Oleh Nusarina Yuliastuti
Sejumlah ahli lingkungan mendiagnosa sepuluh penanda bahwa bumi makin sakit, dengan lima penanda pertama adalah es di Arktik (Kutub Utara) meleleh, gunung es di Antartika (Kutub Selatan) runtuh, lapisan ozon berlubang, zona laut mati meluas, dan terjadi krisis karang laut.
Lima lainnya adalah hutan terus menggundul, air tercemar, penumpukan efek gas rumah kaca di atmosfer, hewan terancam punah, dan laju penduduk makin pesat.
Ada cerita menarik tentang es di Antartika. Ternyata dulu di sana terdapat hutan tropis, dan kemungkinan pada masa depan es itu bisa menghilang lagi bila pemanasan global tidak terkendali.
Kevin Welsh, ilmuwan Australia yang melakukan ekspedisi pada 2010 mengungkapkan bahwa hutan hujan tumbuh di benua beku itu 52 juta tahun lalu.
"Terdapat hutan di daratan itu, tidak akan ada es sama sekali, di sana sangat hangat," kata Welsh, Kamis (2/8/2012) kepada AFP mengenai studi tersebut, yang dipublikasikan di jurnal Nature.
Kantor berita ANTARA menulis Wels memperingatkan bahwa wilayah itu dapat kembali terbebas dari es dalam kurun waktu beberapa dekade. Saat ini kadar CO2 diperkirakan sekitar 395 ppm, dan Welsh mengatakan bahwa prediksi yang paling ekstrem oleh "Intergovernmental Panel on Climate Change" (IPCC) tidak akan menemukan es lagi di Antartika "pada akhir abad ini".
Sementara pada bagian paru-paru Bumi penanda hutan terus menggundul mendekati kronis. Laju penebangan hutan secara global bisa mencapai sekitar 32 juta hektare per tahun. Sebagian besar penebangannya tidak terkontrol karena dilakukan secara ilegal.
Di Indonesia, sebagaimana dilaporkan oleh Indonesian Corruption Watch (2011), 88 persen dari kegiatan penebangan hutan di Indonesia dilakukan secara ilegal atau merupakan pembalakan liar.
Negara dirugikan Rp30,3 triliun per tahun, dan yang tidak terhitung adalah kerusakan ekologis. ICW menyatakan sekitar 71,43 persen cukong kayu bebas dari jerat hukum. Dari yang terjerat hukum, 14,29 persen dihukum penjara di bawah satu tahun.
Jika laju penggundulan hutan tidak dikurangi, niscaya bumi terasa makin panas. 2011 merupakan tahun dengan peningkatan suhu terpanas sejak data iklim bumi dicatat pada 1880.
Peningkatan suhu terpanas ini disebabkan bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca di muka bumi, seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan lainnya.
Menurut penelitian yang dilakukan NASA, Amerika Serikat, konsentrasi gas CO2 di atmosfir secara global terus meningkat secara cepat, dari sekitar 285 ppm pada 1880 meningkat menjadi 315 ppm pada 1960, dan saat ini melebihi 390 ppm.
Para peneliti menghitung, jumlah itu meningkat 2 ppm per tahun dan lama kelamaan mendekati batas yang harus diwaspadai, yaitu 450 ppm.
Bayangkan saja, 390 ppm sudah panas sekali, apalagi jika sampai 450 ppm. Untuk mudah membayangkannya gas rumah kaca bisa diibaratkan sebagai selimut. Bilamana selimut makin tebal, bukankah terasa lebih panas? Begitupun dengan gas rumah kaca, makin tinggi konsentrasinya kian panas bumi kita.
Menurut survei Bank Dunia, kehilangan hutan menyumbang 20 persen-25 persen emisi gas rumah kaca. Memang, penyumbang utama masih sektor industri dan transportasi yang menggunakan bahan bakar minyak maupun batu bara.
Menegakkan Etika Bumi
Apakah kita akan diam saja melihat bumi kian sakit? Jika ingin berpegang pada etika bumi (land ethics), rasanya tidak pantas membiarkan sakit kian parah. Sebagaimana dikemukakan pakar etika lingkungan Aldo Leopold, inti dari etika bumi adalah bumi tidak dapat semata-mata dijadikan alat bagi kepentingan manusia.
Menurut dia, semestinya bumi diperlakukan sebagaimana seseorang memperlakukan manusia lain. Manusia tidak bisa mengeksploitasi bumi seenaknya, sebagaimana manusia tidak bisa mengeksploitasi manusia lain secara serampangan.
Manusia tidak bisa menjadikan bumi sebagai objek semata, sebagaimana manusia tidak bisa menjadikan manusia lain sekadar objek.
