agar desanya menjadi jujugan turis asing, meskipun dalam pandangan pariwisata konvensional wilayah itu tidak memiliki nilai apa-apa.
Slamet (39) dan Joni Susanto (31), warga Desa Kalianyar, Kecamatan Tamanan, Bondowoso, Jawa Timur, sejak tahun 2008 telah "berhasil" menjungkirbalikkan paradigma lama pariwisata yang hanya menjual "objek jadi". Kalianyar hanyalah desa pertanian padi dan tembakau, serta sebagian masyarakatnya membuat genting dan tahu.
Sawah menghijau, aktivitas petani, pembuat genting dan tahu serta keseharian masyarakat di Kalianyar dinilai biasa-biasa saja hanya karena kita sudah terbiasa dengan itu. Namun bagi orang asing, semua itu justru menarik. Layak dinikmati, apalagi jika mereka bisa menginap beberapa hari dan berbaur dengan masyarakat.
"Ternyata hal yang kita anggap biasa ini, bagi orang asing justru sangat menarik. Wisatawan asing ini justru mencari tempat-tempat yang masih asli seperti Kalianyar ini," kata Slamet yang juga merupakan aktivis lingkungan ini.
Ia menjelaskan, ikhwal perkenalannya pada dunia turisme itu berasal dari Iswahyudi, pemuda asal Jawa Tengah, yang juga menjadi pramuwisata. Iswahyudi bercerita bahwa di sekitar Candi Prambanan masyarakat bisa hidup dari pariwisata. Slamet berpikir bagaimana mengangkat ekonomi warga desanya dengan aktivitas pariwisata.
Ia mulai belajar Bahasa Inggris dan mulai berani menerima tamu di rumah orang tuanya pada 2008. Ia menerima tiga tamu dari Swiss.
Melihat ketiga tamu pertamanya itu sangat antusias menikmati alam Kalianyar dengan segala aktivitas masyarakatnya, Slamet bertambah semangat. Hanya satu yang ia pikirkan, yakni mengangkat ekonomi masyarakat desanya jika kelak turis sudah banyak.
Kalau dari 2008 hingga kini sudah banyak turis yang menginap di rumahnya, bukan berarti Slamet sudah menangguk untung dalam logika bisnis. Bagaimana untung kalau ia sering menolak ketika turis itu memberikan uang, meskipun sekadar pengganti uang listrik dan air?.
"Saya tidak berpikir pendek atau untuk hari ini. Kalau saya tidak bisa menikmati sendiri usaha desa wisata ini, biarlah nanti anak-anak saya dan masyarakat yang menikmati. Orientasi saya jangka panjang," ucap lelaki berusia 39 tahun yang kini kuliah di politeknik itu.
Sudah ada sekitar 20 turis asing yang pernah menginap di rumahnya yang sederhana itu. Ia mengaku senang ketika para turis itu rela berbagi waktu dengan masyarakat sekitar, khususnya anak muda untuk belajar berbahasa Inggris.
Karena itu ia dan juga Joni selalu mengajak para turis itu pergi ke sekolah-sekolah. Di sekolah mereka bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris dengan para siswa. Pada konteks semacama ini, Slamet dan Joni juga tidak berpikir pendek.
Apalah artinya belajar Bahasa Inggris dalam pertemuan hanya sekitar satu dua jam itu? Namun bagi kedua pemuda itu adalah semangat motivasi. Pertemuan anak-anak Desa Kalianyar dengan turis pasti akan membekas dan diam-diam mengalirkan mimpi untuk giat belajar bahasa asing.
Mengenai keperluan makan turis, awalnya istri Slamet menyediakan mereka tiga kali sehari gratis. Hanya saja ia mengingatkan tamunya itu bahwa menu makanan keluarganya seadanya. Seringkali yang ada hanya tahu tempe.
Ia juga menekankan bahwa istrinya hanya masak di pagi hari yang kemudian dikonsumsi hingga malam dalam kondisi dingin. Ternyata, dengan pelayanan seadanya seperti itu para turis tetap merasa nyaman.
Hal itu kemudian menjadi masalah karena masyarakat sekitar menganggap Slamet memonopoli keuntungan. Padahal semuanya Slamet layani secara gratis. Rupanya masyarakat juga berharap kecipratan untung dari turis.
Akhirnya ia bicarakan masalah itu dengan tamunya. Solusinya, tamu Slamet hanya makan satu kali di rumah. Selebihnya mereka makan di warung-warung milik warga sekitar.
"Da'iyah Met (Slamet), pameloh alto'en'," ujar pemilik warung, seperti ditirukan Slamet, setelah para turis banyak yang makan di warung-warung sekitar.
Arti kalimat warga dalam bahasa Madura itu adalah,"Ya, begitu lah Met (Slamet), saya juga diciprati untung."
Slamet hanya tersenyum dan memahami apa yang dipikirkan masyarakat. Mereka masih menganggap bahwa semua turis itu membawa uang banyak, padahal belum tentu juga.
Mereka belum tahu bahwa apa yang dilakukan oleh Joni dan Slamet masih "babat alas" (membuka jalan) sehingga harus banyak berkorban. Meskipun Slamet enggan bercerita, namun kata Joni, seniornya itu pernah menjual sepeda motor satu-satunya untuk menghidupkan desa wisata itu.
Motor dijual digunakan Slamet untuk membuat rumah di samping orang tuanya. Rumah berdinding tembok di bagian bawah dan atasnya gedek itu, Slamet siapkan untuk menerima tamu karena tidak mungkin terus menerus menggunakan rumah orang tuanya yang juga sederhana itu.
Tak beda dengan Slamet, Joni yang istrinya seorang guru honorer dengan satu anak ini juga punya cerita mengharukan soal melayani tamu. Untung lah semangat istrinya tidak berbeda dengan Joni. Istrinya tidak protes ketika gelang kesayangannya yang 2,5 gram diminta dijual. Bukan untuk keperluan keluarga muda itu sendiri, tapi memberikan pelayanan maksimal kepada tamu turisnya.
"Waktu itu istri saya kadung janji sama tamu akan memasakkan makanan spesial dan rencananya juga dilengkapi buah. Tapi sampai beberapa hari tidak ada uang. Akhirnya kami sepakat jual gelang istri," kata lelaki yang pernah bekerja di perusahaan kargo di Jakarta ini.
Bukan hanya istri, ibu Joni juga sangat perhatian sama tamunya. Ibunya Joni menganggap mereka sebagai tamu layaknya tamu lokal bagi orang-orang desa. Bahkan si ibu itu sering mengingatkan Joni soal makanan tamunya. Si ibu seringkali mengantarkan masakannya, meskipun seadanya untuk si turis.
"Jadi ada rasa senang karena kami bisa melayani tamu. Alhamdulillah, kami nikmati perjuangan ini," tutur Joni.
Mengenai ongkos menginap turis, Joni pernah memiliki pengalaman dengan turis asal Republik Ceko, Marek Lnenicka (24). Saat hendak kembali ke Ceko, pada kunjungan pertamanya ke Kalianyar, Joni yang mengantar Marek ke terminal Bondowoso.
"Saat itu Marek menjulurkan tangan berisi uang kepada saya. Saya tolak uang itu. Saya bilang pada dia, kalau seperti ini, berarti kamu tidak menganggap saudara. Tapi Marek memaksa dan juga bilang, kalau tidak diambil, berarti saya yang tidak menganggap saudara. Lama juga adegan itu. Akhirnya terpaksa saya ambil Rp100 ribu saja, selebihnya saya kembalikan," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015