Surabaya - Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (JAM-Was) Prof Dr Marwan Effendy meminta jajaran kejaksaan tidak mempermainkan kasus narkoba dan korupsi, karena itu Kejagung tidak setuju dengan sistem target untuk penuntasan kedua kasus tersebut.
"Dakwaan itu mencari kebenaran materiil, kalau memang ada alat bukti ya teruskan, tapi kalau tidak ada alat bukti ya bebaskan. Intinya, jangan main-main, kalau pakai sistem target, tentu akan mencari-cari kesalahan," katanya di Surabaya, Senin.
Ia mengemukakan hal itu dalam seminar "Penerapan Diversi Bagi Pecandu dan Korban Penyalahguna Narkotika oleh Aparat Penegak Hukum, Implementasi Pasal 54, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika" yang diselenggarakan Kejaksaan Agung bekerja sama dengan "HIV Cooperation Programme for Indonesia" (HCPI).
Menurut mantan JAM Pidsus itu, sistem target dalam tindak pidana itu tidak hanya dilarang konvensi internasional, namun sistem itu juga tidak akan mengurangi kasus narkoba dan korupsi untuk masa selanjutnya.
"Karena itu, saya sudah melarang kalangan kejaksaan untuk melakukan hal itu (sistem target) sejak tahun 2008, tapi saya meminta kepala kejaksaan untuk membentuk majelis kode etik untuk mengoreksi benar-tidaknya proses hukum yang dilakukan kalangan kejaksaan," katanya.
Mantan Kepala Kejati Jatim itu menegaskan bahwa dakwaan adalah kebijakan jaksa karena itu jaksa harus berani melihat kebenaran materiil, sehingga tidak menghukum orang yang tidak bersalah atau membebaskan orang yang bersalah.
"Jadi, kalau terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan ya bebaskan, termasuk kalau terdakwa terbukti melakukan perbuatan di luar dakwaan ya tetapkan dakwaan baru," katanya.
Terkait kebenaran materiil itu, ia mengaku Kejagung mendukung penerapan diversi (pengalihan) dari pidana (hukuman pidana) kepada rehabilitasi (hukuman rehabilitasi) untuk pemula, pengguna, atau penyalahguna dalam kasus narkotika sesuai UU 35/2009.
"Tapi, saya melihat masih ada dua kendala. Pertama, UU yang ada masih ambigu sehingga hakim dan jaksa bisa berbeda persepsi, karena itu Forum Makejapol yang sekarang disebut Forum Makumjapol digalakkan lagi," katanya.
Kendala lain adalah infrastruktur berupa panti rehabilitasi narkotika yang masih kurang. "Kalau di Indonesia ada 583 Polres ya seharusnya ada 583 panti rehabilitasi. Sekarang 'kan masih ada empat panti rehabilitasi yang resmi milik BNN dan 90-an panti milik swasta," katanya.
Pandangan itu dibenarkan seorang Kasubdit Narkoba di Bareskrim Polri Kombes Pol Adityawarman yang juga menjadi pembicara dalam seminar itu.
"Polri mendukung rehabilitasi pengguna narkoba, tapi kami masih kesulitan dengan infrastruktur. Kami tidak ingin aturan hukum hanya bisa diterapkan di Jakarta atau Jawa, tapi di tempat lain tidak bisa jalan," katanya.
Oleh karena itu, Polri masih merumuskan Peraturan Kapolri tentang Tata Cara Rehabilitasi. "Misalnya, panti rehabilitasi dengan sistem sektoral, contohnya untuk Jatim ada sejumlah panti rujukan, sehingga daerah yang tidak punya panti akan merujuk ke panti terdekat. Peraturan Kapolri juga akan mengatur pengamanan pengguna yang direhabilitasi agar tidak kabur," katanya.
Selain itu, Kapolri juga sudah berusaha menjalin kerja sama dengan Polri Diraja Malaysia untuk pengawasan di wilayah perbatasan, karena banyak jenis narkoba di Indonesia yang terjadi berasal dari Malaysia. "Ada jenis narkoba tertentu di Malaysia yang 90 persen barangnya dikirim ke Indonesia," katanya.
Senada dengan itu, Wakil Ketua PN Surabaya Suwidya Abdullah menyetujui peraturan teknis untuk pengguna, pengedar, dan produsen dalam kasus narkoba.
"Kami mendukung rehabilitasi, karena rehabilitasi merupakan cara yang tepat untuk mengurangi kasus narkoba daripada tindak pidana, karena banyak negara sudah membuktikan, seperti Australia. Tapi, parameter pemula, pengguna, pengedar, dan produsen harus terperinci," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013