Karena itu Leopold mengingatkan manusia untuk memperlakukan bumi sebagaimana memperlakukan sesama manusia.
Pakar etika lingkungan ini ingin meluruskan anggapan keliru masyarakat internasional bahwa bumi layak digali manfaatnya bagi kepentingan umat sehingga bumi menjadi sekadar alat ekonomis dan hanya bernilai ekonomis bagi manusia.
Bumi tidak boleh dimanipulasi demi kepentingan ekonomi semata. Selayaknya etika bumi ditegakkan demi menjaga bumi tetap sehat wal afiat, bukan melulu sakit seperti sekarang.
Semen Gresik sadar
Beruntung manajemen PT Semen Gresik (Persero) Tbk. menyadari perlunya etika bumi tersebut. Hal itu tercermin dari pernyataan manajemen lewat siaran pers yang dirilis baru-baru ini.
"Sebagai perusahaan industri yang melakukan penambangan bahan dari alam, Semen Gresik menyadari akan konsekuensi yang harus dipikul sebagai akibat dari pemanfaatan sumber daya alam yang diperlukan sebagai bahan baku produksi. Setelah mengambil dari alam, perusahaan berkewajiban mengembalikan alam tetap nyaman, bahkan mungkin menjadi lebih baik," demikian siaran pers tersebut.
Hakikat etika bumi seperti pernyataan itu, "mengambil dari alam, mengembalikan ke alam". Wujudnya? Semen Gresik ikut merawat bumi yang sakit agar kembali sehat wal afiat. Misalnya, lewat program yang bisa menangkap emisi gas rumah kaca, salah satunya karbon dioksida.
Makin banyak karbon dioksida ditangkap, kian berkurang risiko pemanasan global. Untuk menangkap karbon dioksida itu perlu perbanyakan pohon alias melakukan penghijauan.
Manajemen Semen Gresik memilih program penghijauan lewat tanggung jawab sosial perusahaan atau "corporate social responsibility/CSR". Dengan menggunakan dana sebesar Rp2,7 miliar, Semen Gresik memberikan bibit pohon mahoni, trembesi, sengon, matoa, dan jambu mete.
Semua tanaman itu dimanfaatkan untuk penghijauan di beberapa wilayah kabupaten di Jawa Timur, maupun Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati di Jawa Tengah.
Mengapa trembesi? Menurut Endes N Dahlan, pakar kehutanan IPB, pohon trembesi mempunyai daya serap karbon dioksida cukup tinggi. Sebatang pohon trembesi yang berdiameter tajuk di atas lima meter sanggup menyerap 28,5 ton gas CO2 setiap tahun.
Keunggulan lain, trembesi juga mampu menurunkan konsentrasi gas secara efektif, dan sanggup menyerap air dalam volume besar.
Oleh karena itulah, lanjut Endes, trembesi membantu menghilangkan emisi gas rumah kaca. Penanaman trembesi menjadi pilihan jitu bagi upaya ikut menjaga kesehatan bumi.
"Penanaman pohon merupakan langkah mendesak yang harus dilakukan untuk menyelamatkan bumi," kata Dwi Soetjipto, direktur utama PT Semen Gresik (Persero) Tbk., saat mencanangkan program penanaman pohon.
Dwi Soetjipto menambahkan menanam pohon merupakan kepedulian Semen Gresik terhadap bangsa Indonesia dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan, serta upaya untuk mencegah pemanasan global semakin parah.
Dalam program penghijauan, menurut siaran pers, Semen Gresik telah melaksanakan program penghijauan di area green belt dan green barrier yang dikelola dengan pola kemitraan bersama warga sekitar perusahaan.
Semen Gresik juga turut andil dalam pembuatan hutan kota Tuban dan penanaman 300.000 pohon dalam Program BUMN Menanam Pohon. Di lingkungan dalam pabrik Tuban, sampai akhir 2010, dilakukan penanaman sebanyak 44.000 pohon di sekitar Gloryhole dan 5.000 pohon di green belt Pabrik Tuban.
Di Pabrik Gresik juga dilakukan penanaman pohon di pascatambang, di antaranya Gunung Malang 5.000 pohon, Gunung Batang 2.000 pohon, Gunung Kembangan 1.200 pohon. Dengan demikian total pohon yang ditanam dan dipelihara mulai 2009- 2010 sebanyak 370.000 pohon.
Tampaknya, cara merawat bumi tidak perlu dengan upaya muluk-muluk. Cukup lewat penghijauan, Semen Gresik memberikan bukti kepedulian terhadap bumi yang kian sakit.
Dengan langkah itu, bumi diharapkan tidak semakin panas karena betapa mengerikan jika es di Antartika menghilang pada "akhir abad ini". (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012