Oleh Edy M Ya'kub (Surabaya)
"Gunung apa yang sudah pernah kamu daki," ucap anggota tim Srikandi Airlangga Indonesia Aconcagua Expedition (SAIAE) Lestari Ningsih menirukan pertanyaan pendaki lain saat menceritakan pengalaman dari Puncak Aconcagua-Argentina setiba di Surabaya, 23 Januari 2013.
Pertanyaan sejumlah pendaki gunung tertinggi di Benua Amerika itu agaknya sulit dijawab pegiat Mahasiswa Pencinta Alam (Wanala) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Bukan karena dia tidak memiliki pengalaman pendakian, tapi ia mengaku minder dengan pengalaman para penakluk Puncak Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina, Amerika Selatan itu.
"Pengalaman kami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka, bahkan rasanya kami juga tidak pantas mendaki Aconcagua, karena pengalaman kami sangat kecil," tuturnya.
Bahkan, ia merasa dirinya menaklukkan puncak gunung tertinggi kedua di dunia dalam "seven summits" itu bermodalkan "bonek" (bondo dan nekat) yang berarti bermodal seadanya dan terlalu berani dengan risiko. Bonek sendiri merupakan sebutan untuk suporter sepakbola di Kota Pahlawan, Surabaya.
Namun, perjuangan mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Unair itu bersama dua rekannya yakni Ari Kurniawan (Fakultas Ilmu Keperawatan) dan Fandy Ibnu (anggota pecinta alam Swelagiri binaan PT. Semen Gresik) akhirnya berhasil.
Mereka mampu mengibarkan bendera merah putih dan bendera Unair serta menyanyikan lagu Indonesia Raya di puncak gunung itu pada Minggu (6/1/2013) pukul 18.00 waktu Argentina atau Senin (7/1) pukul 09.00 WIB.
"Kami sebenarnya menargetkan mampu menaklukkan puncak Aconcagua pada 5 Januari 2013, namun kami dihadang badai salju, sehingga kami harus menunda sehari untuk ke puncak," ungkapnya.
Namun, Lestari Ningsih bergumam dalam hati bahwa pertanyaan para pendaki dunia di awal pendakian itu agaknya benar, mengingat prasyarat pengalaman pendakian yang memadai itu penting untuk menaklukkan gunung sekelas Aconcagua.
"Ya, kami 'bonek' ke sana, sebab tim Indonesia yang menaklukkan puncak gunung itu baru dua tim yakni mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung dan mahasiwa Unair. Itu pun dari Parahyangan bermodal cukup," tukasnya.
Bukti kebenaran pertanyaan para pendaki dunia kepadanya antara lain dirinya sempat jatuh sakit saat mendaki. "Saya sempat mengalami pembengkakan paru-paru saat memuncaki Aconcagua," timpalnya.
Alhamdulillah, kesehatannya akhirnya pulih setelah dirinya disuntik di posko pendaki gunung itu. "Ya, begitulah, lhawong pengalaman saya hanya menaklukkan Puncak Mahameru di Semeru," tandasnya, tertawa.
Bahasa dan Babi
Kedatangan mereka pun mendapat sambutan langsung dari Rektor Unair Prof Dr H Fasich Apt, Direktur Kemahasiswaaan Unair Drs Koko Srimulyo MSi, dan jajaran rektorat lainnya, termasuk sejumlah pengurus Ikatan Alumni Unair.
"Kami bangga, adik-adik akhirnya mampu menaklukkan Aconcagua. Itu prestasi yang membanggakan bagi Unair dan Tanah Air kita," kata Fasich sembari menyalami ketiga anggota tim Wanala Unair itu.
Dengan disaksikan anggota unit kemahasiswaan lainnya dari Pramuka, Menwa, Palang Merah Mahasiswa, dan sebagainya, Rektor Unair Surabaya langsung bertanya tentang pengalaman mereka di Aconcagua.
"Kami tiba pada Rabu (23/1/2013) pukul 01.00 WIB dini hari setelah menempuh perjalanan selama 35 jam dari Argentina ke Jakarta, lalu berlanjut ke Surabaya," ujar Lestari Ningsih.
Mereka berangkat ke Jakarta tanggal 16 Desember 2012, lalu bertolak ke Argentina dari Bandara Soekarno Hatta pada tanggal 19 Desember 2012. Mereka singgah ke KBRI Buenos Aires, Argentina untuk mengikuti upacara peringatan Hari Ibu.
Selanjutnya, mereka menuju Provinsi Mendoza untuk memulai pendakian. "Masalahnya, orang Mendoza itu hanya bisa Bahasa Spanyol, sedangkan Bahasa Inggris pun tidak bisa, sehingga kami kesulitan berkomunikasi," paparnya.
Walhasil, mereka pun menggunakan bahasa isyarat. "Tapi, hal itu juga tidak mudah. Misalnya, saat kuli angkut barang minta uang jasa kepada, bahasa isyarat sulit dipahami, sehingga kami terpaksa menulis angka," katanya.
Tidak hanya itu, makanan pun menjadi kendala bagi mereka. "Cari nasi itu nggak ada, makanan di sana juga banyak yang mentah, apalagi sebagai Muslim juga ada masalah dengan babi," katanya.
Ia menceritakan saat dirinya menolak makanan tertentu yang berbahan baku dari daging babi, ternyata dirinya masih diberi makanan yang mengandung babi juga.
"Ternyata, babi di sana ada tiga istilah, sehingga saya akhirnya diberi makanan yang bahan bakunya hanya dari keju," ulasnya sambil menyebut tiga istilah dalam Bahasa Spanyol itu.
Meski begitu, ia mengaku bersyukur dengan pendakian Aconcagua itu, karena semua pengalaman itu menjadi sangat berarti bagi dirinya. "Itu pengalaman yang takkan pernah terlupakan," tegasnya.
Agaknya, pengalaman itu tidak hanya berarti bagi Lestari Ningsih dan kawan-kawan Wanala Unair, namun pengalaman para satria muda itu juga membawa nama harum bangsa. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013