Hasil "check up" kesehatan pada 2013 membawa Soleh Deni Mustofa pada penyikapan hidup yang apatis. Tidak ada lagi harapan hidup normal dan sehat, seperti sebelumnya.
Hasil "check up" itu menunjukkan bahwa kreatinin darahnya sangat tinggi. Oleh dokter yang menangani, ia disarankan untuk melakukan USG ginjal. Hasilnya, seperti palu godam yang menghantam. Ternyata, ginjalnya sudah mengkerut dan tidak lagi berfungsi.
Menurut dokter, dengan kondisi gagal ginjal kronis (GGK) seperti itu, tidak ada harapan untuk sembuh, kecuali dengan cangkok ginjal. Kalau tidak cangkok, hal yang bisa dilakukan adalah cuci darah seumur hidup, dengan interval 2 x dalam sepekan.
"Inilah penderitaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ini bukan hanya soal kesehatan tubuh, tapi juga kesehatan finansial, karena saya tidak lagi bisa bekerja," kata Soleh Deni Mustofa, yang akrab dipanggil Deni, ketika menceritakan perjalanan hidupnya.
Sebelumnya, Deni bekerja di kapal pesiar di luar negeri, dengan pendapatan bulanan yang tentu sangat besar dibandingkan dengan pendapatan bekerja di dalam negeri.
Saat itu, ia bersepakat dengan istrinya, Shinta, hanya Deni yang mencari nafkah. Istrinya di rumah untuk mengurus keluarga.
Dengan kondisi seperti itu, maka Deni dan istri hanya hidup dari hasil tabungan selama bekerja di kapal pesiar. Apalagi ditambah dengan beban harus cuci darah secara rutin sepekan 2 kali.
Pria kelahiran Tabanan, Bali, Agustus 1973 itu kemudian bercerita tentang masa lalunya yang hidup dari keluarga sederhana, dengan pekerjaan ayahnya sebagai pegawai negeri sipil guru sekolah dasar. Untuk membantu menopang kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak, ibunda Deni berdagang ayam potong di pasar.
Setelah lulus SMA, Deni memilih melanjutkan pendidikan tinggi di sekolah pariwisata, yakni Diploma 3 Tours & Travel.
Setelah lulus kuliah, pada 1999 ia diterima bekerja di kapal pesiar di luar negeri. Profesi itu dijalaninya selama 14 tahun, sampai akhirnya divonis gagal ginjal kronis dan tak lagi bisa bekerja di perusahaan impiannya itu.
Terkait penyakitnya itu, ia berintrospeksi bahwa kebiasaan minum minuman bersoda telah merusak sel-sel ginjalnya.
Dari pemahaman ilmu kesehatan yang dibacanya, Deni mengistilahkan bahwa gagal ginjal merupakan induk dari penyakit-penyakit lainnya, yakni asam urat, darah tinggi, HB darah sangat rendah, gatal-gatal karena alergi makanan, jantung berdebar, dan tubuh sering merasa lemas tak bertenaga. Kondisi itu, jika semakin parah bisa melahirkan penyakit bawaan baru, yakni stroke.
Beruntung pada 2022, ia bertemu dengan Ari Destari, pembelajar Ilmu Kesadaran, yang menyarankan Deni juga ikut belajar, sehingga kondisi kesehatan tubuhnya diharapkan bisa pulih.
Dari istilah yang dia dengar dari Ari, Deni sudah merasa tidak nyambung. Kesan dia, Ilmu Kesadaran adalah ranah jiwa atau ruhani, sedangkan dia mengalami sakit fisik.
Meskipun demikian, dengan terpaksa ia ikut pelajaran Ilmu Kesadaran lewat kelas zoom. Dari beberapa kali ikut kelas via zoom itu, ia mulai sadar bahwa dirinya sudah mengalami krisis, terkait kondisi tubuhnya.
Dalam Ilmu Kesadaran, Deni diingatkan bahwa kita yang sesungguhnya bukanlah tubuh, tetapi diri yang spirit (ruh). Deni tersadarkan bahwa selama ini ia salah paradigma dalam memandang diri, yakni sebagai yang tubuh.
