Sejak lama, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam. Dari Sabang hingga Merauke, kekayaan alam itu terbentang mulai minyak bumi, mineral, tanaman, hingga emas, tetapi potensi besar itu belum mampu membuat Indonesia menjadi negara kaya, bahkan bisa dibilang cenderung "miskin". Bagaimana tidak, potensi cadangan minyak dalam negeri masih sangat besar, tetapi belum dieksplorasi secara optimal. Produksi minyak saat ini hanya sekitar 850 ribu barel per hari, sementara kebutuhan nasional sudah lebih dari satu juta barel per hari. Kemampuan kita dalam memproduksi minyak untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri masih terkendala banyak faktor, termasuk keberadaan "mafia migas" yang ikut bermain dan lebih senang jika Indonesia terus mengimpor bahan bakar minyak dari negara lain. Harga minyak yang cukup tinggi mengikuti fluktuasi kurs dolar Amerika Serikat, membuat beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu keteteran. Dengan harga impor yang tinggi, pemerintah tetap tidak bisa menjual BBM ke masyarakat dengan harga normal, terutama untuk BBM jenis premium dan solar, yang konsumsinya setiap tahun terus bertambah. Pada APBN 2014, kuota BBM bersubsidi jenis premium dan solar ditetapkan sebesar 46 juta kiloliter. Jumlah itu sedikit menurun dibanding 2013 yang mencapai 48 juta kiloliter. Hingga pertengahan Agustus lalu, sisa kuota premium subsidi sekitar 10 juta liter dan solar 5,5 juta kiloliter. Dengan konsumsi normal, stok premium dan solar subsidi itu akan habis sebelum akhir tahun. Maka dari itu, Pertamina kemudian melakukan pembatasan penjualan BBM bersubsidi hingga memunculkan gejolak di masyarakat. Antrean pembeli BBM terjadi hampir di SPBU seluruh daerah. Di tengah gejolak itu, muncul desakan dari dari partai politik pemenang Pemilu 2014 yakni PDI Perjuangan dan sejumlah kalangan agar pemerintah menaikkan harga BBM demi menjaga keseimbangan stok. Namun, pemerintah seperti ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan tidak akan menaikkan harga BBM. Pemerintahan SBY yang akan berakhir pada 20 Oktober 2014, tentu tidak ingin meninggalkan "luka" di hati rakyat saat mengakhiri kekuasaan. Pertanyaannya kini, sampai kapan Indonesia akan terus mengimpor minyak dan mengalokasikan subsidi BBM melalui APBN. Pertanyaan seperti ini sudah lama muncul, tetapi jawabannya selalu tidak pernah pasti. Selama produksi minyak dalam negeri masih seperti sekarang, Indonesia akan terus bergantung pada impor dan jumlahnya juga terus naik seiring meningkatkan konsumsi masyarakat. Sementara subsidi BBM sebenarnya dalam praktik di lapangan juga tidak tepat sasaran, karena banyak orang kaya dan tergolong mampu justru yang paling banyak menikmatinya. Sedangkan rakyat miskin, malah lebih jarang menikmati subsidi tersebut. Kalau sudah begitu, masih perlukah kebijakan subsidi BBM diteruskan?. Tentu, tidak mudah bagi pemerintah memutuskan hal itu. Kenaikan harga BBM yang terjadi selama ini, selalu menimbulkan multiplier efek yang tidak sedikit dan ujung-ujungnya rakyat kecil yang menjadi korban. Namun, mereka pada akhirnya juga tetap bisa bertahan di tengah himpitan ekonomi yang terus naik. Artinya, berapapun harga BBM yang diperdagangkan, masyarakat tetap akan membelinya karena komoditas itu sudah menjadi salah satu kebutuhan utama. Justru yang kini perlu segera direalisasikan pemerintah adalah pemanfaatkan gas bumi sebagai energi alternatif, karena harganya lebih murah dan terjangkau. Kebijakan konversi BBM ke gas bumi sebenarnya telah lama didengungkan, tapi baru sebagian kecil praktik di lapangan. Sekali lagi, banyak faktor yang menjadi kendala, termasuk "mafia" yang ingin mengeruk keuntungan duniawi sebesar-besarnya, tetapi kendala itu bisa teratasi jika pemerintah "benar-benar" serius menjalankan kebijakan konversi itu, tidak sekadar menjadi pengumuman tanpa "action" yang jelas. Cadangan gas bumi kita masih sangat besar dan bisa dieksplor untuk kemakmuran rakyat. Apalagi, BBM fosil lambat laun juga akan terus habis, karena dikeruk secara terus-menerus. Selain gas bumi yang perlu dipertimbangkan, masih ada energi alternatif lain yang bisa dieksplor dari kekayaan alam Ibu Pertiwi, yakni BBM nabati, semisal dari limbah tebu, tanaman jarak atau kelapa sawit. Brazil misalnya, merupakan salah satu negara yang sekitar 19 persen kebutuhan energi nasionalnya (BBM) dipenuhi dari pemanfaatan bioetanol yang dihasilkan dari pengolahan limbah pabrik gula berupa molasses (tetes tebu). Saat ini, hampir sebagian besar pabrik gula di Brazil terintegrasi dengan pabrik pengolahan bioetanol. Jika pembangunan sektor energi di Brazil tersebut bisa dilaksanakan di Indonesia, maka akan tercipta keberlanjutan energi karena cadangan minyak bumi yang menipis bisa dikonversi oleh bahan bakar nabati yang mempunyai sifat terbarukan dan ramah lingkungan. Bukankah Indonesia juga memiliki banyak pabrik gula (meskipun sebagian besar peninggalan Hindia Belanda yang usianya sudah tua) dan menghasilkan tetes tebu dalam jumlah besar. Sebagai contoh pabrik bioetanol di komplek PG Gempolkrep, Mojokerto, Jatim, mampu menghasilkan bioetanol fuel grade dengan tingkat kemurnian 99,5 persen, yang sangat cocok untuk campuran pembuatan BBM. Hanya saja, produksi pabrik itu masih kecil dan tidak dilirik industri dalam negeri. Tapi, suatu saat "booming" energi alternatif akan terjadi, tinggal sekarang "political will" dan keseriusan pemerintah yang sangat menentukan arah kebijakan energi nasional masa depan. Andaikan sebagian subsidi BBM itu digunakan untuk membangun pabrik-pabrik bioetanol yang bisa mendukung ketahanan energi nasional. (*)

Pewarta:

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014