Surabaya (Antara Jatim) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers meminta panitia seleksi anggota KPU Jawa Timur untuk membuka hasil seleksi agar "kisruh" akibat ketidakpuasan sejumlah pihak dapat teratasi.
"Ketidakpuasan sejumlah pihak, termasuk peserta seleksi atas penetapan 20 calon anggota KPU Jatim, sebenarnya dapat diselesaikan jika ada keterbukaan atas hasil penilaian panitia seleksi," kata Direktur LBH Pers Athoillah di Surabaya, Sabtu.
Hingga saat ini, panitia seleksi belum membuka hasil penilaian tersebut. Akibatnya, sejumlah pihak menaruh curiga atas penetapan 20 calon peserta yang saat ini masih bertahan.
Idealnya, panitia seleksi mengambil inisiatif untuk membuka hasil penilaian peserta seleksi. Melalui keterbukaan itu, panitia seleksi akan mengundang publik untuk turut mengawasi kinerja pansel secara paripurna tanpa ada curiga yang tak berdasar.
"Sayangnya sampai saat ini hal itu tidak dilakukan, padahal keterbukaan informasi publik sebenarnya telah dijamin dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik," ucapnya.
Dalam UU itu, secara prinsip, seluruh informasi yang dimiliki dan dikelola oleh lembaga publik harus bersifat terbuka, kecuali atas hal-hal tertentu yang dinyatakan rahasia oleh UU secara terbatas.
Menurut dia, hasil nilai peserta seleksi tidak termasuk informasi yang dikecualikan sebagaimana Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik, sehingga hasil atau nilai ujiannya dapat dibuka kepada publik.
"Para pihak yang tidak puas atau mencurigai adanya 'permainan' dalam tubuh panitia seleksi dapat menggunakan cara-cara yang telah diatur dalam UU ini untuk meminta informasi kepada panitia seleksi, termasuk mengenai hasil ujian para peserta," tuturnya.
UU itu, katanya, juga mengatur jika panitia seleksi tidak memberikan informasi yang diminta maka permintaan informasi tersebut dapat dilanjutkan sebagai sengketa informasi ke Komisi Informasi.
Gerakan Kebhinnekaan
Sementara itu, Gerakan Kebhinnekaan untuk Pemilu Berkualitas menilai agama rentan sekali dimanfaatkan para calon atau peserta pemilu (legislatif, presiden, dan wakil presiden) untuk mencapai tujuan atau kepentingan politiknya.
"Faktanya, dalam banyak pemilu maupun pilkada sebelumnya para calon sering kali menggunakan cara-cara yang memojokkan pihak lain, seperti melancarkan tuduhan, penghinaan, ataupun ujaran kebencian terhadap minoritas, terlebih kelompok agama dan keyakinan yang berbeda," tutur Koordinator Abdurrahman Wahid Centre for Inter-Faith Dialogue and Peace (AWCentre-UI) Ahmad Suaedy.
Oleh karena itu, Gerakan Kebhinnekaan untuk Pemilu Berkualitas yang terdiri atas AWCentre-UI, ILRC, PERLUDEM (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), dan TEPI (Komite Pemilih Indonesia) memandang penting dilaksanakannya Pasal 28 Ayat 1 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Dengan mengacu pada aturan tersebut, kami menuntut KPU agar memberi sanksi serius bagi setiap peserta pemilu yang melakukan kampanye dengan menyebar kebencian (hate speech), tuduhan, dan penghinaan terhadap kelompok minoritas, terutama agama dan keyakinan atau paham keagamaan di luar 'mainstream'," tukasnya.
Selain itu, gerakan tersebut juga mendesak Polri dan Bawaslu untuk menindaklanjuti pelanggaran kampanye yang menggunakan isu penodaan agama dan ujaran kebencian.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014