Dengan paradigma diri sebagai tubuh, maka wajar kalau menyikapi sakit gagal ginjal kronis, tidak ada lagi harapan untuk sembuh, kecuali hanya menunggu waktu kematian.
"Apalagi, saat cuci darah saya beberapa kali melihat teman sesama pasien gagal ginjal yang meregang nyawa, yang sebelumnya mengalami sesak napas dan tersengal. Pikiran saya semakin gundah, dengan bayangan saya juga akan mengalami kenyataan serupa mereka," katanya.
Seiring waktu terus intensifnya dia belajar, Deni kemudian mendapat pemahaman bahwa Ilmu Kesadaran adalah ilmu tentang spiritual sains yang objek formal dan objek materialnya jelas.
Objek material dari Ilmu Kesadaran adalah diri yang spirit atau ruh (dalam Ilmu Kesadaran dikenal dengan istilah Aku). Sementara objek formalnya adalah perspektif yang digunakan untuk memahami objek material atau Aku.
Dalam pelajaran ini, bagaimana diri selalu disandarkan pada Aku atau spirit, dan bukan sebaliknya, ke diri yang tubuh (pikiran dan perasaan).
Aku atau spirit adalah bagian dari ruhnya Allah, sehingga keberadaannya juga membawa cahaya-NYA yang memandu keberadaan diri yang tubuh. Dengan kualitas pendasaran diri yang semakin kuat pada Aku, tubuh yang di dalamnya ada pikiran dan perasaan akan mampu mengauto-regulasi, sehingga seseorang bisa terbebas dari sakit.
Deni terus belajar, yang pada akhirnya mampu membawa dia pada keadaan jiwa yang damai dan tenteram, termasuk kondisi tubuhnya yang semakin membaik.
Kalau dulu, ia sangat bergantung pada obat-obatan yang harus diminum 3 x sehari, kini semua itu telah ia tinggalkan.
Beberapa kali melakukan cek kesehatan, tensi darahnya sudah normal, HB juga normal, dan tubuhnya tidak lagi mengalami lemas atau gatal setelah makan makanan tertentu karena alergi.
Hanya satu yang belum tertuntaskan dari tubuh Deni, yakni cuci darah. Meskipun demikian, ia yakin pada waktunya, semua akan kembali normal.
"Kalau saya sudah tidak menghasrati untuk stop cuci darah. Bagi saya, semua itu, sekarang adalah kehendak-NYA dan kehadiran-NYA. Sekarang justru orang lain yang banyak terjebak hasrat agar saya tidak lagi cuci darah, padahal saya santai saja menghadapi kenyataan ini," kata Deni, tersenyum.
Menurut lelaki yang kini tinggal di Kabupaten Situbondo itu, setiap orang sebetulnya memiliki krisis hidup yang berbeda. Jika saja setiap orang menyadari krisis yang dihadapi, maka akan banyak orang yang mengenali diri yang kemudian mulai mengubah pendasaran dirinya yang selama ini tidak pada jalurnya.
Dari pengalamannya selama 9 tahun menjalani hidup dengan pola dan paradigma normalisasi, yakni hanya menyandarkan diri pada obat serta semangat hidupnya hanya menunggu datangnya kematian, kini ia memiliki optimisme baru dengan penyandaran diri yang kokoh pada Aku.
Inti dari pembelajaran Ilmu Kesadaran ada 2 hal, yakni "diri" sebagai "orang", dan "diri" sebagai "Aku". Sebelum memahami Ilmu Kesadaran, seseorang biasanya terlena dalam kesadaran diri sebagai "orang" atau tubuh. Jika ada masalah, seseorang biasanya akan larut dalam pikiran dan perasaannya yang berat.
Dengan paradigma pendasaran diri pada "orang", maka kehidupan menjadi selalu rumit, penuh ketidakpastian, bahkan bergelimang dalam prahara, baik relasi kehidupan maupun masalah finansial.
Lewat ilmu ini, seseorang diingatkan untuk mendasarkan diri pada "Aku" atau diri yang ruh, yang merupakan bagian dari ruh Tuhan yang ditiupkan kepada manusia.
