Blitar - Anggota Komisi III DPR RI, Eva Sundari mengutuk keras serangkaian kekerasan yang dialami wartawan dan menuntut kepolisian mengusut kasus-kasus tersebut hingga tuntas, termasuk insiden pembunuhan wartawan media harian lokal di Manado, Sulawesi Utara. "Saya sangat marah dengan kejadian ini. Kekerasan terhadap wartawan seharusnya tidak terjadi atau minimal bisa ditekan seandainya polisi bertindak tegas dalam mengusut kasus-kasus seperti ini," kata Eva saat melakukan kunjungan kerja di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Minggu. Eva mengaku sempat terkejut dengan kabar pembunuhan yang dialami seorang wartawan harian Metro di Manado, Sulawesi Utara, Minggu pagi. Ia menyebut insiden itu menambah daftar panjang kekerasan terhadap pekerja media. Hingga saat ini telah ada 11 kasus kekerasan dialami wartawan. Beberapa di antaranya bahkan sampai meregang nyawa karena pembunuhan dilakukan dengan brutal dan terencana. "Kuncinya tetap di kepolisian. Kalau kepolisian tetap saja pada posisinya seperti sekarang ini, maka akan makin banyak lagi wartawan yang menjadi korban," ujarnya. Secara khusus, anggota komisi III yang membidangi hukum dan HAM ini mendesak agar Polri bertindak tegas dalam mengusut dan menindak pelaku kekerasan terhadap wartawan. Tidak hanya dalam kasus pembunuhan wartawan harian Metro di Manado yang barusan terjadi, tetapi di semua kasus kekerasan terhadap pekerja media di berbagai wilayah Nusantara. "Mereka (polisi) harus bisa membuktikan kinerjanya dalam melindungi profesi wartawan," tegas Eva bersemangat. Politisi PDIP ini lebih banyak menyorot kinerja korps Bhayangkara karena dianggap lalai dalam menjalankan tugas, terutama dalam melindungi kepentingan dan keselamatan awak media. Ia bahkan menuding salah satu penyebab merosotnya indeks kebebasan pers di Indonesia selama beberapa tahun terakhir lebih banyak dipengaruhi inkonsitensi dukungan Polri dalam menjaga dan melindungai profesi wartawan. Eva lalu mencontohkan kasus pembunuhan wartawan Yogyakarta, Papua, maupun daerah-daerah lain di Indonesia. Meski alat bukti dan petunjuk cukup jelas, namun kenyataannya hasil penyelidikannya masih nihil. "Kalau kasus teroris saja bisa diusut, kenapa kasus kekerasan wartawan yang pelaku dan modusnya lebih jelas tidak bisa mereka tangani. Inilah kenapa saya mengatakan bahwa persoalan utama dalam perlindungan pers itu ada di kepolisian," tandas Eva. Data Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), ada beberapa kasus pembunuhan jurnalis atau wartawan yang kasusnya tidak terselesaikan. Kasus-kasus dimaksud di antaranya adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), dan Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997). Selain itu masih ada kasus pembunuhan Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), dan Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006). Sementara kasus pembunuhan terbaru sejak tahun 2010 dialami Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010). Eva menyebut masih banyak kasus kekerasan terhadap wartawan yang pengusutannya tidak pernah tuntas, termasuk percobaan pembunuhan wartawan Papua yang kemudian mengadukan kasusnya ke DPR RI, beberapa waktu lalu. (*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012