Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, kini menjadi perbincangan dan diskusi hangat di berbagai kanal media sosial.
Poster ajakan menolak penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar itu berseliweran di berbagai kanal media sosial, yang mengesankan bahwa informasi itu akurat, dan semua pihak harus satu gerakan, menolak peraturan tersebut.
Pemicunya terletak pada persepsi bahwa lewat peraturan itu pemerintah akan menyediakan alat kontrasepsi kepada kaum remaja dan anak sekolah. Karena persepsi itulah, maka sudah selayaknya jika kita mencari informasi dari sumber aslinya yang lebih akurat, yakni isi dari peraturan pemerintah tersebut.
Mencermati diskusi di media sosial, termasuk komentar sejumlah kalangan yang disiarkan oleh media arus utama, tampaknya semua akan bermuara pada debat tidak berkesudahan. Padahal, kalau kita mencermati isi dari PP tersebut, sangat jelas bahwa tidak ada sama sekali bunyi pasal atau ayat, serta poin mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja, lebih-lebih kepada para pelajar. Apalagi sampai terkesan, seolah-olah benda pencegah kehamilan itu nantinya disediakan di atau oleh sekolah sebagai pengejawantahan dari perintah peraturan tersebut.
Dari kasus perdebatan ini, budaya literasi yang kuat memang perlu terus digelorakan, sehingga kita tidak dengan mudah selalu terjebak dalam debat yang sejenis yang justru membingungkan, bahkan meresahkan masyarakat, karena masyarakat tidak betul-betul paham substansi dari persoalan yang dibahas.
Padahal, di era internet saat ni, kita dengan sangat mudah mengakses tentang semua tema atau persoalan yang sedang diperbincangkan. Jika tema yang diperbincangkan itu terkait regulasi, kita tinggal mengetik kata kunci dengan nomor dan tahun dari peraturan atau undang-undang tersebut, maka mesin pencari akan menyediakan banyak pilihan untuk kita buka dan baca, lalu kita cermati.
Alangkah baik dan elegannya jika budaya membaca dan mencermati satu isu ini terus menjadi kebiasaan, sehingga jika mendiskusikan satu tema tertentu lebih jelas ujung pangkal dan argumentasinya.
Kalau kebiasaan reaktif terhadap satu informasi yang hanya berupa penggalangan fakta yang tafsirnya sudah mengarah ke tujuan tertentu dengan kecenderungan menimbulkan kontroversi, maka diskusi-diskusi yang muncul akan bermuara pada debat yang tidak sehat dan tidak mencerahkan. Bahkan, keresahan di masyarakat semakin menggelinding, seperti bola salju.
Dalam diskusi ini, tampaknya masyarakat kita hanya menerima informasi mengenai mengenai Pasal 103, Ayat 4, poin e dari PP 24/2024, terkait frasa "penyediaan alat kontrasepsi".
Karena poin "penyediaan alat kontrasepsi" itu ada dalam satu pasal, yakni 103, yang dibuka dengan ayat 1, mengenai upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja, maka terkesan alat kontrasepsi itu disediakan untuk anak usia sekolah atau remaja.
Padahal, penjelasan gamblang dari poin itu sangat jelas ada di Pasal 104, ayat 3, poin e bahwa penyediaan alat kontrasepsi itu diberikan bagi pasangan usia subur dan kelompok yang berisiko dan tidak ada sama sekali substansi bahwa hal itu disediakan untuk siswa, apalagi di sekolah.
Kata kunci dari penjelasan di poin e, ayat 3, Pasal 104 itu adalah "pasangan". Kata itu mewakili pengertian sebagai suami istri, dengan penekanan bagi kelompok yang berisiko. Artinya, penyediaan alat kontrasepsi itu disiapkan bagi pasangan (suami istri) yang jika hamil memiliki risiko.
Disebutkan juga bahwa tujuan dari penyediaan alat kontrasepsi itu adalah membantu pasangan usia subur dalam mengambil keputusan tentang usia ideal untuk hamil, jumlah ideal anak, dan jarak ideal kelahiran anak, serta kondisi kesehatannya.