Dengan terus menerus mendasarkan diri pada Aku, maka hidup yang awalnya penuh huru hara, lambat laun mulai teregulasi ulang menjadi lebih damai dan bahagia. Lambat laun pula, tubuh dan keadaan finansial yang tidak sehat menjadi membaik.
Demikian pula yang dialami Deni dengan masalah tubuhnya. Dengan terus melatih jiwanya tidak terjebak pada pendasaran diri sebagai orang, jiwanya terus tenang yang kemudian berdampak pada kondisi fisiknya juga semakin sehat. Demikian juga dengan kondisi finansialnya yang terus semakin bertumbuh dan sehat lewat jalan berbisnis.
Karena kondisi fisiknya yang mengalami penurunan fungsi yang cukup lama, Deni juga menerapkan terapi "tapping" atau metode "Emotional Freedom Technique" (EFT), dengan tetap menjaga kemawasan diri untuk selalu bersandar pada Aku.
Kini, fisik Deni semakin sehat, tidak lagi mengalami rasa lemas, darah tinggi, jantung berdebar, dan lainnya. Bahkan, ia dengan istri, kini sering bepergian jauh dengan menyetir mobil sendiri tanpa dihantui oleh bayangan kelelahan dan dropnya fisik.
Kalau 9 atau 10 tahun lalu, Deni menganggap bahwa penyakit yang menerpa ginjalnya itu seperti sebuah kutukan, kini ia merasakan bahwa semuanya adalah wujud kasih sayang Tuhan kepadanya dan keluarga. Lewat sakit ia bisa mengenali diri, kemudian mengenali Tuhan di setiap saat, kejadian, dan fakta hidup yang dialami dalam situasi apapun.
"Terima kasih ya Allah," demikian kalimat yang hampir tak pernah putus dari jiwa dan bibirnya, dengan lirih.
Dengan pengalaman ini, Deni merasa perlu untuk menularkan Ilmu Kesadaran ini kepada banyak orang. Ia kini membuka kelas daring, yang menyediakan waktu dan tenaga untuk masyarakat yang ingin belajar mengenai pendasaran diri, termasuk teknik "tapping". Selain itu, ia juga melayani anggota komunitas pembelajar kesadaran untuk belajar bersama secara tatap muka di rumahnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Hasil "check up" itu menunjukkan bahwa kreatinin darahnya sangat tinggi. Oleh dokter yang menangani, ia disarankan untuk melakukan USG ginjal. Hasilnya, seperti palu godam yang menghantam. Ternyata, ginjalnya sudah mengkerut dan tidak lagi berfungsi.
Menurut dokter, dengan kondisi gagal ginjal kronis (GGK) seperti itu, tidak ada harapan untuk sembuh, kecuali dengan cangkok ginjal. Kalau tidak cangkok, hal yang bisa dilakukan adalah cuci darah seumur hidup, dengan interval 2 x dalam sepekan.
"Inilah penderitaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ini bukan hanya soal kesehatan tubuh, tapi juga kesehatan finansial, karena saya tidak lagi bisa bekerja," kata Soleh Deni Mustofa, yang akrab dipanggil Deni, ketika menceritakan perjalanan hidupnya.
Sebelumnya, Deni bekerja di kapal pesiar di luar negeri, dengan pendapatan bulanan yang tentu sangat besar dibandingkan dengan pendapatan bekerja di dalam negeri.
Saat itu, ia bersepakat dengan istrinya, Shinta, hanya Deni yang mencari nafkah. Istrinya di rumah untuk mengurus keluarga.
Dengan kondisi seperti itu, maka Deni dan istri hanya hidup dari hasil tabungan selama bekerja di kapal pesiar. Apalagi ditambah dengan beban harus cuci darah secara rutin sepekan 2 kali.
Pria kelahiran Tabanan, Bali, Agustus 1973 itu kemudian bercerita tentang masa lalunya yang hidup dari keluarga sederhana, dengan pekerjaan ayahnya sebagai pegawai negeri sipil guru sekolah dasar. Untuk membantu menopang kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak, ibunda Deni berdagang ayam potong di pasar.
Setelah lulus SMA, Deni memilih melanjutkan pendidikan tinggi di sekolah pariwisata, yakni Diploma 3 Tours & Travel.
