Surabaya (Antara Jatim) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur meminta Kementerian Agama, khususnya kantor wilayah provinsi, untuk mencari solusi tentang persoalan Kantor Urusan Agama perihal tuduhan gratifikasi terhadap modin dan penghulu. "Harus segera diselesaikan masalah ini, jangan sampai berlarut-larut dan membuat resah masyarakat. Kanwil Kemenag Jatim harus memanggil semua yang terlibat dan mencarikan solusinya," ujar Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori, kepada wartawan di Surabaya, Selasa. Menurut dia, kasus gratifikasi yang bergulir kali ini karena adanya patokan harga dari oknum tertentu. Kepada keluarga yang memiliki hajatan pernikahan, biasanya ditentukan besaran biaya yang dikeluarkan. "Nah, kalau di KUA kan biayanya hanya Rp30-35 ribuan. Tapi karena sudah dipatok harga tertentu maka ada yang tidak terima karena jumlah yang sangat besar. Ini yang harus dipecahkan masalahnya," kata dia. Tentang pemberian dari keluarga yang memiliki hajatan, menurut Abdusshomad Buchori, bisa dianggap shadaqah atau manusiawi. Sebab biasanya, pemberian itu sebagai pengganti transportasi perjalanan menuju rumah atau masjid sebagai tempat akad nikah. Tidak itu saja, hal seperti itu sudah dinilai sebagai hal lumrah atau budaya. Sebab, seorang penghulu tidak akan ke rumah atau mendatangi lokasi akad nikah karena tidak sanggup dengan biaya yang dikeluarkan. "Sehingga memang seharusnya orang menikah itu di Kantor KUA. Tapi, kultur dan ritualnya kan menikah di rumah atau masjid, kemudian hari Sabtu atau Minggu. Nah, kalau sekarang muncul tudingan gratifikasi maka penghulu akan lebih hati-hati dan imbasnya ke masyarakat sendiri," ucapnya. Selain kultur, jika menikah di Kantor KUA, masyarakat biasanya enggan. Di samping antre atau menunggu, biasanya juga masih diliputi perasaan gengsi. Dengan demikian, pihaknya berharap Kemenag untuk berkoordinasi dengan menyelesaikan semua penghitungan anggaran jika ingin semuanya transparan. Di antaranya untuk penghulu, modin dan sejumlah pihak yang terlibat. Terkait persoalan ini, pihaknya mengaku sudah mendapat laporan, baik melalui sms atau pesan singkat dan telepon. Namun, lanjut dia, karena masih menunggu perkembangan maka MUI belum bisa bersikap apa-apa. Sebelumnya, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur H Sudjak MAg akan mengikuti keputusan KUA se-Jatim untuk tidak menikahkan pasangan pengantin di luar jam kerja. "Itu kewenangan Kepala KUA, apalagi keputusan itu sebetulnya mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi nikah dilaksanakan di Kantor KUA," tuturnya. Namun, tradisi masyarakat yang berkembang selama ini juga diakomodasi dalam peraturan itu pada ayat 2 bahwa pernikahan dapat dilaksanakan di luar kantor atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan pegawai pencatat nikah (Kepala KUA). "Tapi, hal itu merupakan dilematis, karena menikahkan di luar jam kantor yang sudah menjadi sebuah tradisi itu di mata hukum justru dianggap sebagai sebuah gratifikasi jika menikahkan di luar kantor dan mendapat sangu," ujarnya.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013