Oleh Asmaul Chusna
Nganjuk - Sudah tiga bulan Umar (19) menjadi santri Pondok Pesantren Darul Akhfiya yang ada di Desa Kepuh, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dan ia merasa tenang.
Ia merasa menuju jalan yang ia cari selama ini, yaitu menginginkan kebahagiaan akhirat. Dengan beragam ilmu agama yang ia dapat, ia merasa mendapatkan kelengkapan hidup.
Umar yang berasal dari Kabupaten Blitar, Jawa Timur, itu merasa sudah resah dengan ilmu agama yang ia dalami selama ini. Sejak duduk di bangkus sekolah, ia hanya dijejali dengan ilmu umum, dan minim sekali mendapatkan ilmu agama.
Ia pun mulai sering berkunjung ke sebuah masjid di Kota Blitar. Di tempat itu, ia sempat melihat ada selebaran yang baginya cukup menarik. Sebuah pondok pesantren.
Tak pernah dibayangkan di benak remaja yang sudah lulus sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kabupaten Blitar itu menjadi santri sebuah pondok pesantren. Namun, kebutuhan batinnya yang serasa kering dengan ilmu agama, membuatnya langsung terhipnotis.
"Saya merasa tertarik dan mencari tahu informasinya dari pengurus masjid. Dari situ, saya datangi pondoknya dan daftar," tuturnya.
Ia sudah merasa cocok ketika pertama kali mendaftar di pondok yang diasuh Nasiruddin Ahmad alias Landung Tri Bawono (34), asal Sukoharjo, Solo ini. Ia berhasil lulus tes yang diberikan panitia seperti Bahasa Arab serta membaca kitab suci Al Quran. Kepergiannya menjadi santri pondok bahkan atas restu orangtuanya.
Ia merasa awalnya cukup berat dengan kegiatan di pondok. Di dalam pondok, setiap santri diwajibkan untuk berbicara dengan Bahasa Arab ataupun Bahasa Inggris.
"Kami hanya diberi kesempatan diperbolehkan menggunakan Bahasa Indonesia, tapi itu di luar pondok. Kalau kami ketahuan, kami mendapatkan sanksi," tuturnya.
Tiga bulan di pondok masih penyesuaian dirinya. Ia sempat kangen dengan keluarga di rumah, tapi karena aturan di pondok yang hanya membolehkan pulang tanpa menginap, membuat ia harus betah. Ia pulang setiap satu bulan sekali pada akhir pekan, pulang pagi dan harus kembali sebelum pukul 17.00 WIB pada hari itu juga.
Biaya di pondok juga cukup murah, hanya Rp150 ribu per bulan. Namun, bagi keluarga yang kurang mampu dibolehkan memberikan biaya dengan seikhlasnya.
Di dalam pondok, disiplin sangat ditekankan. Setiap santri harus bangun pukul 03.00 WIB, lalu sembahyang bersama. Sambil menunggu shalat subuh, setiap santri dibolehkan untuk mengaji dan setelah shalat subuh selesai harus menyetorkan hafalan kitab suci Al Quran minimal satu lembar sampai pukul 08.00 WIB.
Setelah selesai, pelajaran dilanjutkan untuk kitab-kitab sampai pukul 11.00 WIB lalu istirahat, shalat, serta makan lalu kembali mengaji sampai pukul 15.00 WIB dan sejumlah kitab-kitab lainnya sampai malam. Kegiatan itu dilakukan rutin setiap hari.
"Saya tidak capai. Senang bisa menghapal kitab suci, tapi sering 'rontok' (istilah gagal menghapal kitab suci) karena banyak maksiat," paparnya.
Ia mengakui, di dalam lokasi pondok ada kegiatan ekstra seperti belajar bela diri, sepak bola, pecinta alam. Namun, kegiatan itu tidak diwajibkan, dan mereka pun boleh memilih sesuka hati kegiatan yang ingin diikuti.
Kesedihan nampak di wajah remaja yang mempunyai tiga bersaudara ini. Ia sedih, mengapa warga menolak keberadaan pondok pesantren mereka. Padahal, tidak ada pelajaran yang aneh ataupun yang baginya menjurus pada kekerasan.
Hal sama juga terlihat pada Maulana (16). Remaja yang baru lulus SMP ini merasa sedih karena warga tidak membolehkan mereka tinggal di dalam pondok.
"Kami cukup baik dengan masyarakat, tapi mengapa kami tidak dibolehkan tinggal di pondok," ucap remaja asal Mojokerto ini, mempertanyakan.
Nasibnya saat ini seperti di ujung tanduk. Ia sudah tidak tahu jika tidak dibolehkan lagi ada di pondok ini. Perasaan ini rupanya juga ada dalam benak seluruh santri. Ada 49 rekan mereka yang saat ini bimbang dengan nasib mereka.
Tertutup
Sejumlah tetangga dan perangkat menyebut jika pondok ini cenderung tertutup untuk aktivitasnya. Mereka bahkan sering mengadakan aktivitas yang mencurigakan, di antaranya latihan bela diri yang dilakukan pada malam hari.
Ketua RW di Desa Kepuh, Kecamatan Kertosono Budiarso (66) menyebut sering mendengar mereka latihan pada malam hari. Bukan hanya pada hari tertentu, hampir setiap hari aktivitas itu dilakukan.
