Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur meminta pemerintah meninjau ulang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ketua Umum Kadin Jatim Adik D. Putranto menyatakan langkah meninjau ulang harus dilakukan lantaran PP 28/2024 beserta produk turunannya berpotensi memunculkan rokok-rokok ilegal serta gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.
“Ini sangat merugikan industri tembakau termasuk para pedagang ritel dan pengusaha industri kreatif bahkan petani akan terkena dampak besar jika nantinya betul-betul diterapkan,” katanya di Surabaya, Jawa Timur, Jumat.
Adik menuturkan dalam PP 28/2024 tentang Kesehatan terdapat beberapa pasal yang berdampak langsung pada industri hasil tembakau (IHT) padahal mereka berkontribusi terhadap 10 persen penerimaan negara serta menjadi sumber penghidupan jutaan masyarakat.
Di antara pasal yang mendapat perhatian dan ditolak adalah pasal 435 mengenai standarisasi kemasan yang kemudian diperjelas kembali dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan pasal 4 ayat 2a, 5 hingga 7.
Baca juga: Dewan Pertimbangan ingatkan Kadin Jatim perpajakan tantangan pengusaha
Aturan itu mengarahkan pada implementasi kemasan polos yang artinya dalam waktu dekat seluruh produk IHT baik rokok konvensional maupun elektrik tidak diperbolehkan memiliki desain ataupun merek di kemasan.
Melalui kebijakan itu, pemerintah meminta agar rancangan desain box rokok nantinya polos dengan gambar peringatan bahaya rokok akan ditambah 50 persen dengan warna box harus sama sedangkan logo perusahaan IHT kecil dengan font tulisannya disamakan semua.
Padahal Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak merafitifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dengan kemasan polos menjadi salah satu mandat pengendalian didasari pada prinsip kesehatan.
“Ciri khas masing-masing IHT tidak kelihatan lagi meski tetap ada logo kecil atau bahkan tidak ada. Kalau polos rokok ilegal justru lebih gampang masuk dan gampang dibuat,” katanya.
Ia menjelaskan ketika daya saing produk tembakau resmi dilemahkan dengan berbagai aturan restriktif maka pelaku usaha tembakau ilegal akan menggunakan kesempatan ini untuk menjual produk yang tidak patuh aturan ini dengan lebih luas.
Bahkan bukan tidak mungkin, konsumen akan beralih kepada produk ilegal tersebut karena kemasannya yang lebih menarik serta harga yang lebih murah.
Baca juga: ANTARA dan Kadin Jatim kolaborasi pengembangan SDM hingga TI
Sebagai contoh, Australia sebagai negara pertama yang menerapkan kemasan polos atau plain packaging dan memiliki peredaran barang kena cukai (BKC) ilegal per 2023 mendekati 30 persen karena pengaturan itu.
Aturan lain dalam PP 28/2024 yang juga menjadi perhatian Kadin adalah pasal 431 tentang pembatasan tar dan nikotin pada rokok konvensional yang dinilai akan menghilangkan karakter produk tembakau khas Indonesia yaitu kretek.
Menurut Adik, peraturan tersebut akan berpengaruh terhadap serapan tembakau lokal yang menjadi sumber mata pencaharian jutaan petani di Indonesia.
Pemerintah juga memberlakukan pelarangan penjualan dalam radius 200 meter dan iklan dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan yang dinilai sangat diskriminatif bagi pelaku usaha dan pedagang kecil.
Pada akhirnya beragam peraturan tersebut akan memberikan efek domino terhadap pendapatan daerah sekaligus mengancam keberadaan industri kreatif yang selama ini banyak ditopang oleh iklan produk tembakau.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Ketua Umum Kadin Jatim Adik D. Putranto menyatakan langkah meninjau ulang harus dilakukan lantaran PP 28/2024 beserta produk turunannya berpotensi memunculkan rokok-rokok ilegal serta gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.
“Ini sangat merugikan industri tembakau termasuk para pedagang ritel dan pengusaha industri kreatif bahkan petani akan terkena dampak besar jika nantinya betul-betul diterapkan,” katanya di Surabaya, Jawa Timur, Jumat.
Adik menuturkan dalam PP 28/2024 tentang Kesehatan terdapat beberapa pasal yang berdampak langsung pada industri hasil tembakau (IHT) padahal mereka berkontribusi terhadap 10 persen penerimaan negara serta menjadi sumber penghidupan jutaan masyarakat.
Di antara pasal yang mendapat perhatian dan ditolak adalah pasal 435 mengenai standarisasi kemasan yang kemudian diperjelas kembali dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan pasal 4 ayat 2a, 5 hingga 7.
Baca juga: Dewan Pertimbangan ingatkan Kadin Jatim perpajakan tantangan pengusaha
Aturan itu mengarahkan pada implementasi kemasan polos yang artinya dalam waktu dekat seluruh produk IHT baik rokok konvensional maupun elektrik tidak diperbolehkan memiliki desain ataupun merek di kemasan.
Melalui kebijakan itu, pemerintah meminta agar rancangan desain box rokok nantinya polos dengan gambar peringatan bahaya rokok akan ditambah 50 persen dengan warna box harus sama sedangkan logo perusahaan IHT kecil dengan font tulisannya disamakan semua.
Padahal Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak merafitifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dengan kemasan polos menjadi salah satu mandat pengendalian didasari pada prinsip kesehatan.
“Ciri khas masing-masing IHT tidak kelihatan lagi meski tetap ada logo kecil atau bahkan tidak ada. Kalau polos rokok ilegal justru lebih gampang masuk dan gampang dibuat,” katanya.
Ia menjelaskan ketika daya saing produk tembakau resmi dilemahkan dengan berbagai aturan restriktif maka pelaku usaha tembakau ilegal akan menggunakan kesempatan ini untuk menjual produk yang tidak patuh aturan ini dengan lebih luas.
Bahkan bukan tidak mungkin, konsumen akan beralih kepada produk ilegal tersebut karena kemasannya yang lebih menarik serta harga yang lebih murah.
Baca juga: ANTARA dan Kadin Jatim kolaborasi pengembangan SDM hingga TI
Sebagai contoh, Australia sebagai negara pertama yang menerapkan kemasan polos atau plain packaging dan memiliki peredaran barang kena cukai (BKC) ilegal per 2023 mendekati 30 persen karena pengaturan itu.
Aturan lain dalam PP 28/2024 yang juga menjadi perhatian Kadin adalah pasal 431 tentang pembatasan tar dan nikotin pada rokok konvensional yang dinilai akan menghilangkan karakter produk tembakau khas Indonesia yaitu kretek.
Menurut Adik, peraturan tersebut akan berpengaruh terhadap serapan tembakau lokal yang menjadi sumber mata pencaharian jutaan petani di Indonesia.
Pemerintah juga memberlakukan pelarangan penjualan dalam radius 200 meter dan iklan dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan yang dinilai sangat diskriminatif bagi pelaku usaha dan pedagang kecil.
Pada akhirnya beragam peraturan tersebut akan memberikan efek domino terhadap pendapatan daerah sekaligus mengancam keberadaan industri kreatif yang selama ini banyak ditopang oleh iklan produk tembakau.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024