Di pasal 103 , ayat 1 disebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja itu, paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.
Di ayat 2 lebih jelas lagi penekanan pada masalah penjagaan moralitas, yakni pemberian komunikasi informasi dan edukasi itu, di poin e disebutkan mengenai (usia sekolah dan remaja) melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual.
Penyebaran informasi berdasarkan pemahaman yang lengkap mengenai satu isu, termasuk peraturan pemerintah yang sedang hangat dibicarakan, sangat penting untuk meredakan keresahan banyak pihak mengenai nasib generasi muda di masa depan. Jika tidak dibiasakan untuk mengedepankan budaya literasi, maka kita akan kehilangan banyak waktu dan energi untuk memperdebatkan sesuatu yang tidak semestinya didebatkan.
Kita, saat ini sedang bersama-bersama menyiapkan kaum yang siap menjadi generasi emas di 2045. Para orang tua yang bertugas menyiapkan generasi mendatang itu semestinya sudah selesai dengan masalah jiwanya sendiri, yakni kaum tua yang damai dan bahagia. Keadaan jiwa para sepuh ini tentu menjadi fondasi dan modal bagi generasi muda untuk menyongsong masa dengan keadaan damai dan penuh rasa cinta, kasih, dan sayang.
Mewariskan budaya saling beradu opini yang tidak dilandasi cinta dan kasih sayang adalah sama dengan menumpuk berkarung-karung beban di pundak generasi mendatang. Jika demikian, maka realitas yang tercipta adalah generasi yang mudah berkonflik, suka berprasangka tidak baik satu dengan lainnya. Semua karakter itu jauh dari harapan ideal kita tentang generasi masa depan.
Generasi emas itu justru membutuhkan "bekal" jiwa damai dan bahagia dari orang tua dan lingkungan sosialnya untuk menghadapi kehidupan serba canggih dan penuh dengan kompleksitas persoalan. Kita membutuhkan generasi yang saling menyayangi, dan itu harus dimulai dari tua sekarang.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Poster ajakan menolak penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar itu berseliweran di berbagai kanal media sosial, yang mengesankan bahwa informasi itu akurat, dan semua pihak harus satu gerakan, menolak peraturan tersebut.
Pemicunya terletak pada persepsi bahwa lewat peraturan itu pemerintah akan menyediakan alat kontrasepsi kepada kaum remaja dan anak sekolah. Karena persepsi itulah, maka sudah selayaknya jika kita mencari informasi dari sumber aslinya yang lebih akurat, yakni isi dari peraturan pemerintah tersebut.
Mencermati diskusi di media sosial, termasuk komentar sejumlah kalangan yang disiarkan oleh media arus utama, tampaknya semua akan bermuara pada debat tidak berkesudahan. Padahal, kalau kita mencermati isi dari PP tersebut, sangat jelas bahwa tidak ada sama sekali bunyi pasal atau ayat, serta poin mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja, lebih-lebih kepada para pelajar. Apalagi sampai terkesan, seolah-olah benda pencegah kehamilan itu nantinya disediakan di atau oleh sekolah sebagai pengejawantahan dari perintah peraturan tersebut.
Dari kasus perdebatan ini, budaya literasi yang kuat memang perlu terus digelorakan, sehingga kita tidak dengan mudah selalu terjebak dalam debat yang sejenis yang justru membingungkan, bahkan meresahkan masyarakat, karena masyarakat tidak betul-betul paham substansi dari persoalan yang dibahas.
Padahal, di era internet saat ni, kita dengan sangat mudah mengakses tentang semua tema atau persoalan yang sedang diperbincangkan. Jika tema yang diperbincangkan itu terkait regulasi, kita tinggal mengetik kata kunci dengan nomor dan tahun dari peraturan atau undang-undang tersebut, maka mesin pencari akan menyediakan banyak pilihan untuk kita buka dan baca, lalu kita cermati.
