Raja Ampat merupakan gugusan kepulauan di Papua Barat yang dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.

Wilayah ini telah ditetapkan sebagai marine protected area (MPA) dan menjadi rumah bagi sekitar 75 persen spesies terumbu karang global serta lebih dari 1.600 spesies ikan. Pada tahun 2023, Raja Ampat juga resmi diakui sebagai UNESCO Global Geopark, menegaskan perannya sebagai simbol konservasi laut dan pariwisata berkelanjutan.

Kini, kelestarian kawasan Raja Ampat menghadapi ancaman serius. Berdasarkan laporan dari Auriga Nusantara, luas lahan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan di wilayah itu meningkat tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir. Peningkatan ini mengancam sembilan kawasan konservasi laut (MPA) dan berpotensi berdampak langsung terhadap ribuan spesies laut, termasuk 540 jenis koral, serta satwa karismatik, seperti penyu sisik dan pari manta.

Sejak tahun 2020, ekspansi tambang nikel meningkat tajam. Hingga tahun 2024, area tambang bertambah hampir 494 hektare, dengan total luas konsesi mencapai 22.420 hektare. Situasi ini memunculkan konflik antara upaya pelestarian lingkungan dengan eksploitasi sumber daya alam, khususnya tambang nikel.

Tiga pulau kecil di Raja Ampat, Gag, Kawe, dan Manuran, telah menjadi lokasi izin pertambangan selama lima tahun terakhir.

Kegiatan pertambangan nikel, jika tidak dilakukan secara bijak dan berkelanjutan, berpotensi menimbulkan dampak biologis dan ekologis yang sangat serius. Salah satu dampak utama adalah hilangnya habitat terestrial akibat pembukaan lahan untuk keperluan eksplorasi dan produksi tambang.

Aktivitas ini kerap memicu deforestasi intensif, terutama di wilayah pulau-pulau kecil. Deforestasi di kawasan tersebut dapat mengakibatkan musnahnya habitat penting bagi flora dan fauna endemik.

Penelitian di Pulau Kawe menunjukkan bahwa profil laterit nikel yang terkupas mencapai kedalaman hingga 16 meter, menandakan telah terjadi kerusakan ekosistem pada tahap awal.

Data dari Greenpeace mencatat bahwa lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami telah rusak akibat aktivitas pertambangan. Kerusakan ini memicu erosi, sedimentasi sungai, dan degradasi terumbu karang.

Area terdampak juga merupakan habitat spesies endemik yang rentan, seperti tikus Gag Island (Rattus nikenii) yang saat ini berstatus critically endangered menurut IUCN. Kerusakan habitat membuat spesies tersebut semakin terancam punah.

Penelitian oleh Laura J. Sonter et al. (2018) menegaskan bahwa tambang dapat menimbulkan dampak luas terhadap keanekaragaman hayati. Dampak yang diidentifikasi, antara lain berupa erosi tanah, polusi air, hingga perubahan fisiologis pada tumbuhan dan hewan.

Di laut, sedimentasi akibat tambang meningkatkan kekeruhan air, mengurangi penetrasi cahaya, dan menyebabkan kekurangan oksigen pada organisme bentik, seperti karang, spons, dan lamun. Sedimentasi juga dapat mengubah struktur komunitas biota laut dan meningkatkan tekanan patogenik.

Dalam konteks ekologi, ekspansi pertambangan yang merusak vegetasi darat dan hutan mangrove akan memperparah sedimentasi, saat musim hujan. Mangrove memiliki fungsi penting sebagai penahan sedimen, dan kerusakannya akan berdampak langsung pada ekosistem laut.

Terumbu karang yang tertutup sedimen akan kehilangan kemampuan fotosintesis, melepaskan zooxanthellae (alga simbion), dan akhirnya mati. Proses ini dikenal sebagai smothering. zooxanthellae sangat penting bagi karang karena menyediakan hingga 95 persen hasil fotosintesisnya dalam bentuk energi dan nutrisi bagi polip karang (Muscatine, 1990). Tanpa zooxanthellae, karang tidak mampu bertahan hidup di perairan miskin hara.