Setelah lulus kuliah, pada 1999 ia diterima bekerja di kapal pesiar di luar negeri. Profesi itu dijalaninya selama 14 tahun, sampai akhirnya divonis gagal ginjal kronis dan tak lagi bisa bekerja di perusahaan impiannya itu.
Terkait penyakitnya itu, ia berintrospeksi bahwa kebiasaan minum minuman bersoda telah merusak sel-sel ginjalnya.
Dari pemahaman ilmu kesehatan yang dibacanya, Deni mengistilahkan bahwa gagal ginjal merupakan induk dari penyakit-penyakit lainnya, yakni asam urat, darah tinggi, HB darah sangat rendah, gatal-gatal karena alergi makanan, jantung berdebar, dan tubuh sering merasa lemas tak bertenaga. Kondisi itu, jika semakin parah bisa melahirkan penyakit bawaan baru, yakni stroke.
Beruntung pada 2022, ia bertemu dengan Ari Destari, pembelajar Ilmu Kesadaran, yang menyarankan Deni juga ikut belajar, sehingga kondisi kesehatan tubuhnya diharapkan bisa pulih.
Dari istilah yang dia dengar dari Ari, Deni sudah merasa tidak nyambung. Kesan dia, Ilmu Kesadaran adalah ranah jiwa atau ruhani, sedangkan dia mengalami sakit fisik.
Meskipun demikian, dengan terpaksa ia ikut pelajaran Ilmu Kesadaran lewat kelas zoom. Dari beberapa kali ikut kelas via zoom itu, ia mulai sadar bahwa dirinya sudah mengalami krisis, terkait kondisi tubuhnya.
Dalam Ilmu Kesadaran, Deni diingatkan bahwa kita yang sesungguhnya bukanlah tubuh, tetapi diri yang spirit (ruh). Deni tersadarkan bahwa selama ini ia salah paradigma dalam memandang diri, yakni sebagai yang tubuh.
Dengan paradigma diri sebagai tubuh, maka wajar kalau menyikapi sakit gagal ginjal kronis, tidak ada lagi harapan untuk sembuh, kecuali hanya menunggu waktu kematian.
"Apalagi, saat cuci darah saya beberapa kali melihat teman sesama pasien gagal ginjal yang meregang nyawa, yang sebelumnya mengalami sesak napas dan tersengal. Pikiran saya semakin gundah, dengan bayangan saya juga akan mengalami kenyataan serupa mereka," katanya.
Seiring waktu terus intensifnya dia belajar, Deni kemudian mendapat pemahaman bahwa Ilmu Kesadaran adalah ilmu tentang spiritual sains yang objek formal dan objek materialnya jelas.
Objek material dari Ilmu Kesadaran adalah diri yang spirit atau ruh (dalam Ilmu Kesadaran dikenal dengan istilah Aku). Sementara objek formalnya adalah perspektif yang digunakan untuk memahami objek material atau Aku.
Dalam pelajaran ini, bagaimana diri selalu disandarkan pada Aku atau spirit, dan bukan sebaliknya, ke diri yang tubuh (pikiran dan perasaan).
Aku atau spirit adalah bagian dari ruhnya Allah, sehingga keberadaannya juga membawa cahaya-NYA yang memandu keberadaan diri yang tubuh. Dengan kualitas pendasaran diri yang semakin kuat pada Aku, tubuh yang di dalamnya ada pikiran dan perasaan akan mampu mengauto-regulasi, sehingga seseorang bisa terbebas dari sakit.
Deni terus belajar, yang pada akhirnya mampu membawa dia pada keadaan jiwa yang damai dan tenteram, termasuk kondisi tubuhnya yang semakin membaik.
Kalau dulu, ia sangat bergantung pada obat-obatan yang harus diminum 3 x sehari, kini semua itu telah ia tinggalkan.
Beberapa kali melakukan cek kesehatan, tensi darahnya sudah normal, HB juga normal, dan tubuhnya tidak lagi mengalami lemas atau gatal setelah makan makanan tertentu karena alergi.
Hanya satu yang belum tertuntaskan dari tubuh Deni, yakni cuci darah. Meskipun demikian, ia yakin pada waktunya, semua akan kembali normal.
