Guru Besar Bidang Mitigasi Bencana Universitas Brawijaya (UB) Prof Sukir Maryanto mengemukakan bahwa bencana banjir bandang di sejumlah wilayah Sumatera mengindikasikan adanya persoalan lingkungan yang mengharuskan segera dilakukan evaluasi terhadap penebangan hutan.

"Selain persoalan lingkungan, banjir bandang di wilayah Sumatera, juga disebabkan lemahnya sistem mitigasi bencana di Indonesia," kata Prof Sukir di Malang, Jawa Timur, Jumat, merespons terjadinya banjir bandang di wilayah Sumatera.

Prof Sukir mengatakan banyak kayu yang hanyut saat terjadi banjir mengindikasikan adanya penebangan hutan di wilayah itu.

Ia menjelaskan deforestasi masih menjadi persoalan krusial, terutama karena Indonesia berada di bawah rata-rata dunia dalam standar pengelolaan hutan berkelanjutan.

Menurut dia, program pemerintah di masa lalu, seperti ekspansi lahan transmigrasi, perkebunan karet dan sawit, sebagian besar mengorbankan tutupan hutan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.

Prof Sukir mengatakan ketika ia menjadi transmigran di Sumatera, melihat langsung pohon-pohon besar ditebang untuk pembukaan lahan. Kondisi serupa juga terjadi di berbagai hutan di Sumatera dan Kalimantan.

Menurut dia, banyak kasus pemanfaatan hutan tidak sesuai desain lingkungan, sehingga menimbulkan banjir.

Selain faktor deforestasi, lanjutnya, cuaca ekstrem juga menjadi pemicu utama terjadinya banjir.

Ia mengatakan pada September 2025 hingga Februari 2026 merupakan fase cuaca ekstrem tahunan di Indonesia. “Saat ini kondisi cuaca ekstrem. Siklus ini terjadi tiap tahun,” katanya.

Ia menilai mitigasi bencana dapat dilakukan dengan lebih baik apabila sistem informasi cuaca di Indonesia bekerja secara optimal.

Ia membandingkan kemampuan peringatan dini Indonesia dengan Jepang yang dinilai jauh lebih presisi dan terstruktur. “Di Jepang, ramalan cuaca tersedia per jam dan per wilayah kecil seperti kecamatan, informasinya ada di TV publik, transportasi umum, hingga situs pemerintah," katanya.

Menurut dia, sistem ini memungkinkan masyarakat mengantisipasi hujan, angin kencang atau bencana lainnya lebih cepat dan akurat.

Ia mengatakan BMKG perlu meningkatkan fungsi informasi dan sosialisasi, termasuk memperkuat kolaborasi dengan BRIN, Badan Geologi, serta perguruan tinggi. "Koordinasi antarlembaga masih lemah, sehingga data dan peralatan pemantauan bencana belum terintegrasi dengan baik," ucapnya.

Pewarta: Endang Sukarelawati

Editor : Taufik


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2025