Selain itu, aktivitas luvo (pengangkutan material tambang) dan run-off (aliran air permukaan yang membawa partikel dan bahan kimia dari tambang) mempercepat proses sedimentasi di laut. Sedimentasi ini dapat menutup karang, menghambat fotosintesis zooxanthellae, dan mempercepat kematian karang secara masif. Kondisi ini selaras dengan berbagai studi global mengenai dampak polusi sedimen terhadap ekosistem laut tropis.

Kerusakan lahan akibat tambang juga menyebabkan fragmentasi habitat, yang menurunkan tingkat keanekaragaman hayati. Spesies endemik yang hanya ditemukan di lokasi tersebut akan menghadapi tekanan adaptasi, bahkan terpaksa berpindah atau punah. Selain itu, sedimentasi laut dapat mengganggu siklus reproduksi makrofauna laut, seperti penyu dan pari manta. Endapan hasil tambang berpotensi mengganggu lorong migrasi spesies tersebut.

Studi Conservation International menyebutkan adanya area penting bernama manta superhighway, termasuk lokasi eagle rock, sebagai pusat aktivitas pari manta untuk makan dan dibersihkan oleh ikan remora dan udang cleaner.

Aktivitas pertambangan di Pulau Kawe yang berada di dekat kawasan ini berisiko menyebabkan sedimentasi, yang dapat merusak proses pembersihan tubuh pari manta dan membahayakan kesehatan populasi mereka. Oleh karena itu, penting dilakukan monitoring pergerakan satwa laut, seperti manta ray, untuk mendukung penetapan zona konservasi atau larangan tambang berbasis data ilmiah.

Penelitian lain mengenai interaksi antara tumbuhan dan serangga di area pertambangan (contohnya di Skotlandia) menunjukkan bahwa fragmentasi vegetasi menyebabkan gangguan pada jejaring makanan tingkat lokal. Jika diterapkan pada konteks Raja Ampat, yang merupakan hotspot keanekaragaman hayati dunia, dampak tersebut kemungkinan akan jauh lebih besar dan kompleks.

Dari sudut pandang sosial-ekologis, ekosistem laut sangat penting bagi masyarakat pesisir Raja Ampat. Selain sebagai sumber mata pencaharian, kawasan ini juga menopang sektor pariwisata berbasis kelestarian alam. Penurunan kualitas air dan kerusakan terumbu karang akibat pertambangan akan berdampak langsung terhadap ekonomi lokal.

Harapan masyarakat terhadap kontribusi ekonomi dari pertambangan seringkali tidak sebanding dengan kerugian ekologis yang ditimbulkan. Bahkan, dalam jangka panjang, kerusakan lingkungan dapat mendorong kemiskinan struktural dan meningkatkan risiko bencana ekologis.

Pada 10 Juni 2025 pemerintah Indonesia akhirnya resmi mencabut izin operasi empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, kecuali PT Gag Nikel (Antam) yang berada di luar zona geopark. Izin operasi PT Gag Nikel tetap diberikan, namun dengan pengawasan ketat, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (Maret 2024) yang menyatakan bahwa pulau-pulau kecil wajib dilindungi dari aktivitas berisiko tinggi, termasuk pertambangan.

Langkah pemerintah dalam mencabut izin tambang merupakan kebijakan strategis dalam menjaga nilai ekologi kawasan geopark Raja Ampat. Kementerian Energi dan Lingkungan juga menegaskan pentingnya verifikasi lapangan dan audit AMDAL yang ketat dalam seluruh proses pertambangan.

Perguruan tinggi, organisasi lingkungan, seperti Greenpeace, serta lembaga independen lainnya perlu dilibatkan sebagai pengawas dan pemberi rekomendasi berbasis data ilmiah.

