Sidoarjo (Antara Jatim) - Ikatan Ahli Gula Indonesia mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkrit dalam mengatasi anjloknya harga gula lokal pada musim giling tahun ini, agar produsen atau perusahaan gula dan petani tebu tidak mengalami kerugian. Ketua Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Subiyono kepada wartawan di Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu menegaskan penetapan harga pokok penjualan oleh pemerintah sebesar Rp8.500 per kilogram pada musim giling tahun ini ternyata tidak ampuh dan tidak dipatuhi pedagang besar saat memberikan penawaran pada kegiatan lelang gula. "Kenyataan yang terjadi di lapangan, harga gula di tingkat lelang berada di bawah HPP, rata-rata hanya Rp8.100 per kilogram. Ini menjadi masalah besar, karena sebagian besar gula hasil giling, baik milik petani maupun pabrik gula, tidak jadi dilepas ke pasar," katanya. Harga gula lokal kali ini menjadi yang terendah dalam tiga tahun terakhir. Pada musim giling 2013, harga gula pernah mencapai level tertinggi hingga di atas Rp11.000 per kilogram. Di sela acara Temu Lapang bertema "Bedah Industri Gula di Jatim" yang diselenggarakan Ikagi di Pabrik Gula Kremboong, Sidoarjo, Subiyono mengatakan membanjirnya gula rafinasi yang dijual bebas sebagai gula konsumsi dengan harga lebih rendah, menjadi penyebab utama anjloknya harga gula lokal. Selain itu, harga gula dunia pada tahun ini juga cenderung turun, sehingga pedagang besar ikut menurunkan harga penawaran saat lelang gula. Selama ini, harga gula dunia menjadi acuan pedagang besar saat mengikuti lelang. "Masalahnya memang sangat komplek, tetapi pemerintah semestinya memberikan situasi kondusif dengan menjaga tata niaga gula agar harga gula lokal tidak jatuh. Impor gula harus dikendalikan," ujar Subiyono yang juga Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X (Persero). Ia mencontohkan lebih kurang 80.000 ton gula hasil giling 11 pabrik gula milik perusahaannya hingga kini masih tertahan di gudang dan belum bisa dilepas, karena rendahnya harga. Jumlah itu dipastikan bertambah karena kegiatan giling tebu masih berlangsung. "Kalau situasinya seperti sekarang, kami tidak yakin harga akan membaik. Sementara perusahaan juga membutuhkan pendapatan untuk biaya operasional, sehingga kami menghadapi dilema," ujar Subiyono. Ia menambahkan, saat ini sebagian perusahaan gula dalam negeri sudah memiliki semangat untuk membangkitkan kembali industri gula yang pernah berjaya beberapa tahun silam. Namun, kondisi itu tidak akan bertahan jika tidak ada komitmen dukungan dari pemerintah. "Kalau memang pemerintah tidak bisa memberikan subsidi, setidaknya ada kebijakan konkrit yang mendorong ke arah bangkitnya industri gula. Kami prediksi situasi ini akan berlanjut hingga tahun depan," tambahnya. Pada kesempatan sama, Direktur Pusat Penelitian Pabrik Gula Indonesia (P3GI) Aris Toharisman mengatakan industri gula nasional sebenarnya sudah memiliki tekad kuat untuk bangkit, tetapi harus ada dukungan dan komitmen dari pengambil kebijakan. "Dari peninjauan lapangan ke beberapa pabrik gula milik PTPN X, saya melihat upaya revitalisasi berjalan dengan baik dan kondisi ini harus terus didukung serta diikuti perusahaan gula lainnya," katanya. Sementara itu, kegiatan Temu Lapang Ikagi yang berlangsung 23-24 September, diikuti sekitar 300 orang praktisi dan pakar gula dari seluruh Indonesia. Selain diskusi, kegiatan itu juga diisi dengan kunjungan ke sejumlah pabrik gula, PG Ngadiredjo Kediri, PG Tjoekir (Jombang), PG Modjopanggoong (Tulungagung), dan PG Kremboong (Sidoarjo). "Kegiatan ini diharapkan bisa menjadi ajang saling tukar pengalaman terbaik dari praktisi pergulaan di tempatnya masing-masing, sehingga akan mudah diurai model revitalisasi yang paling baik sesuai dengan karakter wilayah dan pabrik gula," jelas Aris Toharisman, yang juga Sekjen Ikagi. (*)

Pewarta:

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014