Tulungagung - Mendapati satu warung angkringan khas Jogja di salah satu sudut Kota Tulungagung yang sudah terkenal dengan tradisi kopi cethe dan sego bantingan, rasanya seperti menemukan air di tengah gurun pasir. Ungkapan di atas mungkin berlebihan, tapi begitulah yang terbersit dalam benak dan pikiran saat secara tidak sengaja mendapati ada satu warung angkringan di pinggir trotoar jalan raya Tulungagung-Kediri, tepatnya di Desa Ngantru, Kecamatan Ngantru, Tulungagung. Setengah tidak percaya, sepeda motor/skuter metik yang sudah terlanjur melaju hingga jarak seratus meter dipaksa berhenti untuk kemudian berbalik arah dan memastikan warung kaki lima bertutupkan terpal biru itu benar-benar angkringan: warung khas Jawa Tengah sebagaimana biasa ditemukan di Kota Solo dan Yogyakarta. Rasa penasaran kian membuncah saat sepeda motor parkir persis di samping warung yang dikemas serba sederhana dengan memanfaatkan gerobak kayu jati tersebut. Benar saja, semua ciri khas angkringan sebagaimana biasa ditemukan di pinggir-pinggir jalan Kota Gudeg maupun Solo, ada sepenuhnya di warung kaki lima itu. Terpal plastik warna biru yang menjadi penutup/pelindung warung, gerobak kayu jati berikut tiga angkring (kursi kayu memanjang) yang mengelilingi, tiga ceret terbuat dari seng di atas tungku berbahan bakar arang, hingga pernak-pernik makanan yang ada di meja gerobak, semua ada di tempat tersebut. Kami benar-benar bisa memastikan bahwa warung sederhana yang ada di pinggir jalan besar tersebut merupakan angkringan asli dari Jawa Tengah setelah mencicipi menu makanan dan minuman yang disediakan, mulai dari nasi bungkus seukuran kepalan tangan orang dewasa (sego kucing), tempe mendoan, tahu bacem, hingga seduhan teh gula batu yang memiliki rasa dan aroma khas. Ahh...., rasanya sungguh menakjubkan. Sesuatu yang sangat sederhana atau bahkan terkesan sepele, tetapi bagi kami yang pernah cukup lama merasakan kehidupan di Jogja yang serba merakyat, bisa menemukan angkringan atau yang biasa disebut dengan istilah "kucingan" (warung sego kucing, karena nasi bungkus yang disediakan sepadan dengan porsi makanan hewan kucing) itu sungguh luar biasa. Apalagi, secara geografis jarak Kota Tulungagung dengan Solo maupun Yogyakarta cukup jauh. Di Kota Marmer ini, bisa dibilang tidak ada tradisi angkringan ala Solo-Jogja. Kalaupun ada tradisi "ngangkring", tentu saja konsep dan menu makanan-minuman yang disediakan memiliki karakter rasa berbeda, terutama suasananya. Di Tulungagung, tradisi minuman yang mengakar di masyarakat adalah kopi cethe sementara makanan bungkus khas kaki lima di daerah ini biasa disebut dengan istilah "sego bantingan", yakni nasi bungkus dengan porsi lebih besar/banyak. Tradisi itu berbeda dengan masyarakat Jawa Tengah, khususnya orang-orang Jawa Tengah yang lebih biasa minum teh ketimbang kopi. Meski mungkin tidak sehebat masyarakat Jepang yang memiliki tradisi minum teh selama beribu-ribu tahun, rasa dan aroma teh racikan teh orang Jawa Tengah sebagaimana tercermin dalam menu minuman di angkringan tetaplah istimewa: kental dengan rasa serta aroma yang tajam. Demikian pula dengan aneka jajanan seperti tempe mendoan, tahu bacem serta ceker ayam bakar yang disediakan. "Rasanya seperti di Jogja," cetus Farhan, salah seorang pembeli dari Blitar yang saat itu mampir "ngangkring" bersama temannya. Boleh percaya boleh tidak, apa yang dirasakan Farhan itu juga dirasakan para pembeli lain yang rata-rata memiliki nostalgia yang sama tentang Yogyakarta maupun daerah sekitarnya di Jawa Tengah. Animo Sejak pertama kali mangkal di salah satu sudut Kota Tulungagung sekitar lima bulan lalu, Sriwinoyoko (40), si penjaga angkringan mengaku animo masyarakat untuk datang ke warungnya cukup tinggi. Awal-awal buka dasaran di jalan raya Tulungagung-Kediri memang sempat sepi pembeli karena memang belum memiliki pelanggan. Apalagi, kemasan warung khas angkringan juga sangat sederhana, sehingga bagi mereka yang tidak memiliki nostalgia dengan kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah ini tentu juga tidak akan mudah tertarik. Namun, mitos yang menyebut angkringan Jogja tidak akan mudah bisa berkembang di Jawa