Oleh Edy M Ya'kub (Surabaya) - "Mama, jangan merokok ya, saya malu diolok-olok teman, katanya mamaku perokok," ucap Rani yang kini duduk di bangku kelas enam sekolah dasar (SD) itu. Ucapan polos itu dilontarkan kepada ibunya bila "sang mama" yang kini tinggal di Surabaya itu datang untuk menjenguknya di Padang, Sumatera Barat. Ya, Rani yang ikut neneknya di sebuah kampung terpencil di Padang memang mewakili warga kampung setempat yang tidak terbiasa melihat perempuan merokok. Namun, anak itu terlalu kecil untuk memahami bahwa ibundanya adalah mantan pecandu narkoba, sehingga rokok sesungguhnya merupakan pengalihan kebiasaan dari narkoba yang dapat ditoleransi risikonya. Jauh sebelum anak semata wayang itu lahir, ibu dan ayahnya adalah pecandu narkoba dan dia juga tidak tahu bahwa dirinya berperan dalam mengubah sikap hidup dari kedua orang tuanya. "Rani memang terlalu kecil untuk tahu, padahal saya merokok sebenarnya untuk berpaling dari narkoba," tutur Via, ibunda anak itu yang menolak disebut nama asli dirinya dan anaknya. Sembari mematikan bara puntung rokoknya, Via mengaku tidak mudah untuk berhenti dari narkoba, namun rasa sayang kepada sang anak mampu mengubah kebiasaan dirinya dan suami. "Kalau ingat narkoba, saya ingat anak saya. Saya tidak ingin kehidupan anak saya hancur gara-gara narkoba," urainya, dengan suara sedikit tertahan. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menerima saran anaknya. "Saya tidak akan merokok lagi di depan anak saya. Itu demi dia," tukasnya dengan suara lirih seakan membayangkan wajah anaknya nun jauh di seberang. Via berasal dari keluarga yang tergolong mampu, karena ayah dan ibunya mencari nafkah di Bandung. "Meski ayah dari Padang, tapi masa kecil saya lebih banyak di Bandung, karena ayah dan ibu saya bekerja di Bandung," ujarnya, menerawang. Namun, kesibukan kedua orang tuanya itu membuat dirinya terjebak dalam pergaulan bebas sejak SMP di Bandung. "Awalnya, saya hanya pengguna alkohol, lama-lama saya terseret ke pil koplo. Ya, sekadar melarikan diri dari masalah di rumah," ungkapnya. Ketika menginjak usia SMA, dirinya mulai berkenalan dengan ganja, putauw, dan sejenisnya, sehingga dirinya tidak bisa lepas dari ketergantungan atau candu. "Buah Cinta" Hal itu juga "dilengkapi" dengan pergaulan bebas. Via pun mencintai seorang pemuda dan akhirnya hamil di luar nikah. Rani adalah "buah cinta" mereka. "Tentu saja, orang tua saya tersentak bukan kepalang. Saya akhirnya dinikahkan dengan pemuda itu, tapi ketergantungan pada narkoba masih tetap jalan," ulasnya. Akhirnya, orang tua pun mengungsikan dirinya ke Padang untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada narkoba dan juga persiapan melahirkan anak yang dikandungnya. "Betul, di Padang yang terpencil, saya kesulitan mencari ganja atau putauw. Saya sempat mencari ke kota, tapi harganya sangat mahal, sehingga saya hanya menggunakan alkohol yang mudah ditemui," tandasnya. Nah, setelah dirinya mempunyai anak dan kembali ke Bandung pun berusaha kembali kepada alkohol untuk menghindari narkoba. "Kalau ada masalah, saya merokok," timpalnya. Sebagai pasangan suami-istri yang menikah terlalu dini, dirinya dan suami pun sering bertengkar. "Mungkin kami tidak bisa mengendalikan emosi, karena masih belia," kilahnya. Bahkan, pertengkaran itu akhirnya mampu memisahkan mereka. "Saya bercerai dan saya akhirnya lari ke narkoba lagi," ujarnya. Melihat kondisi dirinya yang tak kunjung membaik, maka orang tua pun mengirimkan dirinya ke Panti Rehabilitasi Narkoba di Bali untuk