Tersangka kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong, menjalani pemeriksaan selama sekitar 10 jam oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung).

Berdasarkan pantauan ANTARA di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat, Tom Lembong tiba di dalam gedung yang menjadi lokasi penyidikan pada pukul 09.58 WIB.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan bahwa kehadiran Tom tersebut untuk kembali menjalani pemeriksaan oleh penyidik.

Terkait substansi yang menjadi bahan pemeriksaan, Harli tidak membeberkannya.

“Itu penyidik yang paham,” kata dia.

Berselang sekitar 10 jam kemudian, tepatnya pada pukul 20.27 WIB, Tom terpantau keluar dari gedung tersebut dengan digiring oleh petugas dan mengenakan borgol di tangannya.

Ketika awak media menanyakan pertanyaan terkait hal-hal apa saja yang dilontarkan penyidik, ia hanya tersenyum dan berjalan menuju mobil tahanan.

Ketika di dalam mobil tahanan, Tom kembali dicecar pertanyaan oleh awak media terkait apakah ia akan mengajukan praperadilan atau tidak. Akan tetapi, ia hanya tersenyum dan tidak menjawab.

Adapun saat ini Tom Lembong sedang ditahan sementara di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan dua tersangka dalam kasus tersebut, yaitu Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan periode 2015-2016 dan CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

Dalam keterangannya, Kejagung menuturkan bahwa kasus ini bermula ketika Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015–2016 memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk diolah menjadi gula kristal putih.

Padahal, dalam rapat koordinasi (rakor) antarkementerian pada 12 Mei 2015 disimpulkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus gula, sehingga tidak memerlukan impor gula.

Kejagung menyebut, persetujuan impor yang dikeluarkan itu juga tidak melalui rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.

Pada 28 Desember 2015, dalam rakor bidang perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Kemenko Perekonomian, dibahas bahwa Indonesia pada tahun 2016 kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.

Pada November–Desember 2015, tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan bawahannya untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.

Pertemuan itu untuk membahas kerja sama impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih.

Pada Januari 2016, tersangka Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT PPI yang pada intinya menugaskan perusahaan tersebut untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih sebanyak 300.000 ton.

Selanjutnya, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan tersebut.

Kejagung mengatakan bahwa seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung dan yang hanya dapat melakukan impor adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT PPI.

Akan tetapi, dengan sepengetahuan dan persetujuan tersangka Tom Lembong, persetujuan impor gula kristal mentah itu ditandatangani.

Delapan perusahaan yang ditugaskan mengolah gula kristal mentah itu sejatinya juga hanya memiliki izin untuk memproduksi gula rafinasi.

Hasil gula kristal putih yang diproduksi delapan perusahaan tersebut kemudian seolah-olah dibeli oleh PT PPI.

Padahal, gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebesar Rp13.000 per kilogram dan tidak dilakukan melalui operasi pasar.

Dari praktik tersebut, PT PPI mendapatkan upah sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan yang terlibat.

Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp400 miliar, yakni nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik BUMN atau PT PPI.

Pewarta: Nadia Putri Rahmani

Editor : Vicki Febrianto


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024