29-5-2006, tak terasa lumpur Lapindo sudah enam tahun keluar dari bumi pertiwi, Sidoarjo, Jawa Timur. Selama itu pula penderitaan korban lumpur Lapindo dari belasan desa di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, tak kunjung berakhir. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang harus kehilangan tempat tinggal, tempat berteman dan juga tempat leluhur mereka dimakamkan. Demonstrasi yang mereka lakukan selama ini hanyalah sebagai bentuk eksistensi kalau para korban lumpur ini masih ada untuk menuntut hak - hak mereka yang telah hilang. Tidak ada perlakuan khusus kepada mereka selain untuk memperjuangkan apa yang sudah dijanjikan selama ini. Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), agaknya sudah dipandang sebelah mata oleh warga tatkala tugas mereka hanyalah sebagai Badan "Penanggulan" Lumpur Sidoarjo. Bukan sebagai Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang dibuat oleh pemerintah untuk menangani sejumlah permasalahan terkait masalah semburan lumpur Lapindo. Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Kusairi, menyatakan, kalau saat ini BPLS juga masih konsen untuk mengurusi masalah lumpur yang keluar dari Sumur Banjar Panji 1. "Kami masih terus berkonsentrasi untuk menanggulangi lumpur supaya tidak meluber ke Jalan Raya Porong," katanya. Namun, BPLS harus bertepuk sebelah tangan, karena warga melarang BPLS untuk bekerja melakukan penanggulan. Praktis, sejak satu bulan yang lalu, BPLS tidak bisa bekerja untuk mengalirkan lumpur ke Kali Porong dan melakukan penanggulan. Warga memang melarang BPLS untuk bekerja, sampai tuntutan dan juga hak - hak warga mendapatkan kejelasan dari BPLS untuk mendapatkan ganti rugi dari Lapindo yang hingga saat ini masih belum terleselesaikan. Upaya warga untuk melarang BPLS melakukan penanggulan ini memang beralasan mengingat saat ini angsuran kepada warga yang demo di titik 25 itu masih belum terselesaikan. Janji dari PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo Brantas Inc. untuk segera menyelesaikan pelunasan itu, juga masih belum direalisasikan. PT Minarak, mengaku hanya mampu menyediakan dana senilai Rp400 miliar yang akan dibayarkan kepada warga mulai Juni mendatang. Dana itu pun dirasa masih kurang, karena peruntukannya lebih diutamakan kepada warga dengan nominal ganti rugi di bawah Rp500 juta. Sementara warga dengan nilai ganti rugi lebih dari Rp500 juta masih harus menunggu dana dari PT Minarak Lapindo Jaya. Sekitar sepekan yang lalu, Minarak Lapindo Jaya juga sempat melakukan pertemuan dengan korban lumpur lainnya yang tinggal di Kahuripan Nirwana Village (KNV). Untuk masalah yang satu ini, Minarak Lapindo Jaya dihadapkan pada persoalan lainnya yakni pemberian sertifikat kepada warga yang telah memilik skema "Cash and Resettlement". Sudah lebih dari tiga tahun ini, warga yang tinggal di KNV masih belum mendapatkan kejelasan kapan sertifikat kepada sekitar 1.700 warga itu akan direalisasikan. Alih-alih pembuatan sertifikat tersebut masih dalam proses penyelesaian, Minarak justru menuai protes dari warga. Puncaknya, warga langsung memblokade pintu masuk ke perumahan KNV tempat mereka tiga tahun terakhir ini tinggal. Dalam pertemuan yang digelar oleh Minarak dengan warga disepakati kalau sertifikat tersebut akan diberikan secara bertahap mulai dari akhir Juni dan selanjutnya akan diberikan secara bertahap hingga akhir September 2012. Harapan demi harapan terus diberikan oleh Minarak Lapindo Jaya untuk meredam gejolak yang ada di masyarakat, khususnya korban lumpur Lapindo. Tentu, penderitaan selama enam tahun bukanlah sebentar, apalagi akhir dari lumpur itu tak jauh berbeda dengan pelunasan ganti rugi bagi warga yakni tidak jelas! (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012