berobat. Di Bali itulah, dirinya menemukan cinta lagi, karena dirinya merasa mendapat bimbingan dari seorang relawan narkoba asal Surabaya. "Dialah orang yang akhirnya menjadi suami saya sampai sekarang, tapi ketika di Bali, suami belum tahu kalau saya masih tergantung pada narkoba," ungkapnya. Namun, suami akhirnya diberitahu rekan-rekannya. "Jadi, saya masih menjadi pengguna narkoba ketika mendengarkan bimbingan dari dia, tapi rekan-rekan suami pun tahu," urainya. Walhasil, dirinya pun mendapatkan "pembinaan khusus" dari suami, karena laporan rekan-rekannya yang mengetahui keduanya berpacaran. "Kami akhirnya semakin merasa cocok dan ketika saya pulang ke Sumatera, ternyata sang suami balik ke Surabaya dan dia meminta saya datang ke Surabaya," ucapnya. Setiba di Surabaya itulah, dirinya tidak tahu bila suami mengajaknya untuk menikah. "Saya pun menikah dan saya pun tak bisa menolak ajakan suami untuk sama-sama aktif menjadi relawan LSM 'EJA' (East Java Action) Surabaya," ujarnya. Titik balik Cerita Via itu mendapat anggukan dari Wiwin, sang suami yang mantan pecandu narkoba dan kini aktivis/pegiat EJA Surabaya --LSM yang merupakan jaringan pecandu narkoba, baik pecandu pasif maupun aktif. "Betul, kepolosan anak kami, Rani, itulah yang menjadi titik balik bagi kami. Dia penyemangat yang kuat untuk melepaskan diri kami dari narkoba," kupasnya, ketika mendampingi istrinya. Apalagi, dirinya dan rekan-rekannya di EJA juga sangat aktif membina kaum muda untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada narkoba, apakah pecandu pasif atau masih aktif. "Saya sendiri terjebak dalam jaringan narkoba ketika saya masih SMA dan akhirnya benar-benar kecanduan saat kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Surabaya," tuturnya. 'Arek' Surabaya itu menyaksikan kiprah jaringan narkoba di kalangan kampus justru lebih "hebat" daripada di tingkat SMA, namun ia merahasiakan PTN dan SMA yang dimaksud. "Di kalangan kampus, narkoba justru mudah didapat dan jaringan narkoba juga berkembang dengan rapi, baik di kampus swasta maupun negeri," ungkapnya saat ditemui di 'markas' EJA di kawasan Bratang, Surabaya. Realitas itu membuat dirinya makin terjerumus dalam "dunia narkoba" hingga akhirnya berkali-kali mengalami "over dosis". "Karena sering mengalami 'over dosis', maka orang tua khawatir hingga akhirnya mengirimkan saya ke panti rehabilitasi di Surabaya," paparnya. Namun, proses pemulihan di panti rehabilitasi di Surabaya itu tidak mendukung dirinya untuk berproses melepaskan diri dari kecanduan narkoba. "Mungkin karena saya masih sering bertemu teman-teman pecandu di sini, sehingga keinginan untuk mencoba lagi masih sering datang menggoda. Kalau ada teman datang, saya tidak kuasa menolak," tukasnya. Barangkali, hal itu diketahui orang tuanya, sehingga dirinya pun dikirimkan ke panti rehabilitasi pecandu narkoba di Bali untuk menjauh dirinya dari teman-temannya. "Meski tidak seratus persen, saya mulai bisa melepaskan diri dari ketergantungan itu," kilahnya. Bahkan, panti rehabilitasi yang memulihkan dirinya itu pun mempercayai dirinya untuk aktif menjadi relawan yang "mengajari" para pecandu narkoba. "Saya akhirnya direkomendasikan untuk menjadi relawan EJA sampai sekarang," ucapnya. Wiwin dan istrinya pun tidak mau bersikap munafik. "Saya tidak sok suci, karena itu saya sering memberi kiat kepada para pecandu bahwa jangan mencoba narkoba dalam satu hari atau 24 jam, jangan berpikir besok. Begitu setiap hari," tegasnya. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012