Tulungagung (Antara Jatim) - Pihan Dinas PU Pengairan dan ESDM Kabupaten Tulungagung menilai, kekerinngan serta tidak meratanya distribusi air selama kemarau di sejumlah area persawahan setempat terjadi akibat petani tidak mematuhi rencana tata tanam global (RTTG) yang ditetapkan daerah.
"Jika ada petani padi yang gagal panen di musim seperti saat ini, itu merupakan kesalahan mereka sendiri. Seharusnya mereka menanam palawija di musim kemarau, bukan malah tetap menanam padi karena suplai air jelas tidak cukup," kata Kabid Operasi dan Pemeliharaan Dinas PU, Pengairan dan ESDM Tulungagung, Karna Tukul.
Menurutnya, krisis air yang terjadi di sejumlah persawahan sehingga terjadinya gagal panen padi itu dikarenakan ulah petani sendiri yang tidak mematuhi pola tanam dengan baik.
Padahal, lanjut dia, rencana tata tanam global atau RTTG itu telah dibuat dan disetujui pada di wilayahnya masing-masing.
"Untuk memaksimalkan hasil panen, dalam setiap tahun kami selalu membuat RTTG. RTTG dibuat atas keterlibatan beberapa pihak termasuk penyuluh pertanian serta disetujui bupati dan hasilnya akan diumumkan kepada para petani daerah tersebut," kata Tukul.
Ia memastikan, jika ada kasus petani yang gagal panen, hal itu dikarenakan mayoritas banyak yang mengabaikan RTTG yang telah disetujui.
Ia menambahkan, untuk jadwal tanam setiap daerah tidaklah sama, sebab RTTG dibuat berdasarkan keadaan, letak daerah dengan sumber air dan kondisi tanahnya, sehingga setiap daerah memiliki masa atau jadwal tanam yang berbeda dalam setiap tahunnya.
"Dalam tiga kali masa tanam, biasanya kami menjadwalkan dua tipe pada masing-masing daerah, yaitu padi-palawija-palawija, atau padi-padi-palawija," ujarnya.
Namun menurut Tukul, dalam kenyataaanya para petani cenderung melanggar RTTG.
Sinyalemen itu mengacu pada kecenderungan petani yang lebih mamaksakan diri menanam padi, kendati pasokan air irigasi berkurang drastis atau bahkan hilang sama sekali.
"Padahal itu bukan saatnya dan beranggapan air yang tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai panen nanti. Ditambah saat petugas menganjurkan untuk menanam sesuai jadwal, mereka cenderung mengacuhkannya dan beranggapan hujan akan turun ditengah musim kemarau ini," ujarnya.
Sikap abai petani menurut Tukul terbukti berdampak negatif. Terbukti, di tengah masa tanam air tiba-tiba habis dan membuat para petani kebingungan untuk mengairi ladangnya.
Alhasil, petani tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan sekuat tenaga merawat tanamannya dengan mengeluarkan biaya yang lebih.
"Andai saja para petani mematuhi RTTG dan apa yang terjadi tidak sesuai kenyataan mereka bisa komplain kepada kami, namun karena melanggar mereka tidak bisa berbuat apa-apa," kata Tukul.
Kendati demikian, lanjut dia, pihak Dinas PU, Pengairan dan ESDM tetap terus berupaya untuk menanggulangi permasalahan ini dengan bekerjasama dengan dinas pertanian (disperta) Tulungagung untuk meminjamkan pompa air.
Selain itu pihaknya juga mengusulkan pembuatan embung atau tampungan air hujan, agar air tersebut bisa dibuat stok untuk mengahadapi musim kemarau.
"Selain hal tersebut kami terus berupaya untuk memberikan sosialisasi kepada para petani agar mereka sadar pentingnya mematuhi RTTG," jelasnya. (*)