Bagi kalangan pers, tanggal 9 Februari merupakan hari istimewa, karena Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional yang menetapkan tanggal 9 Februari --tanggal lahirnya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-- sebagai Hari Pers Nasional (HPN).
Tentu, penetapan tanggal 9 Februari sebagai HPN menjadi kontroversi, sebab era reformasi telah mendorong lahirnya organisasi pers di luar PWI yang merasa tidak terwakili dengan tanggal itu, bahkan ada yang bilang bahwa PWI yang lahir pada 9 Februari 1946 itu bukanlah organisasi wartawan pertama di Indonesia.
Misalnya saja, Mas Marco Kartodikromo sudah mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB) pada tahun 1914, lalu ada Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). Apalagi, ada penerbitan pribumi yang pertama yakni "Medan Priyayi" yang dinahkodai oleh Tirto Adhi Suryo, yang terbit perdana pada 1 Januari 1907.
Namun, perdebatan sejarah itu tidak akan ada ujung pangkalnya, karena sejumlah literatur menyebutkan bahwa Medan Priyayi juga bukanlah koran nasional yang pertama. Di Sumatera, sejumlah koran berbahasa Melayu, yang juga digawangi oleh kaum pribumi, sudah terbit. Selain itu, jika ukurannya adalah orang pribumi dan bahasa Melayu, maka kiprah Abdul Rivai tidak dapat diabaikan.
Pada tahun 1900, Abdul Rivai sudah menerbitkan koran berbahasa melayu yakni "Pewarta Wolanda", kemudian Abdul Rivai kembali menerbitkan koran berbahasa Melayu yakni "Bintang Hindia" pada tahun 1902. Lebih awal lagi ada koran di tanah Hindia-Belanda yakni "Bataviasche Nouvelles" yang terbit di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1744-1746.
Untuk itu, sejarah pers tidak terlalu signifikan untuk diperdebatkan, biar saja ada HPN pada 9 Februari dan ada Hari (Kebebasan) Pers Dunia pada 3 Mei, mengingat ada selaksa "ancaman" yang lebih mendesak untuk disikapi kalangan pers, baik kalangan yang merayakan pada 9 Februari maupun kalangan yang merayakan pada 3 Mei.
Ancaman pertama, kekerasan terhadap wartawan atau jurnalis yang masih saja berlanjut. LBH Pers mencatat ada 45 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam kurun waktu Januari-Mei 2012. Tahun 2011 mencapai 96 kasus dalam satu tahun (Januari-Desember 2011). Ada kecenderungan kekerasan terhadap jurnalis memperlihatkan trend meningkat.
Contohnya, kasus kekerasan terhadap sejumlah jurnalis di Kampar, Riau, saat meliput jatuhnya pesawat Hawk 200. Pelakunya adalah anggota TNI Angkatan Udara (AU) dan sejumlah kekerasan terhadap wartawan lainnya yang terjadi di belahan Nusantara ini.
Sebelumnya, lembaga independen pemantau kemerdekaan pers, Reporters Without Border, melaporkan indeks kemerdekaan pers sebanyak 174 negara dalam kurun waktu 2011-2012. Disebutkan, tingkat kemerdekaan pers Indonesia menurun 29 poin menjadi peringkat ke-146. Sebelumnya, pada tahun 2010, peringkat kemerdekaan pers Indonesia masih di posisi- 117.
Ironisnya, institusi TNI/Polri paling banyak berkontribusi dalam penurunan peringkat kemerdekaan pers. Pada tahun 2011, misalnya, terjadi 96 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dan 70 kasus diantaranya berkategori kekerasan fisik. TNI dan Polri menempati peringkat teratas sebagai pelaku kekerasan terhadap jurnalis, yakni TNI (11) dan Polri (10).
Ke depan, TNI/Polri perlu didorong pemahamannnya terhadap kemerdekaan pers, karena TNI/Polri juga berjasa dalam menggulirkan reformasi dan demokrasi di republik ini. Jadi, mereka perlu memaknai nilai-nilai yang tertuang dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bahwa negara menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Ancaman kedua datang dari internal masyarakat pers sendiri. Media yang dikuasai oleh segelintir elit, yang tujuannya hanya untuk melayani tujuan kapital yang tidak bisa diharapkan sebagai instrumen demokrasi. Dalam banyak kasus, mereka lebih banyak menjadi penyebar "kebohongan" dan "memanipulasi" kesadaran rakyat, sebab mereka menamakan diri sebagai pilar demokrasi, tapi hakekatnya justru untuk kepentingan politik tertentu.
Jadi, HPN 2013 harus mengembalikan pers sebagai pilar demokrasi yang mampu menjaga relasi antara masyarakat dengan negara. Pers harus mampu menjadi jembatan, penengah, dan "jalan tengah" yang terus menjaga keseimbangan sebagai kontrol sosial, pendidikan, hiburan dan penyebar informasi yang jujur dan bermutu kepada publik. Pers harus selalu menjaga demokrasi dan turut memajukan republik tercinta ini, sesuai dengan semangat dan tema HPN 2013 ini yakni Pers Bermutu, Bangsa Maju. Selamat Hari Pers Nasional...! (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013