Kudus (Antara Jatim) - Produsen rokok nasional PT Djarum mengantisipasi berbagai tekanan industri rokok di Tanah Air dengan mengoptimalkan produksi sigaret kretek mesin (SKM).
Corporate Affair PT Djarum Kudus, Purwono Nugroho, Rabu, mengatakan optimalisasi produksi dipicu semakin besarnya serapan pasar SKM Light, karena konsumen mulai memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pemilihan produk rokok dengan kandungan tembakau dan cengkeh yang rendah.
"Berbagai tekanan di sektor industri rokok membuat kami belum optimistis menyambut tahun 2014," kata Purwono saat "Media Gathering" dengan Wartawan Surabaya, di Djarum Oasis Kretek Factory Kudus, Jawa Tengah.
Dengan kondisi itu, pihaknya masih berupaya mempertahankan eksistensinya dengan mencapai volume produksi tahun depan minimal sama seperti angka produksi tahun 2013.
"Total produksi rokok di pabrik ini mencapai 148,8 juta batang per hari dan volume tersebut akan kami pertahankan di posisi yang sama," ujarnya.
Dari besaran produksi itu, sebanyak 35 persen dari produk sigaret kretek tangan (SKT) dan sisanya 65 persen dari SKM, termasuk SKM Light 20 persen.
"Pencapaian produksi harian selama tahun ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012 di posisi 120 juta batang per hari," katanya.
Terkait berbagai tekanan di industri rokok, tambah dia, semakin terhambat oleh sejumlah aturan, seperti kebijakan pemerintah yang mengupayakan adanya kenaikan jumlah pekerja di sektor padat karya. Padahal, perkembangan rokok saat ini justru mengarah pada SKM.
"Selain itu, hambatan perkembangan industri rokok ikut terkendala oleh pembatasan iklan komoditas tersebut di media televisi, yakni wajib di atas pukul 21.00 WIB," katanya.
Bahkan, kini mulai ada aturan baru bahwa di kemasan rokok harus ditampilkan gambar organ tubuh yang berisiko terkena bahaya mengonsumsi rokok.
"Ada pula dari sisi kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Kesehatan dan turunannya tentang kawasan bebas tembakau, yang harus ditindaklanjuti setiap kepala daerah untuk membuat perda khusus rokok," katanya.
Ketentuan itu, lanjut dia, diperkirakan bisa semakin menghambat laju perkembangan industri rokok. Apalagi mulai awal 2014, pajak daerah dan retribusi naik menjadi 10 persen dari nilai cukai.
"Padahal, selama ini bisnis rokok di Indonesia banyak memberikan kontribusi pendapatan bagi negara, sementara industri rokok justru terbebani oleh biaya tenaga kerja, biaya operasional, dan lainnya," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013