Trenggalek - Ana Diyanti, guru di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Al Azhaar, Gandusari, Trenggalek, Jawa Timur mempersoalkan alasan pihak sekolah memberikan sanksi dan mengurangi jam mengajar yang dinilainya tidak mendasar. "Hari ini saya baca (pemberitaan) di koran katanya pengurangan jam mengajar itu atas dasar kemanusiaan karena saya sedang hamil, tapi kenapa pada kehamilan yang sebelumnya tidak dilakukan pengurangan, demikian juga kepada guru-guru yang lain," katanya, Selasa. Kata dia sebelumnya ia dan guru-guru yang lain tidak ada yang mendapatkan pengurangan jam mengajar karena sedang mengandung, terbukti saat hamil anak pertama Ana tetap menjalankan aktivitas mengajar seperti biasa dengan alokasi jam penuh sebagai guru kelas. Menurutnya, alasan yang dibuat oleh pihak sekolah tidak konsisten dan berubah-ubah, padahal dalam surat keputusan bersama Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Al-Azhaar jelas disebutkan pemberian sanksi tersebut berdasarkan pemberitaan yang muncul di surat kabar maupun internet. "Sedangkan pada peryataan kepala sekolah kepada wartawan, pemberian sanksi itu karena saya dinilai telah melangar AD/ART pasal 28 ayat 7 akibat tidak menyekolahkan anak saya di Al-Azhaar. Ini masalah yang berbeda," ujarnya. Ana menjelaskan, terkait tidak menyekolahkan anaknya di Al-Azhaar tersebut telah terjadi dua tahun yang lalu, namun permasalahan tersebut telah dibicarakan dengan pihak sekolah dan mencapai kesepakatan. Pada saat itu, SDIT Al-Azhaar tidak mempermasalahkan anaknya tidak disekolahkan di situ, namun Anna diwajibkan untuk mencari pengganti dengan mencari calon siswa yang lain. "Awalnya pihak sekolah minta untuk mencari lima anak, ini jelas sulit kami lakukan karena kebetulan tempat tinggal saya di Kecamatan Kampak, namun akhirnya saya mendapat ada dua anak untuk sekolah di Al-Azhaar dan setelah itu tidak ada masalah," katanya. Pihaknya juga menyesalkan langkah yayasan yang memberikan sanksi berupa pengurangan jam mengajar dari 24 jam menjadi delapan jam per minggu, karena hal ini dapat mengganjal pencairan tunjangan profesi pengajar (TPP), padahal Ana telah mengikuti uji kompetensi, PLPG serta telah menerima sertifikat. "Kami berencana akan mengajukan keberatan kepada pihak yayasan, karena apa yang saya sampaikan ke media massa terkait dugaan pungli itu sesuai dengan fakta dan bukan upaya untuk mencemarkan nama baik sekolah," katanya. Sebelumnya, Ana Diyanti, pengajar SDIT Al-Azhaar Gandusari, Trenggalek dijatuhi sanksi berupa pengurangan jam mengajar karena mengungkap dugaan pungli tunjangan profesi pengajar (TPP) atau tunjangan sertifikasi guru ke media massa. Disebutkan, hampir semua tenaga pengajar penerima tunjangan sertifikasi dimintai urunan masing-masing sebesar Rp100 ribu oleh koordinator guru sebagai ucapan terima kasih kepada pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Trenggalek. Polemik terkait pungli TPP guru yang muncul di sejumlah media massa lokal dan nasional ini kemudian memicu ketegangan antara pihak sekolah (SD Al Azhaar) dengan guru Ana. Pihak sekolah bersama yayasan kemudian menjatuhkan sanksi indispliner, karena guru Ana dinilai menebar fitnah dan mencemarkan nama baik sekolah. Tidak berhenti di situ, Dinas Pendidikan Trenggalek bahkan juga menggelar serangkaian pemeriksaan internal, namun hasilnya menyatakan pungli TPP sebagaimana informasi guru Ana Diyanti tidak pernah terbukti. "Kami sudah memeriksa sejumlah staf dinas yang mengurusi penyaluran TPP, dan hasilnya nihil. Tidak ada pungutan itu," kata Kepala Dinas Pendidikan Trenggalek, Kusprigianto kepada wartawan, Senin (14/1). Kusprigianto menyatakan lepas tangan terhadap sanksi indisipliner berupa pengurangan jam mengajar kepada guru Ana, dengan alasan itu menjadi kewenangan internal sekolah serta yayasan. Kasus dugaan pungli tunjangan sertifikasi di kalangan guru di Trenggalek ini kabarnya telah menarik perhatian pemerintah pusat. (*)

Pewarta:

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013