Bangsa Indonesia telah melewati satu tahapan penting dalam berdemokrasi lima tahunan, yakni Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 yang berlangsung aman dan damai.

Pilpres 2024 yang diselenggarakan bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif (pileg) memang sempat ramai dengan perdebatan di ruang digital, khususnya media sosial (medsos), namun semua berakhir dengan keadaan landai dan proses transisi pemerintahan tanpa ribut.

Kini, bangsa besar ini akan menghadapi proses demokrasi di tingkat regional dan lokal, yakni pemilihan umum kepala daerah (pilkada) untuk memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.

Sesuai jadwal yang disusun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada 22 September 2024 adalah penetapan pasangan calon. Kemudian, masa-masa paling krusial adalah kampanye, yang dijadwal pada 25 September 2024 hingga 23 November 2024. Pemungutan suara dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024.

Sebagai pesta, kita berharap pemilihan kepala daerah itu juga berlangsung dengan penuh bahagia dan menghasilkan pemimpin lokal yang berkualitas dan memiliki komitmen tinggi untuk menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan berupaya maksimal untuk menyejahterakan rakyatnya.

Diperlukan ikhtiar bersama untuk mewujudkan pilkada yang tidak menyisakan masalah setelahnya. Setelah pilkada, masyarakat tetap hidup dengan suasana guyub dengan tetangga, teman, dan saudara, meskipun berbeda pilihan atau dukungan kepada calon yang berlaga.

Secara formal, personel Polri dan TNI sebagai representasi hadirnya negara, menempati posisi utama dalam menjaga keamanan dan ketenteraman di masyarakat, khususnya selama proses dan setelah pelaksanaan pilkada.

Peran di luar Pemerintah dan penyelenggara pemilu itu, salah satunya adalah dari tokoh agama. Pemimpin pondok pesantren besar di Jawa Timur mengeluarkan maklumat untuk  alumninya agar berpartisipasi dalam mewujudkan pilkada yang aman dan damai.

Arahan dan petunjuk dari kiai yang sangat dihormati dan dipatuhi oleh para santri itu sangat efektif dalam upaya partisipatif untuk mewujudkan pilkada yang rukun dan berlangsung dengan sikap kebersamaan itu.

Di luar segmen santri, tentu kelompok masyarakat memiliki pemimpin informal yang juga dapat mengambil peran, dengan mengajak warganya menjaga suasana menjadi kondusif untuk pelaksanaan pilkada yang aman dan damai.

Selain segmen agama, pemimpin itu bisa dari tokoh masyarakat atau dalam level paling kecil adalah kepala keluarga. Kepala keluarga ini bisa sosok ayah, bisa juga sosok ibu.

Untuk mewujudkan suasana damai ini, tentu memerlukan kedewasaan berpikir dan sikap dari setiap pemimpin, karena setiap pribadi hampir pasti memiliki kecenderungan diri untuk mendukung calon tertentu dalam ajang pilkada.

Kecenderungan pribadi untuk mendukung calon tertentu ini, jika tidak dikelola dengan pikiran dan sikap dewasa, akan menjebak seseorang pada sikap sembrono dan rela bertengkar melalui berbagai saluran media untuk membela calon, sekaligus menyerang calon lain yang tidak didukungnya.

Dalam konteks ini, masing-masing pribadi dapat, bahkan, harus mengambil peran untuk ikut mewujudkan wajah Indonesia yang selalu rukun dan damai. Seorang ayah memiliki peran untuk mengajak keluarganya menyambut pilkada dengan sikap riang dan gembira.

Seorang ibu juga demikian, bahkan bisa mengajak para ibu di lingkungan tempat tinggalnya untuk memilih sikap dewasa dalam perbedaan pilihan dan dukungan pada calon.

Demikian juga seorang anak dapat mengambil peran untuk mengingatkan anggota keluarga yang lain agar menghadapi pilkada dengan "biasa-biasa saja", dengan tetap fokus untuk mengerjakan tugas tanggung jawabnya.

Seorang anak juga bisa mengingatkan teman-teman sebayanya agar tidak mudah tersulut untuk saling serang hanya karena perbedaan pilihan.

Percayalah, membela dengan cara membabi-buta dan menyerang calon yang tidak didukung tidak akan memberi kontribusi apa pun untuk mengantarkan calon yang kita dukung untuk menjadi pemenang pilkada.

Masyarakat kita sudah makin pintar dan dewasa menyikapi situasi politik elektoral. Justru dengan menyerang calon yang tidak kita dukung akan menjadi jalan bagi calon yang kita dukung itu untuk menjadi kalah.

Serangan kepada calon bukannya menambah simpati, melainkan justru mementalkan pilihan banyak orang untuk beralih kepada calon yang diserang.

Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 telah mengajarkan banyak hal bahwa calon pemimpin yang banyak diserang dengan gempuran kampanye negatif justru mendapatkan banyak energi positif.

Presiden Joko Widodo yang di berbagai media sosial, kala itu banyak diserang dengan berbagai isu negatif, terbukti banyak mendapat tambahan simpati dari warga.

Di luar motif untuk merebut posisi menjadi kampiun, memenangkan Indonesia agar tetap menjadi negara aman dan damai adalah motif mulia, sehingga kita semua mampu untuk menahan dari keinginan yang bertumpu pada hasrat, "yang penting calon yang saya dukung menang".

Secara spiritual, apa yang pernah diungkapkan oleh Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN, masih sangat relevan untuk kita jadikan pegangan.

Tokoh pers itu mengingatkan kita semua bahwa siapa pun yang terpilih menjadi pemimpin pasti ada "tangan" Tuhan yang mengatur mewujudkan semua itu.

Jangankan untuk menentukan presiden atau gubernur, bupati, dan wali kota, untuk menentukan ketua rukun tetangga (RT) saja, pasti ada kekuasaan Tuhan yang bergerak di ranah itu.

Karena itu, mendukung calon tertentu dengan sewajarnya saja adalah cara terbaik untuk berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah tahun ini.

Menjunjung tinggi rasa persaudaraan sejati sesama anak Bangsa Indonesia di atas segalanya adalah cara paling baik dan paling indah dalam menyikapi pilkada.

Partisipasi paling elegan adalah mencoblos calon dengan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) saat pemungutan suara pada hari Rabu, 27 November 2024.


Editor: Achmad Zaenal M

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Vicki Febrianto


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024