Surabaya (Antara Jatim) - Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR) yang merupakan ajang lomba tahunan tingkat nasional membuka kategori baru untuk 2013, yakni cerita pendek berbahasa liris atau puitis.
"Cerpen liris adalah, cerpen yang ditulis dengan pilihan diksi yang puitis. Ini merupakan kategori dan tantangan baru bagi peserta LMCR," kata Ketua Pelaksana LMCR Rohto Mentholatum Golden Award 2013 Naning Pranoto di Surabaya, Selasa.
LMCR sendiri dibuka 1 April 2013, ditutup 25 September 2013. Nama-nama yang karya yang terpilih sebagai pemenang diumumkan 26 Oktober 2013. Info lengkap pengumuman LMCR 2013 dapat diakses di www.rayakultura.net.
Naning yang dikenal sebagai penulis sejumlah novel itu mengemukakan bahwa cerpen berbahasa liris itu polanya seperti karya-karya satrawan terkemuka Shakespeare yang diilhami oleh tulisan Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Poetics.
"Karya ini menjadi acuan para penyair dan drawaman Barat dalam menulis puisi. Kemudian, dikembangkan untuk menulis prosa yang termasuk dalam aliran romantisme," katanya.
Ciri-ciri cerpen liris, katanya, antara lain ditulis dengan diksi pilihan yang puitis, deskripsi retoris atau pelukisan yang penuh daya tarik dan narasi yang tidak bertele-tele. Karena, cerpen liris kalimatnya tidak panjang, maka tentunya sangat tertata.
"Diksi puitis tidak harus memilih kata-kata yang `berbunga-bunga¿ dan bombastis. Melainkan, kata-kata yang memiliki kekuatan yang menggugah emosi, tidak mengekspresikan kekejaman dan jika tentang kekejaman menggunakan metafora dengan alur cerita mengalir," kata dosen penulisan kreatif ini.
Ia menjelaskan bahwa William Wordsworth, sastrawan Inggris, merupakan salah seorang dari pelopor aliran sastra romantisme. Antara lain iya mengatakan, "Karya puitis sungguh menyentuh jiwa dan tidak membosankan".
Menurut Naning, William Wordsworth belajar tentang karya sastra liris sejak kanak-kanak, atas tuntunan ayahnya yang mengagumi Sastra Yunani Klasik.
Namun demikian, Naning mengingatkan bahwa cerpen liris yang ditulis dengan diksi bombastis dan klise, disebut sebagai kategori "sastra ungu". Untuk menghindarinya, sebelum menulis pahami dulu diksi yang akan digunakan untuk menulis.
"Kuncinya, cerpen liris lebih menggugah emosi pembaca dibandingkan dengan cerpen yang ditulis dengan bahasa nonliterer. Untuk menggugah emosi pembaca, berdasarkan teori Aristoteles, setiap pengarang atau penyair perlu tahu makna retorika, metafora, ironi dan kiasan dalam memilih 'nafas' kata," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013