"Jika Anda mengalami kesulitan pada saat akan memulai menulis, buka jendela lebar-lebar dan lihatlah sejauh mungkin. Dunia dan semua isinya adalah sumber cerita dan setiap peristiwa adalah sebuah keajaiban." Kalimat itu diungkapkan oleh Ernest Hemingway (1899-1961), sastrawan terkemuka dari Amerika Serikat yang dikenal telah banyak menghasilkan karya sastra yang luar biasa. Membaca saran Ernest Hemingway, betapa mudahnya menggali ide untuk menulis cerita, dalam hal ini cerita pendek atau cerpen. Namun, dalam praktiknya hal itu tentu tidak mudah, karena menulis cerita bukan sekadar berhenti pada penggalian ide. Ketika seseorang sudah berjumpa ide, seringkali mengalami hambatan untuk mengembangkannya. Kesulitan mencari tokoh, kesulitan menggambarkkan tokoh, menemukan konflik lalu mengelolanya. Atau tidak mudah menemukan pola penyelesaian atau akhir dari rangkaian cerita. Atau ketika semua hambatan di atas dapat diatasi, seseorang yang memiliki hasrat untuk menulis justru berhadapan dengan tembok tebal atau jalan buntu. Ide tinggal ide, alur, plot, konflik dan penyelesaian akhir hanya berhenti di perencanaan di kepala atau dalam kerangka pikiran yang sudah tertulis. Ibarat rumah, semuanya hanya kerangka, yang tidak beratap, tidak berdinding dan tidak berlantai, apalagi berasesoris indah. Naning Pranoto, penulis dan akademisi yang mendalami teori dan praktik menulis kreatif menawarkan solusi praktis untuk mengatasi semua persoalan terkait menulis lewat bukunya berjudul "Seni Menulis Cerita Pendek". Penggerak sastra hijau yang mendalami penulisan kreatif di Universitas Western Sidney, Australia, ini menguraikan secara praktis bagaimana seorang pembelajar menggali ide, mengolah ide, menciptakan tokoh, menyajikan konflik, membangun cerita, merangkai cerita dan menutup cerita. Pada bab "Seni Mengolah Ide", Naning menjelaskan secara rinci bagaimana membuat piramida cerita, seperti menulis nama pelaku utama dalam satu kata, melukiskan karakter pelaku dalam dua kata, melukiskan seting terjadinya cerita dalam tiga kata dan seterusnya. Untuk tokoh dalam cerita, perempuan yang sudah menghasilkan 22 judul novel, 42 judul buku anak-anak, 28 buku teks dan puluhan karya tulis ilmiah ini menilai keberadaan tokoh itu sangat vital, karena menjadi sentral dari sebuah cerita. Sebagai watak dari cerita pendek, maka tokoh tidak boleh terlalu banyak atau maksimal tiga tokoh, bahkan bisa saja hanya satu tokoh. Buku ini begitu detail bagaimana merancang tokoh. Penulisnya memberikan panduan yang disebutnya sebagai lembar identitas tokoh. Di lembar itu calon penulis cerpen diminta menulis rinci mengenai nama dan panggilan si tokoh, gambaran fisik, usia, tinggi dan berat badan, mata, rambut, dan ciri khas lain secara fisik. Naning menyediakan dua halaman untuk diisi oleh calon penulis, hanya mengenai gambaran seorang tokoh, seperti kepribadiannya, cita-citanya, gaya berbusananya, rumah, kendaraan, hobi, kesukaan, bahkan hingga status perkawinan dan pekerjaan. Setelah tokoh tergambarkan, giliran berikutnya mereka-reka konflik. Konflik tidak kalah penting dari pada tokoh. Konflik adalah bumbu cerita yang harus dirancang secara serius pula oleh penulisnya. Untuk merancang bagian ini, penulis bisa membuat daftar konflik yang dibagi dalam konflik internal dan eksternal. Buku ini dilengkapi lembar latihan bagaimana kita bisa membedakan apakah kasus dalam sebuah cerita, termasuk konflik internal atau eksternal. Pada latihan mengidentifikasi konflik ini, Naning Pranoto memberikan hadiah satu cerpennya "Sopir Taksi dan Sebuah Kepala" untuk dibedah dengan kerangka mengenai tokoh utama, tokoh kedua dan tokoh pendamping. "Kita diminta untuk memaparkan konflik yang dialami para tokoh itu apakah masuk ke ranah internal atau eksternal." Langkah berikutnya adalah bagaimana menyusun plot dan struktur cerita, kemudian gaya bercerita dan gaya penyajian, termasuk di dalamnya bagaimana menyelesaikan cerita. Buku ini juga menyajikan sejumlah tips bagaimana menulis cerpen, seperti "larangan" membaca cerpen yang kita buat sebelum semuanya selesai ditulis. "Kalau dibaca sebelum selesai, kita akan terpancing untuk memperbaikinya - karena terasa jelek atau jauh dari sempurna. Akibatnya cerpen tidak pernah selesai ditulis karena terus menerus dihapus dan diganti," tuturnya. Tips lainnya yang perlu disiapkan sebelum menulis adalah, menyediakan refrensi untuk memperkaya materi cerita, menyediakan kamus untuk memperkaya kosa kata dan mengecek huruf dari suatu kata. Naning juga mengingatkan calon penulis agar tidak mengabaikan tanda baca. Penggunaan tanda baca yang benar sangat penting untuk memudahkan pembaca memahami suatu teks. Jika cerpen sudah selesai ditulis kemudian dikoreksi kembali, tidak boleh berhenti, apalagi kemudian karya itu hanya masuk ke dalam laci. Cerpen itu harus dikirim ke media massa untuk dikonsumsi khalayak. Naning menyajikan sejumlah alamat "website" atau laman media yang memungkinkan memuat karya cerpen kita. Untuk itu, ia menyarankan calon penulis menjalin komunikasi dengan redaktur media, terutama untuk kepentingan mendiskusikan karya kita. Tak kalah menariknya adalah, Naning menyarankan kita membuat blok untuk menampung karya-karya kita yang tidak dimuat di media massa. Saran yang tidak doleh disepelekan oleh calon penulis, bahkan harus menjadi pegangan kuat adalah jangan berpatah hati jika naskah ditolak oleh redaktur. Seorang penulis harus tangguh menghadapi hal ini, karena belum tentu buruk. Boleh jadi karya itu tidak sesuai dengan "selera" media yang kita kirimi. Selain bedah kasus, buku ini berbonus sedikitnya lima cerpen karya Naning di bagian terakhir. Sementara di bahasan tertentu, Naning Pranoto juga menyuguhkan cerpen karyanya sebagai pelengkap dalam menjelaskan detail bagaimana menulis. Sebagai panduan praktis, buku ini barangkali tidak hanya cocok untuk penulis pemula untuk diajak, "Ayo menulis cerpen". Bagi penulis yang sudah "jadi", buku ini bisa juga menjadi "teman" diskusi serta referensi dalam mengembangkan atau memperkaya ide. Karena hakekatnya menulis itu adalah proses belajar yang terus menerus.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015