"Kalau saya sudah tidak menghasrati untuk stop cuci darah. Bagi saya, semua itu, sekarang adalah kehendak-NYA dan kehadiran-NYA. Sekarang justru orang lain yang banyak terjebak hasrat agar saya tidak lagi cuci darah, padahal saya santai saja menghadapi kenyataan ini," kata Deni, tersenyum.
Menurut lelaki yang kini tinggal di Kabupaten Situbondo itu, setiap orang sebetulnya memiliki krisis hidup yang berbeda. Jika saja setiap orang menyadari krisis yang dihadapi, maka akan banyak orang yang mengenali diri yang kemudian mulai mengubah pendasaran dirinya yang selama ini tidak pada jalurnya.
Dari pengalamannya selama 9 tahun menjalani hidup dengan pola dan paradigma normalisasi, yakni hanya menyandarkan diri pada obat serta semangat hidupnya hanya menunggu datangnya kematian, kini ia memiliki optimisme baru dengan penyandaran diri yang kokoh pada Aku.
Inti dari pembelajaran Ilmu Kesadaran ada 2 hal, yakni "diri" sebagai "orang", dan "diri" sebagai "Aku". Sebelum memahami Ilmu Kesadaran, seseorang biasanya terlena dalam kesadaran diri sebagai "orang" atau tubuh. Jika ada masalah, seseorang biasanya akan larut dalam pikiran dan perasaannya yang berat.
Dengan paradigma pendasaran diri pada "orang", maka kehidupan menjadi selalu rumit, penuh ketidakpastian, bahkan bergelimang dalam prahara, baik relasi kehidupan maupun masalah finansial.
Lewat ilmu ini, seseorang diingatkan untuk mendasarkan diri pada "Aku" atau diri yang ruh, yang merupakan bagian dari ruh Tuhan yang ditiupkan kepada manusia.
Dengan terus menerus mendasarkan diri pada Aku, maka hidup yang awalnya penuh huru hara, lambat laun mulai teregulasi ulang menjadi lebih damai dan bahagia. Lambat laun pula, tubuh dan keadaan finansial yang tidak sehat menjadi membaik.
Demikian pula yang dialami Deni dengan masalah tubuhnya. Dengan terus melatih jiwanya tidak terjebak pada pendasaran diri sebagai orang, jiwanya terus tenang yang kemudian berdampak pada kondisi fisiknya juga semakin sehat. Demikian juga dengan kondisi finansialnya yang terus semakin bertumbuh dan sehat lewat jalan berbisnis.
Karena kondisi fisiknya yang mengalami penurunan fungsi yang cukup lama, Deni juga menerapkan terapi "tapping" atau metode "Emotional Freedom Technique" (EFT), dengan tetap menjaga kemawasan diri untuk selalu bersandar pada Aku.
Kini, fisik Deni semakin sehat, tidak lagi mengalami rasa lemas, darah tinggi, jantung berdebar, dan lainnya. Bahkan, ia dengan istri, kini sering bepergian jauh dengan menyetir mobil sendiri tanpa dihantui oleh bayangan kelelahan dan dropnya fisik.
Kalau 9 atau 10 tahun lalu, Deni menganggap bahwa penyakit yang menerpa ginjalnya itu seperti sebuah kutukan, kini ia merasakan bahwa semuanya adalah wujud kasih sayang Tuhan kepadanya dan keluarga. Lewat sakit ia bisa mengenali diri, kemudian mengenali Tuhan di setiap saat, kejadian, dan fakta hidup yang dialami dalam situasi apapun.
"Terima kasih ya Allah," demikian kalimat yang hampir tak pernah putus dari jiwa dan bibirnya, dengan lirih.
Dengan pengalaman ini, Deni merasa perlu untuk menularkan Ilmu Kesadaran ini kepada banyak orang. Ia kini membuka kelas daring, yang menyediakan waktu dan tenaga untuk masyarakat yang ingin belajar mengenai pendasaran diri, termasuk teknik "tapping". Selain itu, ia juga melayani anggota komunitas pembelajar kesadaran untuk belajar bersama secara tatap muka di rumahnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024