Alangkah baik dan elegannya jika budaya membaca dan mencermati satu isu ini terus menjadi kebiasaan, sehingga jika mendiskusikan satu tema tertentu lebih jelas ujung pangkal dan argumentasinya.
Kalau kebiasaan reaktif terhadap satu informasi yang hanya berupa penggalangan fakta yang tafsirnya sudah mengarah ke tujuan tertentu dengan kecenderungan menimbulkan kontroversi, maka diskusi-diskusi yang muncul akan bermuara pada debat yang tidak sehat dan tidak mencerahkan. Bahkan, keresahan di masyarakat semakin menggelinding, seperti bola salju.
Dalam diskusi ini, tampaknya masyarakat kita hanya menerima informasi mengenai mengenai Pasal 103, Ayat 4, poin e dari PP 24/2024, terkait frasa "penyediaan alat kontrasepsi".
Karena poin "penyediaan alat kontrasepsi" itu ada dalam satu pasal, yakni 103, yang dibuka dengan ayat 1, mengenai upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja, maka terkesan alat kontrasepsi itu disediakan untuk anak usia sekolah atau remaja.
Padahal, penjelasan gamblang dari poin itu sangat jelas ada di Pasal 104, ayat 3, poin e bahwa penyediaan alat kontrasepsi itu diberikan bagi pasangan usia subur dan kelompok yang berisiko dan tidak ada sama sekali substansi bahwa hal itu disediakan untuk siswa, apalagi di sekolah.
Kata kunci dari penjelasan di poin e, ayat 3, Pasal 104 itu adalah "pasangan". Kata itu mewakili pengertian sebagai suami istri, dengan penekanan bagi kelompok yang berisiko. Artinya, penyediaan alat kontrasepsi itu disiapkan bagi pasangan (suami istri) yang jika hamil memiliki risiko.
Disebutkan juga bahwa tujuan dari penyediaan alat kontrasepsi itu adalah membantu pasangan usia subur dalam mengambil keputusan tentang usia ideal untuk hamil, jumlah ideal anak, dan jarak ideal kelahiran anak, serta kondisi kesehatannya.
Di pasal 103 , ayat 1 disebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja itu, paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.
Di ayat 2 lebih jelas lagi penekanan pada masalah penjagaan moralitas, yakni pemberian komunikasi informasi dan edukasi itu, di poin e disebutkan mengenai (usia sekolah dan remaja) melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual.
Penyebaran informasi berdasarkan pemahaman yang lengkap mengenai satu isu, termasuk peraturan pemerintah yang sedang hangat dibicarakan, sangat penting untuk meredakan keresahan banyak pihak mengenai nasib generasi muda di masa depan. Jika tidak dibiasakan untuk mengedepankan budaya literasi, maka kita akan kehilangan banyak waktu dan energi untuk memperdebatkan sesuatu yang tidak semestinya didebatkan.
Kita, saat ini sedang bersama-bersama menyiapkan kaum yang siap menjadi generasi emas di 2045. Para orang tua yang bertugas menyiapkan generasi mendatang itu semestinya sudah selesai dengan masalah jiwanya sendiri, yakni kaum tua yang damai dan bahagia. Keadaan jiwa para sepuh ini tentu menjadi fondasi dan modal bagi generasi muda untuk menyongsong masa dengan keadaan damai dan penuh rasa cinta, kasih, dan sayang.
Mewariskan budaya saling beradu opini yang tidak dilandasi cinta dan kasih sayang adalah sama dengan menumpuk berkarung-karung beban di pundak generasi mendatang. Jika demikian, maka realitas yang tercipta adalah generasi yang mudah berkonflik, suka berprasangka tidak baik satu dengan lainnya. Semua karakter itu jauh dari harapan ideal kita tentang generasi masa depan.
Generasi emas itu justru membutuhkan "bekal" jiwa damai dan bahagia dari orang tua dan lingkungan sosialnya untuk menghadapi kehidupan serba canggih dan penuh dengan kompleksitas persoalan. Kita membutuhkan generasi yang saling menyayangi, dan itu harus dimulai dari tua sekarang.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024