Bojonegoro - Berbagai macam jenis hama menyerang salak produksi Desa Tanjungharjo, Wedi, dan Kalianyar, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, Jatim, pada musim panen salak tahun ini, yang mengakibatkan penurunan produksi sekitar 30 persen. Informasi yang dihimpun di lapangan menyebutkan, jenis hama yang menyerang salak warga di Bojonegoro tersebut diantaranya ulat, bajing dan tikus. "Itu bajingnya yang biasa makan buah salak saya di kebun, " kata seorang petani salak di Desa Tanjungharjo, Kecamatan Kapas, Ny. Rukayah, sambil menunjuk seekor banjing di dekat rumahnya, yang meloncat ke atas pohon asam, Rabu. Menurut dia, selama panen bajing yang menyerang salak petani, jumlahnya cukup banyak. Selain bajing, yang menyerang tanaman salak di kebunnya, juga kebun salak para petani salak di tiga desa itu yaitu, hama ulat dan tikus. Khusus ulat yang menyerang tanaman salak petani, besarnya sebesar jari orang dewasa yang langsung memakan buah salak. Akibat dimakan ulat yang warnanya juga mirip warna buah salak, hitam kecoklat-coklatan, menjadi membusuk. "Salak yang diserang hama ulat, membusuk. Satu "janjang" (serumpun) salak ini, juga diserang ulat, tapi ulatnya sudah saya buang, " katanya, menjelaskan. Seorang petani lainnya juga di Desa Tanjungharjo, Kecamatan Kapas, Ahmadi (58) menjelaskan, panen salak di tiga desa tersebut, sudah berlangsung sejak Oktober lalu dan diperkirakan akhir Januari ini rampung. Diperkirakan, akibat adanya serangan hama itu, produksi salak petani mengalami penurunan sekitar 30 persen. Ia menjelaskan, selain menghadapi serangan hama, produksi salak di daerah setempat harganya turun, dibandingkan panen salak tahun lalu. Turunnya harga salak, karena pada musim panen tahun ini, harus bersaing dengan buah lainnya, seperti rambutan yang masuk pasaran di Bojonegoro dan sekitarnya. Rukayah mencontohkan, harga salak kualitas biasa yang pada musim panen tahun lalu Rp30.000/100 buah, turun menjadi Rp20.000/100 buah. Sementara itu, harga salak kualitas bagus yang biasanya mencapai Rp70.000/100 buah, turun menjadi hanya Rp50.000/100 buah. "Kalau musim kemarau, biasanya panen Juni, " ucap Ahmadi. Menjawab pertanyaan, Ahmadi mengaku, tidak tahu pasti, berapa jumlah para petani di tiga desa yang masih menekuni menanam komoditas salak. Namun, dari tahun ke tahun, jumlah petani dan pedagang salak di tiga desa yang menjadi sentra salak di Bojonegoro, semakin menurun. "Banyak petani yang menebang tanaman salaknya dan mengganti dengan pohon pisang, dengan alasan menanam salak tidak menguntungkan lagi, " ungkap Ahmadi. Ia menambahkan, produksi salak di Bojonegoro itu, pemasaran tidak hanya lokal, juga merambah Surabaya, Cepu, jateng, bahkan hingga Jakarta. Salak produksi Bojonegoro, memiliki rasa yang khas yaitu manis, kecut, dan segar, selain ada rasa "masir". "Sudah ada uji coba memproses salak disini menjadi keripik, hanya saja harganya masih terlalu mahal, " katanya, menambahkan. (*).

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011