Surabaya - Farmakolog dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr Suharjono MS Apt menegaskan bahwa "methylone" yang diduga dikonsumsi artis/presenter Raffi Ahmad memiliki tingkat bahaya setara dengan ekstasi. "Masalahnya, UU 35/2009 tentang Narkotika belum mengaturnya, karena UU itu hanya menyebut cathitone, padahal methylone itu merupakan derivat (turunan) dari cathinone dan cathinone itu sejenis ekstasi," katanya kepada Antara di Surabaya, Kamis. Pengelola Pusat Informasi Obat (PIO) Fakultas Farmasi Unair itu berpendapat tingkat bahaya "methylone" yang setara dengan ekstasi itu menunjukkan keduanya merupakan zat adiktif yang sama, namun UU belum mengatur. "Itu sama dengan kasus heroin atau ekstasi itu sendiri yang belum diatur dalam UU, karena UU saat itu hanya mengatur morfin, namun akhirnya ada revisi UU untuk memasukkan heroin, lalu revisi UU berikutnya memasukkan ekstasi, dan seterusnya," katanya. Ke depan, ia menyarankan para pembuat UU hendaknya melibatkan ahli farmasi atau apoteker untuk merevisi UU. "Kalau mereka melibatkan ahli farmasi mestinya UU tidak hanya menyebut zat tertentu seperti cathinone, melainkan menyebut zat tertentu dan derivatnya," katanya. Menurut dia, banyak derivat dari cathinone, amphetamine, dan sebagainya yang belum masuk ke Indonesia, karena itu UU pun belum mengaturnya. "Kalau diteruskan, tentu akan ada masalah terus, karena itu mestinya penyebutannya adalah zat adiktif X dan derivatnya," katanya. Ia mencontohkan obat tidur yang sudah dilarang di AS selama lima tahun, namun akhirnya ditemukan polisi dalam razia di Palembang. "Obat tidur itu datang dari Singapura, tapi di AS yang merupakan negara pembuatnya justru sudah lama dilarang, tapi di sini baru masuk," katanya. Dosen yang alumni Unair dan UGM itu mengatakan "methylone" yang diduga dikonsumsi Raffi Ahmad itu memberi stimulus atau rangsangan yang membuat konsumennya menjadi segar dan tidak mudah mengantuk, tapi memiliki candu (adiktif) yang membahayakan. "Itu berbahaya bagi konsumen yang memiliki jantung, karena pacu jantung akan berdetak lebih keras, kemudian konsumen yang memiliki tekanan darah tinggi juga akan dengan cepat naik tekanannya, sehingga membahayakan," katanya. Dari tingkat bahaya, "methylone" itu tergolong psikotropika / narkotika golongan I yang memiliki tingkat bahaya seperti golongan I lainnya seperti MDMA atau Ecstasy. "Psikotropika/narkotika golongan I itu hanya untuk riset dan tidak boleh dikonsumsi, sedangkan golongan II masih boleh dikonsumsi dengan resep dokter, misalnya morfin untuk obat bius, atau penghilang rasa nyeri berat," katanya. Namun, Suharjono sepakat bila Raffi Ahmad merupakan "korban" dari sindikat "methylone", karena itu pihak berwenang hendaknya mengembangkan kasus Raffi Ahmad untuk menangkap sindikat di balik peredarannya. "Kalau Raffi mengalami kecanduan sebaiknya direhabilitasi, tapi kasusnya harus dikembangkan untuk menemukan bandar dan pengedar methylone itu, karena saya yakin peredarannya sudah banyak, sebab sudah merambah kalangan selebiritis," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013