Timur, perlahan terpatahkan setelah pengunjung warung kucingan ini terus meningkat dari hari ke hari. Sri, demikian pria asal Klaten, Jawa Tengah ini bahkan sekarang dibuat kewalahan dengan banyaknya pembeli yang datang silih-berganti. Tidak hanya mereka yang berasal dari berbagai daerah di Kabupaten Tulungagung, tetapi juga pembeli dari luar kota, seperti Blitar, Trenggalek, Kediri, atau bahkan Nganjuk dan Jombang. Banyaknya pembeli yang datang dari berbagai tempat itu tak lepas dari "gethok tular" (informasi dari mulud ke mulud) yang dilakukan para pembeli yang memiliki nostalgia dengan kehidupan Yogyakarta maupun sekitarnya di Jawa Tengah, kepada teman-teman atau saudaranya yang kurang lebih memiliki latar belakang sama. "Sekarang ini, omzet pendapatan kotor bisa mencapai Rp200 ribu lebih per hari. Berbeda dengan awal-awal dulu saat omzet seret dan tidak sampai Rp100 ribu per hari," tuturnya. Diceritakan Sriwinoyoko, dirinya bahkan sempat stres dan berpikir untuk pulang kampung akibat seretnya omzet jualan di bulan-bulan awal pembukaan angkringan. Diaa mengaku banyak makanan dan jajanan yang terpaksa dikembalikan ke pengusaha/pemodal, karena tak habis dijual dalam semalam. Padahal ia telah membuka warung sejak sore, mulai pukul 16.00 WIB hingga dini hari, sekitar pukul 03.00 WIB. Akibatnya, bagi hasil yang ia terima tidak sepadan dengan jerih payahnya "melekan" (berjaga) semalaman suntuk. "Alhamdulillah, sekarang semuanya sudah membaik. Selain bisa buat hidup sehari-hari, ada hasil (pendapatan) yang bisa saya kirim ke keluarga di Klaten," ujarnya bersyukur. Sriwinoyoko menyebut, prospek positif dalam usaha angkringan di Tulungagung yang saat ini dia geluti, tak lepas dari animo masyarakat pendatang yang berasal dari Yogyakarta dan Jawa Tengah serta komunitas mahasiswa/alumni asal Tulungagung dan sekitarnya yang pernah menimba ilmu di Yogyakarta maupun Solo-Semarang. Selain itu, peran awak sopir truk/trailer di jalur Tulungagung-Kediri yang memang menyukai warung pinggir jalan yang murah meriah tidak bisa dilepaskan dari sukses Sirwinoyoko dan kawan-kawan untuk bertahan di awal pembukaan warung kucingan yang kini dijaganya saban sore hingga dini hari tersebut. "Secara market, potensi atau pangsa pasar angkringan di Tulungagung pasti sangat tinggi karena memang banyak siswa/mahasiswa dari sini maupun sekitarnya, seperti Blitar dan Tulungagung, yang menimba ilmu di Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta. Mereka ini, dan para alumninya yang mungkin berjumlah ribuan, tentu akan selalu kangen dengan angkringan, karena ini salah satu yang khas dari sana," ujar Alvis, alumni Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini. Di Tulungagung sendiri saat ini sudah ada tiga warung angkringan yang masih bertahan, masing-masing berlokasi di jalan raya Tulungagung-Kediri di Desa Ngantru, Kecamatan Ngantru (200 meter utara pertigaan jembatan Ngujang), Pasar Bangoan di Desa Bangoan, Kecamatan Kedungwaru, serta di depan Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negri (STAIN) Tulungagung di jalan Mayor Sujadi Timur, Desa Plosokandang, Kecamatan Kedungwaru. Di antara tiga warung tersebut, angkringan yang ada di depan kampus STAIN atau jalan raya Tulungagung-Blitar merupakan yang terakhir berdiri, setelah angkringan yang sama di depan RSUD dr Iskak dan jalan raya Kecamatan Karangrejo terpaksa tutup karena sepi pembeli. Pertanyaan yang terkadang menggelitik di benak para mahasiswa maupun alumni kampus-kampus di Yogyakarta dan Solo setelah fenomena kemunculan warung angkringan ini adalah: apakah warung jalanan yang di tempat asalnya ini biasa menjadi tempat obrolan kelas "becakan" hingga diskusi berat terkait perkembangan ekonomi-sosial-politik-kebangsaan ini juga bisa menular di angkringan yang ada di Tulungagung? Wallohu'alam. Setidaknya, kehadiran warung angkringan biasa ditemukan di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta dan beroperasi mulai sore hari, dengan mengandalkan penerangan tradisional "senthir" ini bisa mengobati rasa kangen terhadap suasana Yogyakarta yang selalu terasa etnik dan merakyat.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012