Surabaya (Antara Jatim) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Dr Marwan Effendy SH MHum mengusulkan sanksi untuk aparat penegak hukum, baik sanksi administratif di dalam UU KUHAP maupun sanksi pidana di dalam UU KUHP. "Aturan hukum kita selama ini cukup baik, tapi implementasinya sangat lemah, karena itu saya mendukung pandangan terkait perlunya sanksi untuk aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim," katanya di Surabaya, Kamis. Ia mengemukakan hal itu dalam dialog dengan belasan anggota Komisi III DPR RI yang meminta masukan tentang RUU KUHAP kepada akademisi dari Unair Surabaya dan Universitas Brawijaya Malang di Rektorat Unair Surabaya. Menurut akademisi yang juga Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung itu, sanksi untuk aparat penegak hukum memang bisa dimasukkan dalam peraturan "lex specialis" seperti UU Kehakiman, UU Kejaksaan, dan UU Kepolisian yang mengatur komite etik dan lembaga pengawas. "Tapi, saya kira hal itu tidak akan efektif untuk memaksa penegak hukum untuk menegakkan hukum. Buktinya, jaksa nakal sebelum saya masuk JAMwas di bawah 200 kasus, tapi sejak tahun 2010 mencapai 288 kasus, tahun 2011 ada 248 kasus, dan tahun 2012 justru 403 kasus, jadi pemantauan internal itu belum efektif," katanya. Oleh karena itu, kata mantan Kepala Kejati Jatim itu, peraturan "lex specialis" tetap perlu dipertegas dengan sanksi administratif di dalam UU KUHAP dan sanksi pidana di dalam UU KUHP, sehingga aparat penegak hukum tidak akan "mempermainkan" hukum. "Sanksi administratif di dalam UU KUHAP itu, misalnya, aparat penegak hukum memiliki batasan waktu yang sudah ditentukan dalam menangani perkara yakni 14 hari, tapi sanksi pidana di dalam UU KUHP akan memberi sanksi bila perkara dalam 14 hari tidak ada kejelasan, apakah berlanjut atau dihentikan, sehingga kasus tidak akan digantung atau mengambang," katanya. Dalam kesempatan itu, Marwan Effendy mengkritisi batasan waktu 14 hari hendaknya dikaji ulang yakni batasan waktu penelitian perkara itu hendaknya menggunakan batasan minimal dan maksimal. "Kasus pencurian itu jangan 14 hari, karena dua hari saja selesai, tapi kasus terorisme itu jangan 14 hari, karena waktunya kurang," katanya. Selain itu, "bolak-balik" perkara dari polisi ke jaksa juga harus dibatas, misalnya 3-10 kali, sehingga tidak terkatung-katung tanpa batas waktu. "Pemeriksaan saksi atau tersangka juga jangan sampai sembilan jam atau lebih, tapi dibatasi maksimal enam jam, karena psikolog membatasi daya pikir manusia dalam pemeriksaan hanya enam jam," katanya. Sementara itu, akademisi dari FH Universitas Brawijaya Malang Dr Sri Lestariningsih SH MHum mengkritisi perlunya makna dari ganti rugi, barang bukti, dan alat bukti diperjelas. "Ganti rugi itu bisa kompensasi dan restitusi, tapi kompensasi itu tanggung jawab negara dan restitusi itu tanggung jawab pelaku/terdakwa," katanya. Dalam kunjungan belasan anggota Komisi III DPR RI yang diterima Wakil Rektor II Unair Dr H Moh Nasih SE MT.Ak beserta sembilan orang akademisi dari fakultas hukum Unair dan Universitas Brawijaya itu juga terungkap perlunya kemampuan aparat penegak hukum ditingkatkan seperti KPK. Dalam penelitian Universitas Brawijaya terbukti 90 persen "kehebatan" KPK ditopang penyadapan, sedangkan polisi, jaksa, dan hakim tidak memiliki kewenangan penyadapan itu. Setelah melakukan dialog tentang RUU KUHAP, belasan anggota DPR RI dari lintas parpol itu mencari masukan praktis ke Mapolda Jatim dan Kejaksaan Tinggi Jatim. "Kami juga akan minta masukan ke universitas lain, bahkan mungkin juga akan minta masukan ke pengacara," kata pimpinan rombongan Komisi III DPR RI Dr H Aziz Syamsuddin. (*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013