Ia tambah resah, ketika perangkat yang ingin melihat langsung aktivitas belajar mengajar ditolak oleh pengasuh pondok. Mereka terlihat sangat tertutup untuk aktivitas di dalam pondok.
"Kami resah dengan aktivitas di pondok itu, dan khawatir jika ada keterlibatan jaringan teroris. Makanya, kami ingin pondok dikosongkan," kilahnya.
Kecurigaan warga mungkin memang ada latar belakangnya. Selain cenderung tertutup dan mencurigakan aktivitasnya, para santri pun ternyata sering berpindah-pindah. Bahkan, kepindahan mereka dilakukan diam-diam dan pada malam hari, sehingga tidak banyak yang tahu.
"Kadang ada 20 anak yang diangkut naik mobil masuk ke pondok, mereka di dalam pondok ada satu sampai dua pekan, dan terus bergantian. Kami menjadi curiga," ujarnya.
Tentang rumah itu, pria yang pensiunan guru dari sebuah sekolah dasar di Kabupaten Nganjuk ini mengatakan rumah itu awalnya milik Badal Harioso. Karena sudah pensiun, rumah itu dijual kepada seseorang lewat notaris dan dibeli oleh seseorang asal Blitar, yang ia tidak kenal sampai ditempati menjadi lokasi pondok.
Anehnya lagi, penghuni pondok ternyata bukan hanya dari warga daerah sekitar seperti Blitar, Mojokerto, Jombang, dan sejumlah daerah di Jatim. Namun, ada juga dari luar Pulau Jawa seperti NTT.
Para penghuni yang rata-rata remaja yang harusnya duduk di bangku SMP atau SMA itu, juga tidak ada yang sekolah di pendidikan umum. Para penghuni itu rata-rata tidak melanjutkan pendidikan karena terkendala dengan biaya.
Padahal, saat ini kegiatan belajar sudah ditanggung oleh pemerintah. Mereka mendapatkan subsidi dan bisa belajar dengan tenang, baik tingkat SMP maupun SMA.
"Di dekat pondok kan juga ada sekolah, tapi para santri tidak ada yang sekolah di luar pondok. Mereka (santri) nampak baik, tapi tidak tahu pasti latar belakang mereka," ucap Budiarso.
Warga, lanjut dia, sebenarnya sudah lama mencurigai aktivitas di dalam pondok yang dinilai tertutup itu. Mereka sudah melaporkan ke polisi dan pemda, tapi belum ada tindak lanjut, sampai kekesalan warga memuncak, hingga nekat unjuk rasa dan meminta pondok itu dibubarkan.
Polisi pun akhirnya turun tangan. Warga sudah mulai memadati lokasi pondok sejak Senin (12/11) malam, hingga suasana semakin panas dan mengevakuasi penghuni pondok. Mereka dievakuasi ke gedung Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Nganjuk, sementara pengasuh dibawa ke markas Polres Nganjuk.
Evakuasi berlangsung dramatis. Namun, para penghuni yang merasa tidak berdaya, akhirnya mengikuti kemauan warga dan mau dievakuasi.
Polisi pun, melakukan olah tempat kejadian perkara atas laporan kecurigaan warga yang menilai pondok itu sangat tertutup. Warga khawatir, pondok itu tempat pembinaan jaringan teroris. Landasannya, selain pengajaran ilmu agama juga pengajaran beragam ilmu bela diri di belakang pondok.
Polisi menemukan sejumlah barang bukti yang cukup mencengangkan, di antaranya beragam buku dan VCD tentang jihad, senapan, senjata tajam, mata panah, bambu runcing, serta beragam bukti lainnya. Barang-barang itu, terutama senapan dan senjata tajam diamankan di markas Polres Nganjuk.
Petugas dari Tim Gegana Satbrimob Polda Jatim, juga sempat memeriksa seluruh kamar dan bangunan di dalam pondok. Dengan alat "metal detector" dengan teliti setiap sudut dipantau, tapi hasilnya tidak ditemukan ada benda berbahaya atau mudah meletus ditemukan.
Kapolda Jatim Irjen Pol Hadiatmoko yang mendapatkan laporan itu langsung terjun ke lokasi untuk memastikan penyebab warga menolak keberadaan pondok itu.
"Kami sengaja datang, lantaran ada laporan jika kegiatan di pondok ini dinilai tertutup. Orang lain tidak boleh masuk dan mengetahui kegiatan di dalam pondok, bahkan perangkat pun tidak boleh masuk," katanya, mengungkapkan.
Ia mengaku, belum mengetahui dengan pasti tentang kelompok itu, termasuk apakah kelompok itu jaringan teroris. Namun, hal ini sudah dilaporkan ke Polri dan mereka akan datang guna memantau langsung.
"Kami sudah laporkan ini ke Polri," ujarnya.
Sampai saat ini, aktivitas di pondok masih lengang. Bangunan pondok itu disegel dengan menggunakan garis polisi. Pengamanan di pondok juga cukup ketat, di mana rumah dengan luas sekitar 400 ru (1 hektare = 700 ru) itu dijaga anggota polisi dan TNI.
Warga pun saat ini juga beraktivitas seperti biasa. Mereka pun juga terlihat biasa dengan pengamanan yang berlebih, karena adanya pondok yang diduga jaringan teroris tersebut.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012