Si Fulan yang memimpin suatu instansi merasa ketakutan ketika keuangan lembaganya diperiksa. Pemimpin itu sadar bahwa ia telah melakukan korupsi, meskipun skalanya di daerah kecil dan tentu tidak sebesar seperti kasus Nazarudin.
Tak berapa lama, terdengar kabar bahwa si Fulan itu umroh. "Untuk menebus dosa," begitu Fulan menjelasakan tujuannya pergi ke Tanah Suci itu.
Ah, tak perlu dijelaskan siapa dan dimana cerita ini bermuasal. Yang patut dicermati dari cerita ini adalah adanya pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama. Menurut hemat saya --yang sangat awam dalam pemahaman agama--, si Fulan itu dan mungkin juga dipahami oleh para koruptor lainnya, telah memisahkan agama dalam hubungan manusia dengan Tuhan di satu sisi dan hubungan manusia dengan sesama berada di sisi lain yang tidak bertautan.
Padahal, agama mengajarkan bahwa dalam kehidupan, antara "hablum minallah" dengan "hablum minannas" itu adalah hubungan yang harus sejalan seiring. Artinya, Allah SWT mengajar manusia untuk berhubungan dengan baik dengan Allah SWT, sekaligus paralel dengan hubungan yang baik pula dengan sesama manusia.
Korupsi adalah tindakan menyakiti hubungan manusia dengan manusia lainnya. Koruptor itu telah menyakiti rakyat yang merupakan pemilik sejati keuangan negara. Karena itu, untuk menebus dosa, sangat tidak tepat kalau kemudian melaksanakan umroh. Satu-satunya jalan adalah meminta maaf dan mengembalikan uang itu kepada rakyat.
Koruptor itu pertama-tama bersalah kepada manusia banyak dan kedua kepada Allah SWT karena ajaran-Nya tentang kejujuran telah dikhianati. Maka pertobatan pertama bagi koruptor adalah kepada rakyat. Bukankah permohonan ampunan manusia yang bersalah kepada manusia lainnya tidak akan diterima diterima oleh Allah sebelum manusia yang disalahi itu memaafkannya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa "Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi".
Saya tidak tahu apakah ayat ini juga dijadikan sandaran oleh mereka yang paham agama, kemudian bernyaman ria memakan uang rakyat. Hadits di atas, kalau ditelan secara dangkal akan bermakna, korupsi tidak apa-apa asalkan shalatnya baik, bahkan ditambah dengan shalat sunah lainnya.
Padahal ada ajaran lain dari agama yang menyebutkan bahwa shalat itu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Nah, bukankah menggunakan uang yang bukan haknya itu juga merupakan perbuatan keji dan mungkar? Maka, kalau seseorang itu melakukan shalat, tapi korupsinya jalan terus, berarti shalatnya tidak bisa mencegah ia untuk berbuat keji dan mungkin. Artinya, shalatnya barangkali belum baik. Wallahu a'lam.
Karena itu untuk memberantas korupsi yang marak di negeri tercinta ini, salah satunya adalah mendudukkan kembali makna ajaran agama kepada posisi yang lebih hakiki, bukan sekedar pengertian dangkal. Karena, bisa jadi, pemahaman dangkal itu juga dijadikan alat orang untuk menyalahkan agama dan mungkin menjadi alasan untuk tidak beragama, hanya karena orang-orang beragama juga korupsi. Itu sama dengan membakar gerbong kereta api untuk mencari maling yang masuk di dalamnya, apakah begitu ?!.
Guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Abdul Munir Mulkhan menyebut koruptor terkesan "ngakali Tuhan" dengan melakukan "kebaikan-kebaikan" setelah korupsi. Ia memberi contoh seseorang yang korupsi Rp10 juta kemudian bersedekah Rp100. Jika Rp100, ya seratus rupiah, disedekahkan secara "ikhlas" dan tepat sasaran, maka dosa korupsi tersebut bisa diputihkan dan terhapus dengan masih tersisa sejumlah pahala. Ini berangkat dari pahala sedekah yang bercabang-cabang. He hee...
Sekali lagi, "wallahu a'lam" karena pandangan ini berasal dari orang awam dalam agama. Semoga, kita semua terhindar perbuatan keji dan mungkar. Aamiin YRA... (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012