Studi sosial ekonomi menunjukkan bahwa pendekatan community based conservation (konservasi berbasis masyarakat) memiliki peranan penting dalam upaya pelestarian lingkungan. Pendekatan ini dapat diwujudkan melalui edukasi dan penguatan kapasitas masyarakat adat, terutama di wilayah kepulauan yang terdampak aktivitas pertambangan, seperti Pulau Gag di Raja Ampat.

Tujuannya adalah agar masyarakat tidak hanya bergantung pada sektor pertambangan, tetapi juga mampu beralih dan mengembangkan potensi ekonomi alternatif, seperti ekowisata dan perikanan berkelanjutan.

Selain itu, strategi konservasi berbasis biologi dan ekologi juga perlu diterapkan untuk meminimalkan dampak lingkungan. Beberapa teknik yang dapat digunakan, antara lain pembuatan terasering, pengembangan buffer zone vegetatif, serta pembangunan struktur drainase darat. Upaya-upaya ini bertujuan untuk mengurangi laju sedimentasi ke laut yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan, sehingga keseimbangan ekosistem pesisir tetap terjaga.

Rehabilitasi terumbu karang melalui penanaman kerangka karang dan transplantasi individu sangat diperlukan untuk memulihkan ekosistem yang rusak akibat aktivitas pertambangan. Upaya ini harus didukung secara aktif oleh institusi konservasi agar dapat berjalan secara sistematis dan berkelanjutan.

Selain itu, kegiatan survei rutin terhadap kondisi karang, populasi ikan, penyu, dan manta perlu terus dilakukan secara berkala. Survei ini bertujuan untuk memantau dampak jangka panjang dari aktivitas konservasi serta mengevaluasi efektivitas program rehabilitasi yang dijalankan. Pendanaan riset jangka panjang dari perguruan tinggi dan lembaga konservasi menjadi elemen penting untuk menjamin keberlangsungan upaya pemantauan ini.

Kasus tambang nikel di wilayah Raja Ampat mencerminkan konflik klasik antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Kawasan yang semula dikenal sebagai lanskap laut yang sempurna, kini mengalami transformasi menjadi lahan tambang.

Dari perspektif biologi dan ekologi, dampak yang ditimbulkan sangat signifikan, antara lain berupa degradasi habitat, peningkatan sedimentasi toksik, penurunan keanekaragaman hayati, serta ancaman terhadap mata pencaharian masyarakat lokal yang bergantung pada laut.

Sebagai bentuk tanggung jawab, pemerintah telah mengambil langkah yang tepat dengan mencabut izin tambang di kawasan tersebut serta mewajibkan evaluasi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi seluruh perusahaan tambang yang beroperasi. Namun, langkah ini perlu diikuti oleh strategi konservasi berbasis sains yang lebih menyeluruh. Salah satu contohnya adalah penerapan teknologi pertambangan ramah lingkungan, seperti pembangunan zona penyangga (buffer zones), sistem drainase yang baik, dan pemantauan limpasan (run-off). Selain itu, rehabilitasi ekosistem harus mencakup penanaman kembali karang dan vegetasi pantai, proteksi terhadap spesies endemik, serta peningkatan literasi masyarakat mengenai pentingnya pelestarian lingkungan.

 

Dorongan terhadap pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan juga menjadi kunci. Alternatif ekonomi, seperti pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dan budi daya perairan (akuakultur) yang ramah lingkungan sejalan dengan konsep blue economy dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada tambang. Untuk itu, perlu adanya tata kelola yang terpadu dengan mengintegrasikan kebijakan daerah dan pusat secara harmonis.

 

Melalui sinergi antara kebijakan publik, program konservasi, dan pendekatan ilmiah, Raja Ampat masih memiliki peluang besar untuk pulih dan mempertahankan statusnya sebagai ikon keanekaragaman hayati laut yang mendunia dan lestari.

 

*) Misbakhul Munir adalah dosen Biologi UINSA


 

Pewarta: Misbakhul Munir, S.Si. M.Kes. *)

Editor : Abdullah Rifai


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2025